Label

Terror Terkeji Terhadap Syi’ah (Kebejatan Muawwiyah bin Abu Sufyan)


Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)

Mu’âwiyah bin Abu Sufyan, disebut sebagai fi’ah al-baghiah atau kelompok pemberontak oleh Sunnî maupun Syî’î, karena ia memerangi Imâm Alî yang telah dibaiat secara sah oleh kaum Anshâr dan Muhâjirîn. Hanya sekitar enam orang yang tidak membaiat Alî tetapi Alî membiarkan mereka. Di antara yang tidak membaiat Alî bin Abî Thâlib adalah Abdullâh bin Umar dan Sa’d bin Abî Waqqâsh.

Mu’âwiyah memberontak terhadap Alî. Sejak Utsmân meninggal tahun 35 H, 656 M. Mu’âwiyah melakukan tiga cara untuk melawan Alî bin Abî Thâlib:

[1]        Melakukan pembersihan etnik terhadap Syî’ah Alî dengan melakukan jenayah ke wilayah Alî. Pembunuhan terhadap Syî’ah Alî dilakukan terhadap lelaki maupun anak-anak. Perempuan dijadikan budak. Menyuruh seseorang melaknat Alî, dan bila ia menolak langsung dibunuh.

[2]        Melaknat Alî dalam khotbah-khotbah Jum’at, Idul-Fithri dan Idul-Adha di seluruh negara. Juga pada musim haji di Makkah.

[3]        Membuat hadis-hadis palsu untuk menurunkan martabat Alî serendah-rendahnya dan membesarkan dirinya serta ketiga khalîfah awal.

MEMBUNUH, SEMBELIH BAYI, PERBUDAK MUSLIMAH
Tatkala khalîfah Alî masih hidup, yaitu setelah tahkim, Muawwiyah mengirim ‘mâlikil maut’ yang bernama Busr bin Arthât dengan 4.000 anggota pasukan berkeliling ke seluruh negeri untuk membunuh siapa saja pengikut dan sahabat Alî yang ia temui termasuk perempuan dan anak-anak, kemudian merampas harta bendanya. Perempuan Muslimah ditawan dan dijadikan budak untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam. Busr melakukannya dengan baik sepanjang perjalannnya sampai ia tiba di Madînah dan ia telah membunuh ribuan Syî’ah Alî yang tidak bersalah.

Abû Ayyûb Al-Anshârî, rumahnya ditempati Rasûl Allâh saw tatkala baru sampai di Madînah ketika hijrah, pejabat gubernur Alî di Madînah, melarikan diri ke tempat Alî di Kûfah.

Kemudian Busr ke Makkah dan membunuh sejumlah keluarga Abî Lahab. Abû Mûsâ, gubernur Alî juga melarikan diri. Ia lalu ke Sarat dan membunuh semua yang turut Alî di perang Shiffîn. Sampai di Najran ia membunuh Abdullâh bin Abdul Madân Al-Harâ’î dan anaknya, ipar keluarga Banû Abbâs yang ditunjuk Alî sebagai gubernur. Kemudian ia sampai di Yaman. Pejabat di sana adalah Ubaidillâh bin Abbâs. Ubaidillâh melarikan diri tatkala mengetahui kedatangan Busr. Busr menemukan kedua anaknya yang masih balita. Ia lalu menyembelih dengan tangannya sendiri kedua anak itu di hadapan ibunya.

Kekejamannya sukar dilukiskan dengan kata-kata dan memerlukan buku tersendiri. Seorang dari Banû Kinânah berteriak tatkala Busr hendak membunuh kedua anak tersebut:

“Jangan bunuh mereka! Keduanya adalah anak-anak yang tidak berdosa dan bila Anda hendak membunuhnya, bunuhlah saya bersama mereka.” Maka Busr bin Arthât membunuhnya kemudian menyembelih kedua anak yang berada di tangan ibunya, yaitu Qatsm dan Abdurrahmân. Sang ibu, Juwairiah binti Khâlid bin Qârizh Al-Kinânîah, istri Ubaidillâh bin Abbâs jadi linglung dan gila. Di musim haji ia berkeliling mencari kedua anaknya dan dengan menyayat hati ia bertanya tentang anaknya yang kemudian ditulis oleh penulis-penulis sejarah seperti yang tertulis dalam Al-Kâmil berikut:

“Siapa yang tahu di mana kedua anakku,
Dua mutiara, baru lepas dari kerang,
Siapa yang tahu di mana kedua bocahku,
Kuping dan jantung hatiku telah diculik orang,
Siapa yang tahu di mana kedua puteraku,
Sumsum tulang dan otakku disedot orang,
Kudengar Busr, aku tidak percaya apa orang bilang,
Berita itu bohong, mana mungkin ia lakukan,
Menyembelih dua bocah, leher kecil ia potong?
Aku bingung, tunjukkan kepadaku, sayang,
Mana bayiku, tersesat setelah salaf hilang”

Ia juga mengirim Sufyân bin Auf Al-Ghamidi dengan 6.000 prajurit menyerbu Al-Anbar dan Al-Mada’in. Di sini mereka membunuh pejabat Alî Hassân bin Hassân Al-Bakrî dan orang-orangnya.

Kemudian di Anbar mereka membunuh 30 dari seratus orang yang mempertahankan kota ini, mengambil semua barang yang ada, membumihanguskan kota Al-Anbar sehingga kota itu hampir lenyap. Orang mengatakan bahwa pembumihangusan ini sama dengan pembunuhan, karena hati korban sangat pedih sekali.

Kepedihan Alî tidak terlukiskan sehingga ia tidak dapat membaca khotbahnya dan menyuruh maulânya yang bernama Sa’d untuk membacakannya. Al-Aghânî melukiskan bahwa setelah Ghamidi sampai di kota Anbar ia membunuh pejabat Alî dan juga membunuhi kaum lelaki maupun perempuan.

Mu’âwiyah juga mengirim Dhuhhâk bin Qays Al-Fihrî dengan pasukan yang terdiri dari 4.000 orang ke kota Kûfah untuk membuat kekacauan dengan membunuh siapa saja yang ditemui sampai ke Tsa’labiah dan menyerang kafilah haji yang akan menunaikan haji ke Makkah serta merampok semua bawaan mereka. Kemudian ia menyerang Al-Qutqutanah dan turut dibunuh kemanakan Ibnu Mas’ûd, sahabat Rasûl, Amr bin Uwais bin Mas’ûd bersama pengikutnya. Fitnah di mana-mana. Di mana-mana bumi disiram dengan darah orang yang tidak berdosa.

Pembersihan etnik terhadap Syî’ah Alî berjalan dengan terencana dan mengenaskan. Kemudian Mu’âwiyah mengirim Nu’mân bin Basyîr[[1]] pada tahun 39 H, 659 M, menyerang Ain at-Tamr[[2]] dengan 1.000 prajurit dan menimbulkan bencana. Di sana hanya ada seratus prajurit Alî. Perkelahian dahsyat terjadi. Untung, kebetulan ada sekitar 50 orang dari desa tetangga lewat. Pasukan Nu’mân mengira bantuan datang untuk menyerang dan mereka pergi.



[1] Nu’mân bin Basyîr al-Anshârî al-Khazrajî, tatkala Rasûl wafat berumar delapan tahun tujuh bulan. Ia adalah anak Basyir bin Sa’d, teman Abu Bakar; lihat Bab 8, Pembaiatan Abû Bakar. Ia yang membawa baju gamis Utsmân yang penuh darah serta potongan jari istri Utsmân, Nailah, ke Damaskus untuk dipamerkan dan membangkitkan emosi untuk memerangi Alî. Ia akhirnya dibunuh di zaman Marwân, dipenggal lehernya oleh Banû Umayyah yang dibelanya dan kepalanya dilemparkan kepangkuan istrinya.
[2] Ain at-Tamr, sebuah kota dekat al-Anbar, sebelah Barat Kûfah.

Ketika Politik Sekuler Membajak Agama



"Wahabi-Takfiri, ISIS & Al-Qaeda Sebagai Mesin-Mesin Perang Barat, Israel & Rezim Al-Saud dkk".

Tak hanya temuan bahwa Amerika (tentu saja disokong para korporat juga) menggelontorkan dana sebesar 70 Juta US Dollar untuk para pemberontak Suriah yang dimaksudkan untuk menggulingkan Bashar Al-Assad, jauh-jauh hari menurut sebuah dokumen yang dirilis oleh Whistleblower NSA Edward Snowden, Abu Bakar Al-Baghdadi yang merupakan agen MOSSAD bernama asli Shimon Elliot itu, menyatakan bahwa pemimpin ISIS, adalah seorang aset intelijen yang diharapkan lebih “canggih” ketimbang Al-Qaeda.

Dokumen NSA itu mengungkapkan bahwa Amerika Serikat, Israel dan Inggris bertanggungjawab atas penciptaan ISIS.

Selain itu, pada awal bulan Agustus 2014 lalu, misalnya, Nabil Na’eem, yang adalah pendiri Partai Demokrasi Jihad Islam dan mantan komandan teras pimpinan Al-Qaeda, menyatakan kepada TV pan-Arab, station Al-Maydeen yang berbasis di Beirut, bahwa semua afiliasi Al-Qaeda termasuk ISIS, memang bekerja untuk CIA, yang di kawasan disokong juga oleh Rezim Saud Saudi Arabia, Qatar, Turki dkk.

Kita tahu bersama, ISIS saat ini adalah sebuah kelompok teroris yang terlatih dengan baik dan dipersenjatai dengan lengkap, yang belakangan sudah mulai terdesak berkat operasi yang dilancarkan Rusia, juga berkat perjuangan tentara Suriah dan Irak yang dibantu milisi sipil Muslim Syi’ah dan Sunni (yang disokong Syi’ah Iran dan Syi’ah Hizbullah).

Dokumen NSA itu juga menyatakan bahwa kelompok (ISIS) dibentuk oleh intelijen Amerika Serikat, Inggris dan Israel sebagai bagian dari strategi untuk menggelar “the hornet’s nest” dalam rangka menarik kelompok Wahabi-Takfiri dari seluruh dunia untuk berjihad di Syria dan menumbangkan Rezim Assad yang kurang pro-Israel dan lebih dekat ke Iran dan Rusia.

Abu Bakar Al-Baghdadi sendiri “mendapatkan latihan militer secara intensif selama setahun penuh dengan MOSSAD (Israel), disamping pengajaran teologi dan seni berpidato,” demikian dokumen itu menjelaskan, sebagaimana juga dilansir Gulf Daily News, yang sumbernya dari seseorang di Bahrain.


Pada bulan Juni 2014, contohnya, seorang pejabat Jordania mengatakan kepada Aaron Klein dari WorldNetDaily bahwa para anggota ISIS dilatih pada tahun 2012 oleh instruktur Amerika Serikat di sebuah pangkalan rahasia di Jordania. Dilaporkan bahwa pada tahun 2012 saja, Amerika Serikat, Turki dan Jordania mengoperasikan sebuah pangkalan pelatihan untuk para peemberontak Suriah di kota Safawi, Jordania. 


Rusia benar, AS Terlibat Penyelundupan Minyak oleh ISIS



Amerika Serikat telah lama menutup mata atas kegiatan produksi minyak ilegal dan perdagangan minyak oleh ISIS dan tidak segera menyerang infrastruktur teroris. Demikian hal ini dilansir oleh Washington Times dalam artikel: “Rusia Benar: Gedung Putih Bantu ISIS Menyelundupkan dan Menjual Minyak”, pada Selasa (8/12).

Sang penulis artikel, L. Todd Wood, mencatat pernyataan yang dibuat oleh sejumlah pejabat senior AS dalam menanggapi laporan dari Kemenhan Rusia yang menunjukkan bukti perdagangan minyak ilegal melalui perbatasan Turki-Suriah.

“Utusan khusus AS dan Koordinator Hubungan Energi Internasional Amos Hochstein mengatakan volume minyak selundupan yang dipasok ke Turki dari wilayah Suriah yang berada di bawah kendali ISIS secara volume tidak ada perbedaan yang signifikan, baik dari sisi volume minyak maupun volume pendapatan,” tulis Wood. “Bagi saya ini tidak terdengar seperti pernyataan bahwa penyelundupan sebenarnya tidak terjadi, melainkan terdengar seperti alasan.”

Pada artikel tersebut ditulis bahwa selama empat belas bulan, Amerika Serikat menutup mata terhadap penyelundupan minyak tersebut. Hal ini telah memberikan kesempatan kepada teroris untuk meraih jutaan dolar setiap bulan. “Gedung Putih mengatakan bahwa mereka belum melancarkan serangan terhadap infrastruktur minyak ISIS karena mereka takut hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan dan membahayakan lingkungan. Namun, alasan sebenarnya yang membuat militer AS akhirnya diperintahkan untuk menghancurkan truk yang membawa bahan bakar adalah fakta bahwa Rusia telah membuat mereka malu,” kata Wood.

Pada artikel tersebut juga tertulis mengenai laporan Uni Eropa yang menunjukkan bahwa militan ISIS telah mengirim para ahli dan material ke Eropa untuk merakit senjata pemusnah massal yang dapat menyebabkan puluhan serangan ke Barat.

Menurut Wood, Pemerintah AS terlibat atas usaha yang menyebabkan pertumbuhan, perluasan, dan penyebaran ISIS ke seluruh dunia sehingga mengancam keamanan internasional. Top of Form


Bashar Al-Assad Akui Turki Utsmani Membantai Bangsa Armenia

("The Armenian (Christians) Genocide in Ottoman Turkey, 1915". Naked Armenian Mothers been crucified to death by Turkish soldiers in the desert of Deir ez-Zor Syria)

Oleh Mark Arigayo

Presiden Syria Bashar Al-Assad untuk pertama kali mengeluarkan pernyataan terkait Genosida (pemusnahan) 1,5 juta orang Armenia oleh rezim Ottoman di Turki yang berlangsung sejak tahun 1895 hingga tahun 1922, dimana tragedi tersebut mencapai puncaknya tahun 1915.  Pernyataan yang oleh sebagian orang dianggap mengejutkan itu diungkapkan oleh Presiden Al-Assad ketika diwawancarai oleh Agence France Presse (AFP) minggu lalu menyangkut situasi terkini di Syiria.

Selama wawancara berlangsung, Presiden Assad membandingkan Genosida terhadap orang Armenia pada tahun 1915 dengan kondisi terkini Syria, dimana serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok asing secara brutal telah banyak memakan korban.

“The degree of savagery and inhumanity that the terrorists have reached reminds us of what happened in the Middle Ages in Europe over 500 years ago. In more recent modern times, it reminds us of the massacres perpetrated by the Ottomans against the Armenians when they killed a million and a half Armenians and half a million Orthodox Syriacs in Syria and in Turkish territory.”

"Tingkat kerusakan akibat teroris mengingatkan kami pada peristiwa pada era pertengahan di Eropa, 500 tahun yang lalu. Di era yang lebih modern, peristiwa itu mengingatkan kita pada pembantaian (massacres) yang dilakukan oleh rezim Ottoman (Turkey) terhadap orang Armenia yang menelan korban sebanyak 1,5 juta orang Armenia juga 500.000 orang Kristen Ortodox Syria di wilayah Turki".

Sejauh ini pengakuan tersebut masih merupakan "personal recognition" atau pernyataan yang bersifat pribadi dari seorang Bashar Al-Assada.  Sejauh ini secara konstitusional Syria belum mengeluarkan pernyataan resmi yang menegaskan bahwa pembantaian terhadap etnis Armenia tersebut merupakan tindakan Genosida.

Meski hanya bersifat personal, tak pelak pernyataan Al-Assad tersebut dipastikan akan memancing reaksi dari pemerintah Turki yang selama ini mati-matian membantah adanya Genosida terhadap orang Armenia selama rezim Ottoman pernah berkuasa di wilayah yang sekarang disebut Turki.

Seperti diketahui, selama PERANG DUNIA I rezim Ottoman membantai etnis Armenia secara besar-besaran. Diperkirakan sebanyak 650.000 hingga 1,5 juta orang Armenia tewas dibantai dengan cara yang sangat mengenaskan. Kaum laki-laki dibunuh tanpa alasan yang jelas. Para wanita dan anak-anak dideportasi, digiring ke padang gurun dan dibiarkan mati dalam keadaan menahan lapar dan haus. Nyaris tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan kekejaman yang pernah dilakukan oleh tentara rezim Ottoman (Turki Utsmani) terhadap orang Armenia yang menjadi minoritas di Turki.

Hingga saat ini sudah ada 22 negara yang memberikan pengakuan secara resmi terhadap Genosida (pemusnahan etnis secara terorganisir) yang dilakukan oleh tentara Ottoman terhadap etnis Armenia. Sumber: http://tanohgayo.com/berita-presiden-syria-akhirnya-akui-genosida-etnis-armenia-oleh-rezim-ottoman.html

Isis Lahir dari Rahim Wahabi Ekstrim & Manifestasi Bani Umayyah



Oleh Dr. Syekh Hasan bin Farhan Al-Maliki (penulis & ulama Sunni Saudi Arabia)

Latar belakang ideologis DAISY/ISIS/ISIL adalah Salafi berafiliasi kepada ide-ide Ibnu Taimiyah dan ekstrimis Wahhabi. Latar belakang ideologis inilah yang akan mendorong mereka untuk berani menghancurkan Ka’bah dan membongkar dan mencongkel makam Rasulullah dan menyembunyikannya. Hal ini telah diketahui oleh yang mengetahui latar belakang ideologis mereka.

Latar belakang ideologis ISIS bukan Hanbali (karena pengikut Hanbali dahulu sangat antusias bertabarruk). Latar belakang ideologis ISIS adalah Taimiyah+Wahhabi dari sisi akidah. Adapun latar belakang politik mereka adalah Umawiyah!

Keimanan itu adalah ketundukan, kepatuhan dan mengambil pelajaran dari peninggalan dan tanda-tanda keagungan Allah baik yang tersebar di alam maupun dalam jiwa. Adapun kemunafikan, maka ia kering, tanpa perenungan matang dan pandangan baik dari sisi agama, ibadah mereka adalah kering. Kekakuan hati!

Latar belakang ideologis ini adalah hasil peninggalan kekakuan dan kebencian Bani Umayyah terhadap Nabi Saw, keluarga (Ahlulbait) beliau dan kaum shaleh umat ini. Sedangkan kekakuan sikap dan kebencian Bani Umayyah adalah hasil dari kemunafikan. Jadi masalahnya saling terkait.

Tidak seorang pun dapat menghentikan alasan ISIS untuk menghancurkan Ka’bah selama ia membenarkan alasan ISIS ketika menghancurkan kuburan para Nabi dan para wali Allah. Problemnya satu!

Ya, boleh jadi si pengecut tidak kuasa melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya. Tetapi ISIS berani berterang-terangan dalam menyuarakan akidah Wahabi mereka yang sangat kental. Karena itu mereka tidak berbasa-basi dalam menyatakan kebatilannya!

Salafi moderat tidak diakui di tengah-tengah Salafi (Wahabi) ekstrim dan tersingkirkan. Yang saya maksudkan dengan Salafi moderat adalah yang berani mengkritisi ide-ide Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Abdil Wahhab demi membela Al Quran dan Sunnah. Inilah Salafi moderat yang tersingkirkan dan tidak diakui. Yang akan diterima hanya kaum ekstrim yang mengedepankan ide-ide kaum Ekstrimis Salafi di atas Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Dalam pandangan mereka inilah Salafi tulen yang sempurna dan lurus akidahnya.

Saya tidak bermaksud memaparkan alasan-alasan ISIS dalam merobohkan Ka’bah. Karena alasan-alasan mereka dari sisi mukaddimah adalah bersifat Salafiyah Saudiyah yang umum yaitu bahwa konsekwensi dari kemurnian Tauhid (menurut mereka) adalah harus menghancurkan setiap simbol-simbol atau panji-panji Kemusyrikan. Dan tidak diragukan lagi bahwa berdasarkan pola pendidikan akidah yang kita pelajari (di Arab Saudi sesuai dengan akidah Wahabi/Salafi) mengusap-usap atau mengambil keberkahan dari dinding Ka’bah adalah KEMUSYRIKAN. Bahwa mengusap-usap dan mengambil keberkahan dari Maqam Ibrahim adalah KEMUSYRIKAN. Dan seterusnya.

ISIS berdiri tegak di atas akidah ini! Dan tidak diragukan lagi bahwa ini adalah akidah dan pemahaman yang salah, tetapi mencongkel dari pikiran mereka yang sudah tercemar ini membutuhkan waktu. Karena itu apabila para pengikut ISIS melihat bahwa Ka’bah sudah menjadi simbol praktik kemusyrikan maka ia harus segera dihancurkan!!

Inilah inti akidah ISIS dan hasil yang bakal lahir darinya. Akidah seperti ini telah memenuhi kitab-kitab akidah Salafi Wahhabi. Ini adalah mukaddimah yang saya maksudkan, hanya saja dalam mengetrapkannya mereka memilih obyek yang tidak akan membangkitkan emosi masyarakat umum.

Dan dalam membantah akidah menyimpang ISIS ini dan juga efek yang ditimbulkannya butuh kepada pembaharuan pemahaman yang besar-besaran. Pembaharuan yang menjadikan Al-Quran sebagai pedoman dan bimbingan. Dan hal ini akan memporak-porandakan akidah menyimpang seperti itu. Jangan disangka bahwa kaum Muslimin siap meninggalkan apapun demi Al-Quran. Yang menjadikan mereka memuji dan mencintai Al-Quran adalah karena mereka mengira bahwa Al-Quran berpihak kepada mereka. Namun jika terbukti Al-Quran melawan mereka pasti mereka pun tidak segan-segan membuang Al-Quran!!

Latar belakang kemunafikan dan pola pikir Bani Umayyah dalam memandang hina simbol-simbol kesucian sangat banyak, seperti:

Menanamkan perasaan tidak butuh kepada Nabi Saw agar beliau memintakan istighfar.

Kata-kata dan praktik yang kaku yang menyakitkan Nabi Saw, seperti berlambat-lambat dari memenuhi panggilan Nabi Saw dengan alasan masih belum selesai menyantap makanannya (merujuk kepada Muawiyah ketika dipanggil Nabi saw tidak bersegera menyambut panggilan beliau, akan tetapi beralasan masih makan)

Mencongkel dan menghancurkan kuburan Hamzah paman Nabi Saw dan memukul-mukulnya. Upaya untuk merusak mimbar Nabi Saw di masjid beliau. Menghancurkan Ka’bah sebanyak dua kali.

Dan juga melaknat Nabi Saw di atas mimbar-mimbar. Bukan hanya melaknati Ali saja, mereka melaknati Ali dan semua orang yang mencitai Ali. Dan para sahabat yang shaleh, seperti istri Nabi Ummul Mukminin Ummu Salamah dan Ibnu Abbas telah memahami maksud pelaknatan itu bahwa pada hakikatnya Rasulullah lah yang mereka incar!!!

Mereka lebih mengutamakan para Khalifah dari pada para Nabi dan Rasul as. Akidah itu mereka pekikkan dari atas mimbar-mimbar dan tidak mereka rahasiakan.

Imam Abu Daud telah meriwayatkan sebagian dari apa yang telah saya sebutkan di atas. Demikian juga dengan al Baladzuri dan ulama lain.

Marwan bin al Hakam melarang Abu Ayyub al Anshari meletakkan pipi beliau di atas tanah pusara Nabi Saw. ISIS dan pendahulu mereka lebih dekat kepada Marwan si fasik itu dan sangat jauh dari Abu Ayyub sang sahabat mulia itu!!

Ya, boleh jadi di kalangan lain ada yang bersikap berlebihan baik di sisi Ka’bah, makam Nabi Saw atau makam-makam Ahlulbait. Tetapi semua itu tidak membenarkan ISIS untuk menghancurkan Ka’bah dan membenci Nabi Saw dan Ahlulbait beliau. 


Di Cafe Batavia

Potret Sulaiman Djaya di Cafe Batavia. Fotografer: Rosario Alamo Gomez (Spanyol) 

Kenapa Makam Fatimah Azzahra Dirahasiakan?



Tarikh ini dicatat dalam catatan-catatan lintas mazhab, utamanya dalam Syi’ah dan Sunni, baik dari kalangan muhaddits hingga para sejarawan yang semasa atau yang hidup di jaman berikutnya. Memang, ada satu kejanggalan, ketika mayoritas ummat Islam barangkali tidak pernah bertanya ‘di mana gerangan makam Fatimah Azzahra as?’ Tetapi, marilah kita mulai saja bahasan ini.

Sebuah rombongan (kafilah) kecil yang terdiri dari orang-orang yang setia dan patuh pada Rasulullah tampak berjalan gontai. Segukan tangis lirih yang terasa mengiris-iris hati yang pilu terdengar dari mereka. Wajah-wajah mereka lusuh tertunduk tersembunyi dalam tutup-tutup kepala yang jatuh menaungi kepala-kepala mereka.  

Rombongan (kafilah takziah) itu berjalan tanpa mengeluarkan bunyi berarti ke sebuah tempat sunyi yang khusus untuk menguburkan salah seorang manusia suci yang mereka cintai. Mereka berjalan dalam kegelapan malam pada bulan Jumadil Tsani, hari ketiga di tahun 11 Hijriah. Rombongan itu menyusuri jalan-jalan kota Madinah. Terasa segar dalam ingatan, baru beberapa lama lewat mereka melakukan hal yang sama untuk manusia suci lainnya, Muhammad Al-Mustafa. Sekarang giliran puterinya yang tercinta, Fatimah Az-Zahra (as).

Dalam rombongan itu ada anak-anak dengan ayah mereka beserta teman-teman dekat dari sang ayah. Mereka semua berjalan dalam kebisuan dan kesabaran. Pada wajah-wajah mereka tampak kepasrahan dan keridhoan akan apa yang telah menimpa mereka selama beberapa hari ini. Akan tetapi meskipun begitu, sesekali masih terdengar tangis yang tertahan di tenggorokan, meski air mata yang mengucur deras dengan tangisan yang lirih sekali hampir tak terdengar, seakan ingin menyembunyikan kepedihan yang telah menimpa mereka agar tidak ada orang yang mendengar mereka di kegelapan malam, karena memang mereka tidak ingin seorangpun tahu di kota Madinah itu bahwa mereka sedang melakukan sebuah perbuatan yang akan direkam baik oleh sejarah.

Seorang ayah yang tadi disebutkan di atas ialah Imam Ali (as), sementara anak-anak yang turut bersamanya ialah putera-puterinya. Ada Imam Hasan (as) di sana, ada Imam Husain (as), ada Zainab, dan ada Umm Kultsum yang berjalan gontai dalam kebisuan di belakang ayahnya. Bersama mereka ada para sahabat pilihan yang sangat setia kepada Nabi saw, baik ketika Nabi masih hidup atau ketika sudah wafat. Mereka adalah Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad al-Aswad, dan Salman Al-Farisi.

Ketika setiap mata dari penduduk Madinah tertutup, ketika tak ada suara sedikitpun dari mereka, rombongan surga itu meninggalkan rumah Imam Ali (as) membawa usungan tandu berisi jenazah suci dari puteri sang Nabi, Fatimah Az-Zahra (sa). Anak-anaknya sekarang mengantar jenazah ibunya itu ke sebuah pemakaman yang sunyi yang sudah ditentukan. Akan tetapi di manakah ribuan penduduk kota Madinah yang seharusnya ada di tempat?

Ketika iringan pengantar jenazah puteri Nabi itu lewat, mengapa tak seorangpun dari mereka datang melawat? Mengapa pemakamannya dilangsungkan pada saat dianggap sangat tidak tepat? Mengapa pemakaman itu harus dilangsungkan di kegelapan malam yang pekat?

Sayyidah Fatimah Az-Zahra (sa) memang merencanakan itu semua sebelum wafatnya, dan telah memberi wasiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib as agar para penduduk kota Madinah itu tidak datang ke pemakamannya. Ia ingin dikuburkan pada malam hari dan ingin agar kuburannya disembunyikan dari pengetahuan penduduk kota Madinah.

Ada kesunyian dan keheningan yang mencekam di sana, namun tiba-tiba terdengar tangisan agak keras dan parau memecah kesunyian tersebut. Tangisan itu datang dari pahlawan padang pasir yang musuh manapun pasti akan ngeri dan menyingkir saat berhadapan dengannya. Tapi tangisan itu tiba-tiba terdengar lebih keras seakan ingin menuntaskan rasa penasaran, setelah sebelumnya berusaha ditahan sekuat tenaga dan perasaan.

Sang pahlawan itu berkata dalam tangisannya:  “Ya, Rasulullah! Salam bagimu, wahai kekasihku. Salam dariku dan dari puterimu yang sekarang ini akan datang kepadamu dan ia sangat bergegas meninggalkanku untuk sampai kepadamu. Ya, Rasulullah, rasa luluh lantak terasa pada diriku dan rasa lemah tak berdaya telah menggerogoti diriku. Itu tak lain karena engkau dan puterimu telah meninggalkanku. Tapi aku sadar semua ini milik Allah dan kepadaNyalah segala sesuatu itu kembali (Al-Qur’an Surah Albaqarah [2] Ayat 156).

Semua yang telah dititipkan itu akan diambil kembali. Semua yang pernah kita miliki itu akan diambil lagi oleh pemiliknya yang sejati. Sementara itu, kepedihan dan kesedihan Imam Ali sang washinya Muhammad saw itu, tetap bersemayam dalam dirinya, baik siang maupun malam.

Tak ada batasan yang jelas bagi Imam Ali kapan ia bersedih dan kapan ia terbebas dari kesedihannya itu. Kepergian dua orang yang dicintainya sangat mengguncang dirinya. Perasaan itu akan tetap pada dirinya hingga dirinya nanti bertemu lagi dengan yang dicintainya, yaitu pada hari dimana ia dipanggil oleh Allah untuk menghadapNya.

Imam Ali kembali mengadu kepada Rasulullah dalam rintihan yang lirih: ”Ya, Rasulullah, puterimu pastilah akan mengadukan kejadian yang sedang menimpa umat ini. Puterimu ingin umat ini bersatu kembali. Puterimu ingin agar engkau datang kembali agar bisa mempersatukan umat yang sudah bercerai berai ini. Dan engkau nanti akan bertanya padanya secara rinci. Engkau akan bertanya mengapa umat ini menentang keluarga Nabi. Mengapa mereka mengkhianati apa-apa yang telah ditentukan oleh Nabi. Dan mengapa mereka melakukan hal ini, padahal kematianmu itu baru saja terjadi dan umat masih merasakan kejadian ini! Salam untuk kalian berdua! Salam perpisahan dariku yang sedang berduka bukan dariku yang telah tak suka kepada kalian berdua. Kalau aku pergi dari pusara kalian, itu bukan karena aku merasa bosan kepada kalian. Dan kalau aku berlama-lama di pusara kalian, itu bukan karena aku tak lagi percaya dengan kuasa Tuhan dan apa yang telah Tuhan janjikan kepada orang-orang yang tengah ditimpa kepedihan.”

Setelah menguburkan Fatimah Az-Zahra (as), rombongan berisi keluaga dekat Nabi dan para sahabat pilihannya itu pun segera bergegas kembali ke rumahnya masing- masing, sehingga tidak ada satu orangpun di kota Madinah yang tahu di mana Fatimah Azzahra as dikuburkan (dimakamkan).

Sesampainya mereka di rumah, anak-anak dengan segera sadar bahwa mereka telah ditinggalkan oleh ibunya. Mereka merasakan kesepian yang mencekik. Imam Ali segera menghibur mereka supaya kesedihan tak terlalu larut membawa pikiran mereka. Akan tetapi memang pada kenyataannya hal itu tidak mudah dilakukan. Imam Ali mencoba menenangkan diri mereka dan kemudian ia sendiri masuk ke dalam kamar dan kemudian larut dalam tangisan yang sendu. Sang pahlawan Badar, Uhud, Khaybar, Khandaq dan beberapa perang lainnya itu merasakan kelelahan yang luar biasa dalam menahan kepedihan dan akhirnya ia lampiaskan dalam tangisan. Tangisan karena rasa cinta dan kehilangan, bukan tangisan manja dan penuh keputus-asaan.

Mereka semua telah melalui serangkaian kejadian yang menyesakkan sepeninggal Rasulullah. Pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah yang hak dan yang sesungguhnya, pemimpin dalam agama dan masyarakat atau pemimpin ummat sebagai Imam sekaligus pemegang hak kekhalifahan yang dicuri saat beliau dan keluarganya sedang memakamkan Rasulullah, dan washi (sebagai pengemban wasiatnya) Muhammad saw di Ghadir Khum telah dilupakan secara sengaja oleh banyak orang, ketika sebagian sahabat tergiur kekuasaan untuk menjadi khalifah.

Tanah Fadak warisan Rasulullah pun sudah dirampas semasa Abu Bakar berkuasa. Rumah mereka telah diserang oleh para utusan khalifah pertama demi memaksakan bai’at bagi ke-Khalifahan Abu Bakar. Pintu rumah keluarga Nabi yang dibakar itu pun menimpa Fatimah Az-Zahra as —pintu itu mematahkan beberapa tulang iganya dan menggugurkan kandungannya. Isteri sang Imam harus terbaring sakit di ranjangnya selama beberapa hari setelah itu, terbaring sendirian dan terisolasi dari dunia luar dan kemudian meninggal dalam kepedihan yang menyesakkan!

Malam hari itu, setiap anak terpaksa saling menghibur untuk meredakan kesedihan mereka. Mereka berkumpul dalam satu kamar dan tidur kelelahan, sungguh memang hari-hari yang berat akan masih menyambangi mereka satu demi satu. Sementara itu Bunda Fatimah Az-Zahra as menyaksikan mereka dengan wajah sendu.

MENGAPA MAKAM FATIMAH AZZAHRA DIRAHASIAKAN?
Hingga detik ini, tidak ada seorang pun yang tahu persis di manakah makam (kuburan) Sayyidah Fatimah Azzahra (as), yang kepadanya Rasulullah selalu memberikan pernghormatan yang penuh takzim. Rasulullah selalu senantiasa berdiri menyambut apabila Fatimah Az-Zahra as datang menjenguk. Rasulullah seringkali berkata (yang acapkali didengar langsung oleh sejumlah para sahabat dan kaum muslim): “Fatimah itu adalah bagian dari diriku. Siapapun yang menyakiti diri Fatimah akan berarti menyakiti diriku.”

Sejarah telah mencatat bahwa Fatimah dikuburkan di sekitar Jannat al-Baqi di Madinah, akan tetapi tidak ada seorangpun yang tahu tempat persisnya. Tak ada seorangpun yang bisa menunjukkan dengan pasti di mana makam dari puteri Nabi yang suci itu.

SEJARAH PERSELISIHAN ANTARA FATIMAH AZ ZAHRA DAN ABU BAKAR
Masalah ini juga telah disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunni dan Syi'ah. Orang yang insaf dan berakal tidak akan dapat lari kecuali harus mengatakan bahwa Abu Bakar berada pada posisi yang keliru dalam perselisihannya dengan Fatimah Az-Zahra as, dan ia tidak bisa menolak fakta bahwa Abu Bakar pernah menzalimi Penghulu Wanita Alam semesta ini.

Mereka yang menelaah sejarah ini dan mengetahui seluk-beluknya secara rinci akan tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu Fatimah Az-Zahra as dan mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah Az-Zahra as tidak mempunyai alasan untuk berhujjah dengan nash-nash Al-Ghadir dan nash-nash lainnya akan keabsahan hak khilafah suaminya dan putra-pamannya, yakni Imam Ali bin Abi Thalib as.

Diantaranya adalah, seperti dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Fatimah Az-Zahra (semoga Allah melimpahkan padanya kesejahteraan) pernah keluar mendatangi tempat-tempat pertemuan kaum Anshar dan minta mereka membantu dan membai'at Imam Ali. Mereka menjawab: "Wahai putri Rasulullah, kami telah berikan bai'at kami pada orang ini (Abu Bakar). Seandainya suamimu dan putra pamanmu mendahului Abu Bakar, niscaya kami tidak akan berpaling darinya."

Kala itu Imam Ali berkata: "Apakah aku harus tinggalkan Nabi di rumahnya dan tidak kuurus jenazahnya, lalu keluar berdebat tentang kepemimpinan ini?" Fatimah Az-Zahra as pun menyahut, "Abul Hasan telah melakukan apa yang sepatutnya beliau lakukan, sementara mereka telah melakukan sesuatu yang hanya Allah sajalah akan menjadi Penghisab dan Penuntutnya."[1]
  
Seandainya Abu Bakar memang berniat baik dan keliru, maka kata-kata Fatimah Az-Zahra as telah cukup untuk menyadarkannya. Tetapi Fatimah az-Zahra as masih tetap marah padanya dan tidak berbicara dengannya sampai beliau wafat.

Karena Abu Bakar telah menolak setiap tuntutan Fatimah Az-Zahra as dan tidak menerima kesaksiannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun, akhirnya Fatimah Az-Zahra as pun murka pada Abu Bakar, sampai beliau tidak mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang beliau wasiatkan pada suaminya, Imam Ali. Fatimah Az-Zahra as juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan secara rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang menentangnya.[2

Alhasil, Fatimah Az-Zahra as sebenarnya ingin melaporkan kepada generasi muslimin berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada zamannya, agar mereka bertanya-tanya kenapa Fatimah Az-Zahra as sampai memohon pada suaminya agar dikebumikan di malam hari secara sembunyi dan tidak dihadiri oleh siapa pun. Hal ini juga memungkinkan seorang muslim untuk sampai pada sebuah kebenaran lewat telaah-telaahnya yang intensif dalam bidang sejarah .

Dalam konteks ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya kepada Aisyah: Kau tunggangi onta[3] Kau tunggangi baghal[4] Kalau kau terus hidup, kau akan tunggangi gajah. Sahammu kesembilan dari seperdelapan, tapi telah kau ambil semuanya. Ini adalah contoh dari rangkaian fakta yang sungguh mengherankan. Bagaimana Aisyah mewarisi semua rumah Nabi saw sementara istri-istri beliau berjumlah sembilan, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas?

Apabila Nabi tidak meninggalkan harta waris seperti yang disaksikan oleh Abu Bakar (yang memang keliru) dan karenanya dia melarangnya dari Fatimah Az-Zahra as, lalu bagaimana Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi? Apakah ada dalam Al-Quran suatu ayat yang memberikan hak waris pada isteri tapi melarangnya dari anak perempuan? Ataukah politik yang telah merubah segala sesuatu sehingga anak perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si isteri diberi segala sesuatu?

Catatan: 
[1] Tarikh al-Khulafa jil. 1 hal.19; Syarh Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili.
[2] Shahih Bukhori jil.3 hal. 36; Shahih Muslim jil. 2 hal. 72.
[3] Mengimbas peperangan Jamal ketika beliau menunggangi onta.

[4] Mengimbas ketika beliau menunggangi baghal dalam usaha menghalangi Imam Hasan as dari dikuburkan dekat pusara datuknya. 


Kecerdasan Islam Syi’ah Hizbullah



Oleh Amal Saad-Ghorayeb (Peneliti tamu di Carnegie Middle East Center)

Salah satu pelajaran utama perang Hizbullah versus Israel di Juli-Agustus 2006 adalah bahwa konsep perang asimetris yang dikembangkan AS di era 90-an tidak relevan lagi. Performance Hizbullah yang ditunjukkan Hizbullah selama perang membuktikan bahwa perang asimetris tidak dapat semata didefinisikan sebagai non state actor yang mengadopsi metode non tradisional (pola operasi yang berbeda) untuk melawan state actor.  33 hari  berkecamuknya perang menunjukkan bahwa Hizbullah tidak hanya terampil dalam melakukan perang gerilya, namun juga cakap mengkombinasikannya dengan metode perang konvensional. Hizbullah dipandang telah meletakkan paradigma baru strategi perang kontemporer.  

AS sendiri risau dengan fenomena baru ini karena dipandang potensial menjadi strategi baru non state actor dalam melawan kekuatan adidaya Amerika. Kemenangan Hizbullah dapat menjadi energi baru bagi mereka.  Kekhawatiran itu sendiri dapat dilihat di kalangan para pakar strategi perang di Pentagon. Mereka seragam menyerukan perlunya reposisi militer AS atas strategi perang non konvensional ini dalam menghadapi ancaman baru ini. AS tidak menghadapi strategi non konvensional dengan menggunakan pendekatan konvensional di saat Hizbullah sendiri sukses mensintesiskan kedua pendekatan tersebut baik dalam ruang lingkup doktrin, taktik maupun persenjataannya.

 
STRATEGI DAN DOKTRIN HIZBULLAH

Paradigma baru Hizbullah tidak terlepas dari peran ideolog sekaligus pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah. Pasca tewasnya Imad Mughniyeh, komandan perangnya yang dibom agen Israel di Damaskus, 12 Februari 2008, Nasrallah menjelaskan pergeseran paradigma dan doktrin perang Hizbullah. Menurut Nasrallah, gerakan perlawanan telah memasuki proses tahapan ketiga dari “perlawanan bersenjata yang mengandalkan perlawanan rakyat secara spontan” menjadi “aksi militer bersenjata yang terorganisir.” Kini perlawanan memasuki tahap akhir, dengan “memanfaatkan mazhab baru perang yang belum ada sebelumnya, yakni kombinasi peran tentara regular dengan pejuang gerilya.” Hizbullah sukses mensintesiskan metode konvensional dengan non konvensional –baik strategi, taktik, senjata maupun organisasi. Hizbullah  bergerak dari sebuah kelompok perlawanan menjadi tentara perlawanan. 

Dalam level strategi, gerakan Hizbullah berevolusi dari kelompok gerilya klasik yang berhasil memaksa Israel mundur dari Lebanon selatan di tahun 2000 menjadi “kekuatan perlawanan quasi konvensional” yang mampu mencegah pasukan Israel melakukan pendudukan lagi. 

Nasrallah menjelaskan perubahan radikalnya tersebut: “Saya membedakan antara kelompok perlawanan yang berperang melawan tentara regular yang menduduki suatu wilayah dan mereka melakukan operasinya dari dalam wilayah tersebut atau sering disebut perang gerilya dengan kelompok perlawanan yang melawan agresi yang hendak mencaplok wilayah dengan mencegah mereka dari melakukan hal itu dan menimpakan kekalahan atas mereka. Kelompok perlawanan tidak lagi membebaskan wilayah itu namun mencegah agresi musuh.”

Hingga tahun 2000, konsep perlawanan Hizbullah sejalan dengan pengertian konvensional. Kelompok pembebasan rakyat yang berjuang melawan pendudukan asing. Misi satu-satunya adalah mengusir penjajah. Namun pasca penarikan mundur tentara Israel di 2000, Hizbullah mengembangkan doktrin militernya yang difokuskan mencegah Israel menyerang Lebanon. Oleh karena itu, definisi perlawanan diperluas dengan mencakup kemampuan menghadapi invasi dan melawan ancaman pendudukan. Melalui rekonstruksi konsep perlawanan seperti ini, yakni menjalankan misi mempertahankan wilayah Lebanon dari serangan musuh, maka gerakan ini memerankan diri mereka sebagai aparat militer negara. 

Penggabungan kedua strategi itu terefleksikan dalam kemampuan mereka menggunakan pelbagai jenis persenjataan dasar yang biasanya dipakai kalangan gerilyawan disamping juga sistem persenjataan modern yang sebanding dengan persenjataan yang dimiliki beberapa negara. Bukan hanya itu saja yang membentuk keunikan gerakan perlawanan itu selama perang, karena keterbatasannya, Hizbullah juga mampu mensistesiskan ketrampilan atas keduanya (penggunaan senjata dasar dan modern) secara lebih kreatif. 

Misalnya, Hizbullah sukses melumpuhkan Israel utara dengan tembakan rutin roket jarak pendek Katyusha tipe kuno. Hizbullah mampu menghindari sergapan tameng anti misil Israel yang canggih. Hizbullah mampu memetik nilai strategis dari persenjataan kuno yang dimilikinya. Meski demikian, Hizbullah juga menggunakan roket artileri jarak menengah yang lebih modern sehingga mampu menghantam kota-kota besar Israel termasukTel Aviv. 

Yang cukup mengejutkan, Hizbullah mampu memberikan serangan kejutan atas kapal perang Israel dengan misil anti kapal yang dipandu radar. Misil ini diduga adalah varian dari misil China C-802. Selain mengembangkan model baru yang sejenis, Hizbullah juga menggunakan misil anti tank model kuno buatan Rusia seperti AT-3 Sagger, AT-4 Spigot dan AT-5 Spandrel serta model yang lebih canggih seperti AT-14 Kornet, AT-13 Metis-M dan RPG 29. Hasilnya, Hizbullah sukses menewaskan banyak prajurit Israel, selain menghantam ratusan tank dan kendaraan tempur mereka. 

Dalam perang elektronik, Hizbullah berhasil menetralisir keunggulan teknologi Israel dengan cara yang sangat sederhana. Dalam berkomunikasi, Hizbullah hanya mengandalkan sistem fiber optik darat ketimbang memanfaatkan jaringan nir kabel yang lebih canggih. Hizbullah dapat menghindari upaya pengacauan sinyal elektronik Israel. Dengan demikian, pasukan Hizbullah dapat bergerak leluasa, lepas dari pantauan peralatan elektronik Israel. Walhasil, sistem kendali komando tetap berjalan dengan baik selama perang. 

Sebaliknya, Hizbullah berhasil menyusup ke dalam sistem elektronik Israel dan mengumpulkan data intelejen secara canggih. Keberhasilan itu tidak terlepas dari pesawat pengintai tanpa awak Mirsad-1 yang dimilikinya. Pesawat itu mampu menempuh wilayah udara Israel di 2004 tanpa terdeteksi. Pesawat itu mampu menyadap pembicaraan telpon selular antara para tentara Israel dengan keluarganya. Hizbullah juga mampu memecah sandi komunikasi radio Israel sehingga dapat melacak pergerakan tank Israel serta memonitor laporan korban dan rute suplai. 

Faktor itu pula yang mendorong Israel mengembangkan Trophy System (TAPS). Sistem ini dilengkapi radar untuk melacak misil yang datang. Agustus 2009, Israel menanam alat ini dalam tank Merkava generasi terbarunya. Sebelumnya, banyak tank Israel yang menjadi korban dalam perang 2006.


PENDIDIKAN BAGI PARA PEJUANG

Dalam konteks organisasi, Hizbullah dicirikan dengan pasukan non regular. Sebagai gerakan yang berbasis massa, kekuatan pejuang Hizbullah terdiri dari 1000 pejuang inti yang professional dengan dibantu penduduk yang berperan sebagai pasukan cadangan. Struktur komando terdesentralisasi namun didukung dengan kerahasiaan organisasi yang sulit ditembus.  Kemampuan ini didapat dari disiplin yang tinggi dan koordinasi yang ketat di antara para pejuang. Hal yang terjadi pada pasukan konvensional. 

Ancaman Nasrallah untuk “memberangkatkan ribuan pejuang terlatih dan bersenjata lengkap jika Israel melakukan serangan darat” mengindikasi bahwa Hizbullah mampu merubah pasukan cadangan mereka menjadi pasukan tempur yang professional. Sebuah laporan menyebutkan bahwa Hizbullah melakukan rekrutmen besar-besaran dan pelatihan selama berbulan-bulan setelah perang 2006. Meskipun Hizbullah mengalami kesuksesan dalam perang model ini, namun Hizbullah juga melakukan evaluasi performance tempur mereka. Hizbullah  mencoba mengantisipasi rencana perang berikutnya oleh Israel. Strategi dan taktik masa depan gerakan ini dihitung dengan cermat. ”Kami belajar dari pengalaman perang Juli sehingga membuat evaluasi dengan melihat titik kekuatan dan kelemahan kita maupun musuh dan kita membuat keputusan berdasarkan evaluasi tersebut,” papar Nasrallah. 

Upaya yang tak kenal lelah Hizbullah untuk mempelajari kelemahan lawan telah membedakan eksistensi gerakan ini dari kekuatan manapun di kawasan ini yang pernah bertempur dengan Israel.  Hizbullah telah melepaskan diri dari apa yang secara sinis disebut  para orientalis sebagai “Arab minds” (daya pikir orang Arab yang rendah). Alih-alih, Hizbullah  mampu mempenetrasi psikologi orang Israel dan cara berpikir militer mereka. Adapun faktor lainnya yang mendorong keberhasilan Hizbullah adalah proses evaluasi dan adaptasi berdasarkan kondisi dan kebutuhan riil, Hizbullah tidak terpaku kepada strategi militer yang kaku, sekalipun strategi tersebut pernah sukses di masa lalu. Namun Hizbullah lebih memilih melakukan adaptasi  terus-menerus atas perubahan lingkungan politik dan militer. Kekuatan Hizbullah terletak kepada kemampuannya mengadopsi doktrin militer yang bersifat non doktrinal.

Ini berarti bahwa kelompok perlawanan ini akan merevisi strategi militernya dalam perang berikutnya, menggeser dari doktrin yang murni defensif menjadi sebagian defensif  dan sebagian lainnya ofensif.  Strategi Hizbullah pada dasarnya bersifat defensif namun memiliki kemampuan ofensif.  Tampaknya gerakan ini akan memperkenalkan taktik baru dalam rangka memenuhi tujuan strategisnya secara lebih luas. Kemungkinan itu dapat terlihat dari ancaman Nasrallah untuk melancarkan “kejutan besar”. 

Kebanyakan para pengamat secara keliru berpendapat bahwa kejutan Nasrallah itu berupa kepemilikannya atas misil anti pesawat yang akan digunakan untuk menghantam pesawat Israel yang melanggar batas wilayah udara Lebanon. Hizbullah sebelumnya sudah memiliki SA-7 dan mungkin juga telah mendapatkan versi terbaru SA-18 di 2002.  Banyak laporan di 2008 menyebutkan tentang akuisisi Hizbullah atas sistem pertahanan udara canggih SA-8 yang dapat bergerak. Namun pendapat ini diragukan. Logikanya, Nasrallah telah berulang kali melakukan ancaman untuk menembak pesawat Israel maka ancaman tersebut tidak termasuk dalam elemen kejutan yang dimaksudkannya.

Maka teori yang masuk akal adalah bahwa kejutan Nasrallah itu berupa adopsi strategi dan taktik militer baru mereka: “Tentara musuh akan menyaksikan metode tempur yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka akan menghadapi para pejuang yang pemberani, keras dan setia dalam medan tempur, sesuatu yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya sejak berdirinya negara mereka yang illegal.” Nasrallah menegaskan tantangan itu sebagai respon doktrin Dahiyeh yang digariskan Gadi Eizenkot, komandan utara militer Israel yang memformulasikan persamaan lama antara Beirut dan “Tel Aviv sebagai Dahiyeh untuk Tel Aviv”.

Taktik yang dipersiapkan Nasrallah dapat juga mencakup serangan ke dalam wilayah Israel. Jurnalis kenamaan, Nicholas Blanford mengatakan, ”Seorang komandan lokal di Lebanon Selatan pernah berkata bahwa Hizbullah telah bertempur dalam perang defensif di 2006, ke depan kami akan melakukan serangan ofensif dan akan benar-benar menjadi perang yang berbeda.” Seorang  pejuang setempat mengatakan bahwa perang ke depan akan lebih banyak terjadi di Israel ketimbang di Lebanon. Dari pelbagai komentar itu disimpulkan bahwa Hizbullah sedang mempersiapkan serangan komando ke Israel Utara.

Meskipun dapat dianggap sebagai bagian perang psikologis, namun tak pelak militer Israel sendiri melakukan persiapan menghadapi skenario tersebut di mana pasukan komando musuh menyusup perbatasan utara dan menyerang Israel. 


PERANG TERAKHIR
Apapun taktik yang diterapkannya, Hizbullah harus menjamin bahwa mereka akan memenuhi janji Nasrallah untuk melakukan serangan menentukan atas Israel. Seperti yang dijelaskan pemimpin Hizbullah di tahun 2007, kejutan yang dia persiapkan untuk Israel berpotensi “merubah arah perang dan nasib kawasan” dan “mewujudkan kemenangan menentukan dalam sejarah”. Setahun kemudian, Nasrallah mengulang lagi perkataannya bahwa “Sejarah kami kedepan akan jelas dan sangat menentukan karena Hizbullah akan menghantam lima divisi yang akan ditempatkan Ehud Barak di Lebanon”. Akhir dari perang berikutnya seperti yang dijelaskan Nasrallah adalah kejatuhan akhir negara perampas sebagai akibat kekalahan Israel.  

Penting untuk membedakan wacana pasca perang Nasrallah dengan tujuan obyektif yang digariskannya selama perang Juli-Agustus. Di 2006, gerakan ini tidak meletakkan landasan militer apapun kecuali mempertahankan Lebanon dari agresi Israel dan mencegah musuh menduduki wilayahnya. Dalam konteks ini, Hizbullah dapat menyatakan kemenangannya, setidaknya dalam pengertian pertempuran, dan memaksa musuh menarik mundur pasukannya. 
 


Namun gerakan Hizbullah telah memasang target yang begitu tinggi dalam perang selanjutnya. Dengan mengumumkan tujuan barunya sebagai kemenangan strategis akan memiliki implikasi regional yang mendalam, Hizbullah harus menjamin akan mencapai kemenangan yang strategis dalam perang berikutnya dengan Israel. Kemenangan tersebut harus berakhir dengan  diumumkannya perang terbuka antara kedua musuh itu terjadi dan berikutnya yang lebih penting berhasil menetralkan ancaman langgeng Israel atas kawasan tersebut. Jadi perangnya di masa depan melawan Israel harus menjadi perang terakhir untuk Hizbullah.