oleh Sulaiman Djaya, pemerhati budaya
Di perpustakaan Forum
Mahasiswa Ciputat (FORMACI), sewaktu saya masih aktif mengikuti darsah dan
kajiannya bersama teman-teman mahasiswa yang lain, saya menemukan buku Saqifah
yang ditulis oleh O. Hashem. Buku itu mencuri minat dan perhatian saya karena
sub-judulnya: Awal Perselisihan Umat. Segera saja buku yang mulai kusam itu
saya baca, dan segera saya pun jadi tahu kemelut perebutan kekuasaan di saat
Kanjeng Nabi Wafat, meski Kanjeng Nabi telah menetapkan Sayidina Ali sebagai
pemimpin penggantinya berdasarkan perintah wahyu ayat 67 Surah Al-Maidah yang
turun di Ghadir Khum saat Haji Wada’ yang beliau umumkan di hadapan jamaah haji
saat itu.
Peristiwa Saqifah adalah
kudeta pertama dalam sejarah Islam, ketika Umar dkk mengkudeta Sayidina Ali di
saat Sayidina Ali, Sayidah Fatimah, Imam Hasan, Imam Husain dan lainnya sedang
sibuk mengurus jenazah Kanjeng Nabi. Sungguh luar biasa! Di saat Kanjeng Nabi
wafat, mereka malah mengadakan konferensi Saqifah untuk mendirikan kekhilafahan
bukannya mengurus jenazah Kanjeng Nabi.
Sayidah Fatimah dan
sejumlah sahabat yang pro Sayidina Ali tentu saja menolak khalifah hasil
Konferensi Saqifah, semisal Salman, Abu Dzar, Malik Asytar, Bilal dan yang
lainnya dan mereka mengusulkan untuk memerangi kelompok Saqifah namun dicegah
dan dilarang oleh Sayidina Ali karena hanya akan menciptakan perang saudara. Tapi
apa lacur. Umar, Khalid bin Walid dkk memaksa ba’iat Sayidah Fatimah
sampai-sampai mereka membakar dan mendobrak pintu rumah Sayidah Fatimah hingga
menyebabkan luka, yaitu patahnya tulang rusuk Sayidah Fatimah, yang harus
ditanggung oleh Sayidah Fatimah dengan rasa sakit selama 75 hari sisa hidupnya
sebelum wafat paska wafatnya Kanjeng Nabi.
Buku yang ditulis oleh O.
Hashem itu membuat saya ingin melakukan kajian pustaka yang lainnya: apakah
peristiwa Saqifah dicatat oleh buku-buku lain. Dan ternyata sejumlah buku
Sejarah Islam membenarkan peristiwa Saqifah tersebut. Tradisi Sunni atau Kaum
Asy’ariyah-Maturidiyah menutupi sejarah Islam ini. Saya tidak tahu alasannya.
Tapi yang pasti, setelah saya tahu dan kemudian melakukan kajian pustaka
lanjutan, banyak penulis, perawi dan sejarahwan Sunni sendiri sebenarnya
mencatat peristiwa tersebut dalam kitab-kitab mereka, tapi secara tradisi
sejarah tersebut tidak diinformasikan di kalangan umat.
Peristiwa tersebut membuat
saya kemudian meragukan klaim kaum Asy’ariyah-Maturidiyah (Sunni) bahwa semua
sahabat itu ‘adil. Klaim yang tidak logis dan menentang fitrah memang. Karena
manusia dari dulu sampai sekarang tak pernah sama maqom dan derajatnya karena
ikhtiar dan kapasitasnya pun tidak-lah sama.
Kaum Sunni memiliki suatu
pandangan bahwa seluruh sahabat Kanjeng Nabi Muhammad Al-Mustafa (tanpa
kecuali) adalah contoh-contoh dan suri teladan yang patut kita teladani dan
mereka itu pada masa hidupnya tak tersentuh oleh nafsu duniawi, mereka bersih
dari dosa, mereka tidak serakah dan senantiasa berbuat baik. Mereka juga memiliki
pandangan bahwa semua sahabat itu saling mencintai satu sama lainnya, mereka
bekerja sama untuk menuju cita-cita Islam, mereka jauh dari saling membenci dan
saling iri hati satu sama lainnya. Akan tetapi pandangan itu ternyata jauh
panggang dari api. Sebuah klaim ahistoris yang tak mendidik.
Pandangan itu tidak sesuai
dengan kenyataan sejarah. Memang, kita sebenarnya berharap bahwa hal itu benar,
akan tetapi fakta-fakta dan bukti-bukti sejarah malah tidak mendukung sama
sekali apa yang sudah diyakini sebagai kebenaran –yang ternyata politis ini.
Fakta-fakta sejarah yang kejam merobek-robek pandangan-pandangan itu, sehingga
orang-orang yang mengagumi para sahabat akan terhenyak di kursinya apabila
kenyataan sejarah yang sebenarnya sampai pada mereka semua.
Mereka hampir-hampir
semuanya tidak sanggup menerima kenyataan bahwa keutamaan-keutamaan para
sahabat yang mereka kagumi hanyalah mitos belaka. Seorang pengagum yang paling
fanatik pun tidak bisa menyangkal bahwa ada pergulatan kekuasaan diantara para
sahabat yang memuncak bahkan sebelum Rasulullah dikebumikan sekalipun. Dan hal
ini dicatat oleh banyak kitab-kitab yang ditulis oleh para perawi dan
sejarahwan Sunni sendiri dan para sejarahwan dari mazhab lainnya. Mereka tidak
bisa menyangkal sedikitpun bahwa pergulatan politik seperti itu memang ada dan
pernah terjadi.
Oleh karena itu,
bukti-bukti sejarah yang melimpah yang tertulis dalam berbagai buku sejarah
Islam yang standar itu bisa kita pakai untuk merekonstruksi sejarah,
merekonstruksi pandangan kita terhadap para sahabat, merekonstruksi keyakinan
kita akan Islam karena dari para sahabatlah kita mendapatkan Islam. Sedangkan
para sahabat itu tidak semua bisa kita percayai sesuai dengan apa yang kita
lihat dalam sejarah.
Tidak masuk akal sehat
kita apabila para sahabat itu sama semua dari segala aspeknya termasuk aspek
keimanan dan ketakwaan. Bahkan para Nabi pun memiliki berbagai tingkatan
ruhaniah, apalagi para sahabat yang hanya manusia biasa. Tidak ada dua orang
yang memiliki semua tingkat keimanan dan ketakwaan yang serupa. Dan hal itu
sudah fitrah manusia yang tak pernah sama, sebab ikhtiar dan kapasitas manusia
pun tidak sama.
Ketika mereka menerima
Islam sebagai agama mereka, para sahabat Nabi itu adalah manusia biasa dan
mereka memiliki preferensi yang berbeda-beda terhadap Islam. Masyarakat Islam
yang ada pada waktu itu sama saja dengan yang ada pada hari ini. Masyarakat
Islam pada waktu itu terdiri dari berbagai umat manusia dengan setiap karakter
yang berbeda-beda.
Setelah memeluk Islam,
beberapa dari mereka sanggup mencapai derajat keIslaman yang tinggi bahkan
mencapai ke-ma’shuman seperti contohnya Sayidina Ali, sedangkan yang lainnya
tetap sama—keadaan sebelum dan sesudah masuk Islam sama saja. Adapun penolakan
(keengganan) Kaum Sunni terhadap Ghadir Khum dan pengangkatan Sayyidina Ali
oleh Kanjeng Nabi sebagai pemimpin pengganti Kanjeng Nabi, contohnya disindir
oleh Ayatullah Montazeri:
Ada seorang alim Syiah
melewati kelompok Sunni. Mereka meminta agar alim Syiah itu bermalam di rumah
mereka. Ia menyatakan kesediaannya dengan syarat tidak terjadi diskusi mazhab.
Usai makan malam, berkatalah salah seorang ulama Sunni, “Bagaimana pendapatmu
tentang Abu Bakar?” Ia menjawab, “Abu Bakar adalah muslim yang utama, salat,
saum, haji, bersedekah, dan menyertai Nabi saw.” Kata alim Sunni, “Bagus,
teruskan.” Alim Syiah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu lebih utama
dan lebih cerdas dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir takjub mendengar itu
dan berkata, “Mengapa engkau berkata seperti ini?” Orang Syiah itu berkata,
“Rasulullah saw memerintah kaum muslimin selama 23 tahun tetapi ia tidak pernah
memikirkan wajibnya dan pentingnya mengangkat khalifah. Abu Bakar hanya
memerintah kurang dari tiga tahun tetapi ia mengerti dan memahami pentingnya
seorang khalifah. Dengan begitu, niscaya Abu Bakar lebih cerdas dari Nabi saw.”
Sindiran itu hanya ingin
mengatakan betapa mustahil dan tidak mungkinnya bila Kanjeng Nabi tak
memikirkan masa depan ummatnya sehingga ia tidak menyiapkan pemimpin
penggantinya yang sangat layak dan utama. Orang yang memang dalam kenyataan
sejarah lebih utama daripada para sahabat lainnya.
Sementara itu, dalam
sejarah Islam awal, Umar bin Khattab dkk dikenal sebagai kaum dan kelompok yang
menciptakan permusuhan dan perpecahan di kalangan ummat Islam. Bahkan ada yang
menyebut mereka sebagai kaum penyerobot. Sebenarnya pembangkangan Umar bin
Khattab, sebagaimana dicatat Ibn Abbas dan para sahabat lainnya, sudah ia
demonstrasikan saat menentang permintaan Kanjeng Nabi kala sakitnya di
pembaringan untuk didatangkan kertas dan pena di mana Kanjeng Nabi akan menulis
wasiat dengan kertas dan pena itu. Saat itu Umar bin Khattab berkata, “Orang
ini meracau….Kitab Allah adalah cukup bagi kita…” Perkataan Umar bin Khattab
itu pun menimbulkan kegaduhan dan perpecahan di kalangan para sahabat yang ada
kala itu dan contoh sikap kurang ajar sehingga Kanjeng Nabi mengusir Umar dan
kelompoknya dari rumah Kanjeng Nabi.
Selain itu, perkataan
Umar bin Khattab itu dengan jelas telah memisahkan Kitab Allah dengan Nabi SAW
ketika dia berkata di hadapan Kanjeng Nabi Saw:
“Kitab Allah adalah cukup bagi kita”. Kata-kata Umar itu secara langsung
merendahkan martabat Kanjeng Nabi Saw.