oleh Sulaiman Djaya, esais dan
penyair
Indonesia sebagai sebuah
nama bagi geografi yang kemudian dicakup dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) tentulah saya ‘kenal’ ketika saya mulai menjalani pendidikan
formal di Sekolah Dasar (SD). Salah-satunya melalui materi sejarah, yang ketika
itu disampaikan melalui Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Meski
kemudian saya tahu, bersamaan dengan pembawaan otodidak saya, untuk membaca
buku-buku di luar kebutuhan materi kuliah di sebuah universitas di mana saya
ikut duduk di kelas bersama para mahasiswa/i yang lain, saya jadi tahu bahwa
Indonesia sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah buah
dari ‘peristiwa’ politik dalam rentang 1945-1950an, karena sebelumnya geografi
yang kini tercakup dalam nama Indonesia adalah sebaran sejumlah kerajaan dan
kesultanaan, termasuk di era Pemerintah Hindia-Belanda.
Namun demikian, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang merupakan ‘penyatuan’ sejumlah warisan
historis kerajaan dan kesultanan di wilayah-wilayah yang kini tercakup dalam
nama Indonesia, merupakan bukti kecerdasan dan kearifan para bapak bangsa kita
bahwa sebaran kerajaan dan kesultanan itu pada hakikatnya adalah masih
‘saudara’ setanah-air meski beragam suku, budaya, bahasa, ras, dan agama. Dan
inilah keunikan sekaligus keunggulan bangsa kita, yang kemudian ‘dipatenkan’
dalam Dasar Negara (Pancasila) dan UUD 45 dengan ‘motto’ Bhinneka Tunggal Ika.
Terbentuk dari rajutan dan sulaman keragaman namun memiliki kesadaran bersama
untuk menamakan diri mereka sebagai ‘Bangsa Indonesia’. Sebuah ‘Bangsa’ yang
kemudian sejak era orde baru Soeharto, mulai ‘dikendalikan’ oleh kekuatan asing
(Amerika) setelah sebelumnya diatur oleh bangsa lain (Belanda).
Saat ini saya tidak mempercayai
partai politik, elite elite negeri ini, mulai dari eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Karena bagi saya, mereka semua sama: tidak menjalankan visi
Pancasila dan amanat UUD 45, yang ada malah mereka berusaha mengamandemen UUD
45 yang sejalan dengan kepentingan kebijakan liberal. Sebagai warga Negara saya
berhak memiliki persepsi dan pandangan yang seperti itu berdasarkan pembacaan
subjektif saya, karena hakikat pendirian Negara bangsa adalah demi cita-cita
warga Negara. Namun kenyataannya bangsa dan Negara ini dikangkangi feodalisme
baru yang berbaju partai politik dan rutinitas suksesi.
Kebijakan liberal itu,
contohnya, tampak tambah menguat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
karena kebetulan Wakil Presidennnya, yaitu Boediono dan salah-satu menteri di
kabinetnya, yaitu Sri Mulyani adalah orang-orang liberal. Yang saya maksud
kebijakan liberal adalah kebijakan yang tidak pro rakyat, tetapi lebih pro
oligarkhi dan korporasi global (Amerika dkk), seperti kebijakan pencabutan
subsidi sosial dan privatisasi aset-aset Negara. Berikut contoh regulasi
(Undang-Undang) yang disetir oleh kebijakan liberal (pro oligarkhi dan korporat
global): UU Penanaman Modal Asing, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan UU BUMN.
Pengesahan UU ini dilakukan dengan intervensi konsultan asing seperti New
Democratic Initiatives (NDI) dan United States Agency for International
Development (USAID).
Mereka contohnya bermain
dengan menggunakan tangan DPR dan para menteri, seperti dengan menggunakan
tangannya Laksamana Sukardi, Boediono, Sri Mulyani, Darmin Nasution, dan
sejumlah think tanks dan arsitek kebijakan liberal di negeri ini, yang juga
masih aktif, seperti di pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat ini.
HARI INI MEMANG
PEMAHAMAN TENTANG POLITIK BERSIFAT MACHIAVELIAN, politik yang lebih dimengerti,
dan pada kenyataannya memang demikian, sebagai predatorisme oligarkhi dan
korporasi global. Politik dalam arti ‘keberpihakan kepada mayoritas warga’,
kalau pun ada, lebih merupakan kemasan halus kapitalisme global, di mana warga
Negara lebih dipahami sebagai konsumen komoditas mereka, bahkan hingga sumber
daya dan fasilitas yang mestinya dikelola Negara sekali pun, dikomoditaskan
oleh oligarkhi dan korporasi. Jika kita bertanya: Apakah elite-elite bangsa ini
mengamalkan amanat UUD 45 dan isi Pancasila? Maka jawabannya tidak. Dulu,
barangkali, pengaruh dan dominasi lembaga-lembaga global (Amerika) dkk itu
masih sebatas berada di halaman Negara bangsa kita, tapi saat ini sudah berada
di dapur Negara bangsa kita. Mereka bahkan mampu mengarahkan kebijakan apa dan
keputusan seperti apa yang akan diambil oleh anggota DPR dan para elite-elite
eksekutif negeri ini, dari tingkat presiden hingga menteri.
Sebagai contoh,
terkait rezim saat ini, misalnya, warga Negara yang tercerahkan akan mengajukan
beberapa pertanyaan:
[1] Bagaimana
sesungguhnya proses pengambilan keputusan dan kebijakan para elite itu,
mengingat misalnya, terkait kebijakan ekonomi dan politik Darmin Nasution dan
Sri Mulyani, yang membuka lebar-lebar modal asing (100%) pada sektor-sektor
yang seharusnya dikelola rakyat
[2] Atas dasar apa
keputusan tersebut diambil, mengingat banyak sekali kebijakan yang diambil Sri
Mulyani, Darmin Nasution, dkk lebih berpihak kepada oligarkhi dan korporasi
global ketimbang pada pemberdayaan usaha warga negara bangsa ini.
[3] Apakah, jika
dilihat dengan kacamata buruk-sangka, rezim saat ini memang sebuah Negara
dengan banyak boss? Yang kebetulan para boss itu tak ubahnya para don dari
dunia sana yang seenaknya saja menekan dan mengarahkan kebijakan Negara lain
yang akan menguntungkan mereka.
[4] Sebab, di saat
ketersediaan komoditas, sebagai contohnya, Negara ini malah mengimpor beras,
bawang, gula dan yang lainnya secara gila-gilaan sehingga berimbas pada para
petani dan wong cilik
Mungkin proklamasi
era millennial ini cocok dengan krisis politik, ideologi dan identitas bangsa
kita saat ini: “Proklamasi………Kami elite-elite Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan ini menyatakan siap melaksanakan kebijakan liberal dan
melayani keinginan korporasi global Amerika dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.” Tentu kita tidak boleh lupa bahwa tertulis dalam UUD 45:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Namun sekarang Negara
beserta para elitnya ngangguk-ngangguk dan manut kepada lembaga-lembaga Amerika
seperti World Bank, IMF, NDI dan USAID untuk mengkhianati Pancasila dan UUD 45.
Sehingga aset-aset Negara diprivatisasi seperti di era Megawati oleh korporasi
global (Amerika dkk), usaha anak-anak bangsa tumbang oleh mafia dan kartel
internasional, bahkan ditumbangkan kebijakan politik bangsa sendiri. Sampai
bangsa ini tak lagi punya pemimpin, yang ada adalah elite-elite yang menjadi
pencuri-pencuri kecil yang melayani pencuri-pencuri besar (korporasi global).
Hal demikian adalah
cerminan krisis politik, ideologi dan identitas yang melanda bangsa yang
bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia: kehilangan jatidiri dan martabat.
Intelektual-intelektual negeri ini ternyata para kolaborator ideologi liberal
Amerika. Mafia Berkeley Jilid II. Juru dakwah-juru dakwah yang menyiapkan jalan
bagi kebijakan liberal.
Tak ketinggalan,
media atau pers Indonesia pun menjadi kolaborator mereka, dan saat ini sedang
berlangsung, bagaimana media dan pers Indonesia bekerja pula untuk
mempertahankan status quo yang pro kebijakan liberal. Dalam konteks suksesi dan
pemilihan umum tingkat presiden, oligarkhi dan korporasi ini acapkali bermain
dua kaki. Masyarakat dan publik dibuat gamang oleh mereka, dihasut setiap waktu
dengan propaganda-propaganda partisan yang tidak mendidik dan semakin menambah
kebodohan warga Negara, bukannya mencerdaskan. Tentu saja mereka, oligarkhi dan
korporsai global ini, seperti telah disebutkan, ‘membeli’ bos-bos media, karena
media dapat menjadi instrument komunikasi dan propaganda massif yang cepat dan
efektif untuk menyebarkan propaganda-propaganda yang sejalan dengan kepentingan
mereka.
Terkait yang
demikian, Professor James Petras pernah mengungkapkan pernyataan yang menarik:
“Hubungan antara teknologi informasi, khususnya internet dengan politik
merupakan isu penting yang menjadi bagian dari gerakan sosial kontemporer.
Banyak ilmuwan terdahulu mengembangkan teknologi informasi untuk tujuan ganda,
di satu sisi teknologi informasi berhasil mengakselerasi aliran capital secara
global khususnya capital financial dan memfasilitasi agenda globalisasi ala
imperialis”.
JIKA KITA IBARATKAN
DUNIA SAAT INI TAK UBAHNYA PAPAN CATUR, maka rajanya adalah oligarkhi dan
korporasi global, sedangkan para punggawa dan pasukannya adalah para pemimpin
Negara, militer, partai politik, kongres, dan media. Dunia hari ini, jika saya
meminjam metaforanya Hannah Arendt dalam bukunya yang berjudul The Human
Condition itu, adalah ketika yang private (yang ekonomi) menguasai dan mengatur
yang publik dan yang politis, dalam arti para penguasa politik sesungguhnya
adalah oligarkhi dan korporasi global
BAGAIMANA REJIM
NEOLIBERAL ITU? Watak predatorisme kaum oligarkhi dan para korporat global yang
memainkan kebijakan neoliberal, tak segan-segan mengorbankan kepentingan rakyat
dan hanya memandang warga Negara sebatas sebagai konsumen. Rasa-rasanya saya
perlu mengutip pernyataan Alvaro Garcia Linera, sebelum saya mengajukan
sejumlah pertanyaan lainnya, demi sedikit menerangkan apa neoliberalisme itu,
yaitu:
“PERTAMA-tama,
neo-liberalisme menandakan proses fragmentasi – disintegrasi struktural –
terhadap jaringan dukungan, solidaritas, dan mobilisasi kerakyatan. Di penjuru
dunia, terutama di Eropa, Amerika Latin, dan Asia neo-liberalisme berkembang
dari penghancuran, fragmentasi, dan disintegrasi terhadap gerakan pekerja yang
lama, gerakan tani yang lama, dan mobilisasi perkotaan yang berkembang di tahun
lima-puluhan dan delapan-puluhan.
Fragmentasi
masyarakat dan penghancuran jaringan solidaritas maupun ikatan-ikatan kohesif
telah memicu konsolidasi neo-liberalisme.
KEDUA,
neo-liberalisme telah terbentuk, termajukan, dan menerapkan dirinya di dunia
melalui privatisasi, yakni pengambil-alihan swasta terhadap kekayaan kolektif
dan kepemilikan publik, termasuk simpanan publik, tanah, mineral, hutan, dana
pensiun. Neo-liberalisme berkembang melalui privatisasi sumber-sumber daya
tersebut.
KETIGA, masuknya
neo-liberalisme disertai dengan penyusutan dan deformasi negara, terutama aspek
negara yang baik-buruknya berhubungan dengan konsep kolektif atau ide-ide
kesejahteraan. Neo-liberalisme bertujuan menghancurkan pengertian negara
sebagai kolektif atau penjamin kesejahteraan, demi menerapkan tipe ideologi
korporat yang menyerukan pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan kolektif yang
diakumulasikan berkali-kali oleh dua, tiga, empat, atau lima generasi.
KEEMPAT, penerapan
neo-liberalisme menyebabkan pembatasan partisipasi politik rakyat; demokrasi
diritualkan menjadi pemungutan suara setiap empat tahun. Warga pemilih tidak
lagi turut serta dalam penentuan keputusan. Segelintir kecil lingkaran elit politik
mengutus dirinya sendiri untuk mewakili rakyat. Inilah empat pilar
neoliberalisme – fragmentasi terhadap sektor-sektor pekerja dan organisasi
pekerja, privatisasi sumber daya publik, memudarnya peran negara, dan
rintangan-rintangan terhadap pengambilan keputusan oleh rakyat”.
Juga pembukaan
pidatonya Fidel Castro, yang berbunyi: “Globalisasi adalah realitas obyektif
yang menggarisbawahi kenyataan bahwa kita semua adalah penumpang dalam kapal
yang sama – planet ini di mana kita semua bertempat tinggal. Tapi penumpang
kapal ini melakukan perjalanan dalam kondisi yang sangat berbeda.
Sejumlah kecil
minoritas melakukan perjalanan dalam kabin mewah yang dilengkapi dengan
internet, telepon seluler dan akses terhadap jaringan komunikasi global. Mereka
menikmati makanan yang bergizi, berlimpah dan seimbang berikut persediaan air
bersih. Mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang canggih dan
seni budaya.
Sejumlah besar
mayoritas yang menderita melakukan perjalanan dalam keadaan yang menyerupai perdagangan
budak yang menakutkan dari Afrika ke Amerika dalam masa kolonial kami yang
lalu. Jadi, 85 persen penumpang kapal ini disesakkan ke dalam lambung kapal
yang kotor, menderita kelaparan, penyakit, dan tak mendapat pertolongan.
Tentunya, kapal ini mengangkut
terlalu banyak ketidak-adilan sehingga tidak akan terus mengapung, mengejar
rute yang begitu tak rasional dan tak masuk akal sehingga tidak akan selamat
sampai di pelabuhan. Kapal ini tampak ditakdirkan untuk karam menabrak bongkah
es”.