Syekh Abdul Qadir Jailani, dalam
kitabnya yang berjudul Al Ghunyah, mengatakan bahwa Asyura itu termasuk
‘Asyirul Karomah (hari berkeramat yang ke-10). Peristiwa Asyura disejajarkan
dengan peristiwa Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulidil Rasul, Isra dan Mi’raj,
Yaumil Arafah, Lailatul ‘Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan termasuk yang
ke-10 adalah hari yang penuh keramat, penuh kemuliaan bagi umat Islam, yaitu
hari Karbala.
Disampaikan oleh KH. Dr. Said Aqil Siradj
(Inilah Madrasah Karbala dan Asyura pertama
di Indonesia yang diselenggarakan oleh masyarakat NU dan Syiah secara guyub,
harmonis dan terbuka untuk umum).
Kita semua telah mengetahui bahwa cucu
Rasulullah Saw dari Sayyidah Fathimah az-Zahra yaitu Al Hasan dan Al Husain,
keduanya akan menjadi pemimpin pemuda surga, dua orang pemuda yang sudah
dipastikan masuk surga. Hendaknya umat Islam mencontoh dan mengambil teladan
dari kedua tokoh tersebut, dari kedua pemimpin kita semua. Baik dilihat dari
nash Al Quran dan Al Hadits maupun dilihat dari sejarah, kita seharusnya
menghayati apa arti Asyura, apa arti peristiwa Karbala ini sebagai mas’alatil
Islam wal muslimin, sebagai tragedi yang menimpa umat Islam dan ajaran Islam
itu sendiri.
Walaupun ada beberapa pihak yang tidak
senang dengan adanya acara ini, itu karena mereka melihatnya dengan
sepotong-sepotong, hanya melihat dari aspek politik saja. Tetapi bagi kita yang
masih memiliki hati nurani yang ikhlas dan iman yang cukup ideal, kita
mencintai hari ini, acara ini, bukan karena kepentingan, politik, target, atau
apapun yang bersifat duniawi, tapi kita betul-betul melihat peristiwa Karbala
sebagai peristiwa adzim, salah satu peristiwa agama. Sama seperti peristiwa
lahirnya Nabi Muhammad, Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Yaumil Arafah, demikian
pula peristiwa Karbala merupakan peristiwa agama.
Syekh Abdul Qadir Jailani, dalam
kitabnya yang berjudul Al Ghunyah, mengatakan bahwa Asyura itu termasuk
‘Asyirul Karomah (hari berkeramat yang ke-10). Peristiwa Asyura disejajarkan
dengan peristiwa Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulidil Rasul, Isra dan Mi’raj,
Yaumil Arafah, Lailatul ‘Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan termasuk yang
ke-10 adalah hari yang penuh keramat, penuh kemuliaan bagi umat Islam, yaitu
hari Karbala. Artinya, memperingati peristiwa Karbala bukan milik kelompok
tertentu, dalam hal ini Syiah, tetapi milik kita semua sebagai umat Islam,
terlebih lagi milik NU. NU seharusnya berada di depan, menjadi pelopor dalam
memperingati acara ini. Syiah merupakan kelompok minoritas di negeri ini,
sedangkan NU adalah kelompok terbesar, jadi seharusnya merasa memiliki hari
ini.
Kita seharusnya berkewajiban dan merasa
terpanggil untuk menghidupkan acara Madrasatil Karbala, karena merupakan
peristiwa besar dalam agama Islam. Cucu Rasulullah Saw, yang ketika masih kecil
selalu digendong dan diciumi oleh beliau, bersama seluruh rombongannya,
keluarganya, putra-putranya, laki-laki dan perempuan, semuanya dibantai dan
disembelih, dibunuh dengan sangat sadis di padang Karbala. Yang selamat hanya
dua orang, yaitu Sayyidah Zainab dan Imam Ali Zainal Abidin. Itupun karena Imam
Ali Zainal Abidin sedang sakit dan ditunggui oleh Sayyidah Zainab, sehingga
mereka tidak keluar dari kemah. Seandainya beliau tidak sakit dan keluar dari kemah,
tentulah Ahlul Bait sudah habis.
Ini adalah suatu kekejaman yang luar
biasa, suatu peristiwa besar yang luar biasa, tidak kalah dengan peristiwa
agama Islam yang lain. Hendaknya kita sebagai masyarakat Nahdatul Ulama,
sebagai pengikut Ahlusunnah, yang arti sebenarnya adalah yang selalu berjalan
di atas garis Rasulullah, peduli dengan hari yang sangat memilukan ini. Kita
tidak perlu melihat dengan kaca mata politik, karena dalam politik selalu ada
dampak kepentingan yang nantinya akan menimbulkan fanatisme kelompok, kemudian
timbul fitnah, dan seterusnya.
Marilah kita berkumpul dalam Madrasatil
Karbala ini dengan tulus ikhlas, menghidupkan hari pengorbanan yang besar dari
cucu Rasulullah Saw. Tanpa ada pengorbanan, agama apapun, perjuangan apapun,
idealisme apapun, tidak akan terwujud. Pengorbanan itu baik dalam bentuk jiwa,
tenaga, maupun harta. Islam dibesarkan oleh Allah melalui wasilah, perantara,
darah-darah syuhada yang dikorbankan dengan sangat murah, antara lain dalam
perang Badar, Uhud, dan peperangan lain. Dan juga yang sangat mengejutkan
adalah darah Imam Husain yang dibantai di padang Karbala. Hal ini harus menjadi
catatan sejarah yang betul-betul masuk dalam keimanan kita.
Oleh karena itu, di Timur Tengah,
seperti di Mesir yang mayoritasnya Ahlusunnah, apalagi di Iran dan Irak, sudah
menjadi budaya untuk memperingati hari ini secara besar-besaran. Pengorbanan
yang telah dicontohkan oleh Imam Husain, hendaknya menjadi contoh bagi kita
semua.
Agama Islam sebenarnya merupakan amanat
yang digantungkan pada leher kita semua. Apabila kita tidak merasa demikian,
maka kita tidak akan terpanggil, tidak akan peduli, tidak akan semangat, tidak
akan mempunyai motivasi dalam perjuangan agama. Tentunya bukan berarti kita
harus berperang, tetapi kita dalam memperjuangkan kebenaran pasti ada
tantangan. Jika ada tantangan pasti ada upaya, perjuangan, rasa lelah, prinsip
yang kuat, dan sikap yang tegar dalam menghadapinya. Tanpa itu semua, jangan
harap Islam bisa diperhitungkan. Yang ada hanyalah Islam turunan, Islam KTP,
Islam yang terbawa oleh lingkungannya.
Hal ini berarti, bahwa setiap umat Islam
harus mempunyai visi ingin mengubah atau ingin melakukan sesuatu yang bisa
mengubah keadaan yang tidak baik atau tidak benar. Setiap kali kita melihat
kejelekan atau kerusakan, kerusakan masyarakat atau kerusakan sosial, kita
harus terpanggil ingin mengubah hal itu menjadi baik. Sudah tentu tidak harus
dengan kasar atau kekerasan, tapi kita mempunyai tujuan ingin mengubah keadaan
yang buruk ini.
Jika masyarakat sudah rusak, terjadi
bentrok antar masyarakat, antar kelompok, apalagi sesama umat Islam, pejabat
melakukan KKN, para kyai bertengkar, kaum mudanya terbawa arus entah kemana,
kemungkaran merajalela, kebohongan dan fitnah mudah sekali timbul sesama Islam,
maka kita harus mempunyai niat untuk mengubahnya. Hal seperti ini jangan sampai
berlanjut dan harus kita ubah. Caranya jangan dengan kekerasan, tapi harus
dengan ketegasan. Itulah salah satu pelajaran yang diambil dari peristiwa
Karbala.
Imam Husain meninggalkan Madinah dan
Mekah pada musin haji yang ramai dengan orang yang melaksanakan ibadah haji.
Betapapun pentingnya ibadah haji, tetapi jika hanya dipandang sebagai
rutinitas, sebagai hal yang biasa, maka tidak ada artinya, tidak akan mengubah
sesuatu. Seseorang, asal memiliki uang, tiap tahun dapat melaksanakan ibadah
haji. Akan tetapi, adakah perubahan bagi diriya, bagi lingkungannya, dan bagi
masyarakatnya? Tidak ada sama sekali!
Sedangkan Imam Husain meninggalkan umat
Islam yang akan berhaji, dan berangkat menuju Irak. Yang terlihat seolah-olah
beliau meninggalkan kegiatan ibadah haji, salah satu rukun Islam, bersama
seluruh keluarga dan pengikutnya Tetapi, bagi orang yang mengerti, tujuannya
adalah ingin mengubah, ingin melakukan perubahan, jika perlu dengan berkorban,
dan ternyata beliau betul-betul berkorban. Inilah orang yang betul-betul
memiliki spiritual quotient (kecerdasan spiritual).
Jika hanya IQ (intelegent quation) saja
yang dipedulikan, maka akibatnya seperti yang sering terjadi di Jakarta,
orang-orangnya ber-IQ tinggi, tetapi juga pandai korupsi. Sedangkan di desa,
orang-orangnya tidak pandai, IQ-nya rendah, tapi akhlaknya lebih baik. Jika
IQ-nya tinggi, cerdas, tapi moralnya bejat, maka yang tejadi adalah kerusakan
seperti situasi saat ini. Yang bisa mengubah keadaan ini adalah orang yang
memiliki SQ (spiritual quotient) atau dzaka’irruh, dengan menggunakan salah
satu sel yang ada dalam saraf yang disebut God’s Spot (titik Tuhan), atau
istilah agamanya bil khusyu’ wal khudu’ wa tadhorru’. Bagaimana kita
mengupayakan titik Tuhan kita agar selalu “on”, selalu aktif, menyala, dan
mempunyai daya kekuatan yang tajam, sehingga kita mampu mengubah keadaan ini.
Hal ini dicontohkan oleh Imam Husain ra, yang ingin mengubah keadaan yang sudah
sangat parah dan tidak bisa ditolerir, walaupun beliau harus meninggalkan acara
seremonial besar yaitu ibadah haji.
Perubahan yang dicita-citakan oleh Al
Husain, bukan hanya perubahan politik (siyasah), tetapi yang paling penting dan
mendasar adalah inovasi atau meningkatkan kualitas iman dan akhlaqul karimah.
Bukan hanya ingin menjatuhkan Yazid, kemudian beliau menjadi khalifah, tetapi
cita-cita yang beliau inginkan adalah bagaimana umat Islam betul-betul
menjalankan sunnah Rasul Saw. Jika kita ingin menganggap diri kita Ahlusunnah
wal jamaah, maka masing-masing diri kita harus mempunyai visi demikian.
Oleh karena itu, yang perlu kita
tekankan dalam Madrasatil Karbala ini adalah, aktivitas budaya, gerakan moral
dan akhlak, gerakan tsaqafah tarbawiyyah, meningkatkan pendidikan, wacana, dan
intelektualitas kita. Selain itu juga gerakan moral, spiritual, rohani, dan
menunjukkan bahwa kita adalah kelompok yang memiliki akhlaqul karimah, yang
kepribadiannya tegar dan imannya besar, tidak mudah terombang-ambing oleh
pengaruh keadaan sekarang ini. Itulah yang kita harapkan dari Madrasatil
Karbala ini, dan sama sekali tidak mempunyai target politik, atau acara-acara
yang berbau politik.
Mari kita tunjukkan kepada umat Islam
yang lain, yang masih belum paham, apalagi yang masih su’udzon kepada kita.
Kita tunjukkan bahwa kita benar-benar murni dan ikhlas, tidak memiliki target,
bukan gerakan politik, tapi kita ingin membangun kepribadian muslim sunni yang
betul-betul sunnaturrasul wa min haajihi. Itulah yang kita harapkan.
Dari aspek budaya, sebenarnya pesantren
NU adalah orang-orang yang paling mencintai Ahlul Bait, bahkan boleh dibilang
“sudah menjadi Ahlul Bait”, hanya secara ilmiah kita tidak mengetahuinya. Akan
tetapi, tanpa terasa, kita para santri sudah menjadi Ahlul Bait. Para sufi,
para tarekat tasawuf, semuanya sudah menjadi Ahlul Bait. Hal itu dilihat dari
bacaan tawasul yang setiap hari dibacakan dalam Al Fatihah, ila hadrati Nabi
Muhammad. Setelah itu barulah para guru sufi, yang silsilah tasawufnya apa
saja, kecuali Naqsyabandiyah, pasti melalui Sayyid Tho’ifah, Al Imam Abul Qasim
Muhammad al- Junaidi al-Baghdadi yang wafat tahun 297 H. Imam Junaidi ini murid
dari Sirri Assaqathi murid dari Ma’ruf Al Qarhi yang wafat tahun 200 H, yang
masuk Islam di tangan imam ke delapan Ahlul Bait, Imam Ali al-Ridha bin Imam
Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam
Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib.
Pertama kali laqab sufi diberikan kepada
Jabir bin Hayyan al-Azdi yang lahir tahun 100 H dan wafat tahun 160 H. Beliau
adalah murid Imam Ja’far as-Shadiq. Setiap akan mengadakan eksperiman, Jabir
bin Hayyan yang ahli kimia dan metematika (beliau pencetus ilmu aljabar), pasti
melakukan shalat malam terlebih dahulu, kemudian pagi harinya isti’dzan
(permisi) dahulu kepada Imam Ja’far as-Shadiq. Jadi, hubungan antara tasawuf
dan Ahlul Bait kental sekali.
Belum lagi puji-pujian yang dibaca
orang-orang NU jika terjadi wabah seperti cacar atau penyakit menular lain,
mereka pasti bertawasul dengan ahli kisa. Sejarah ahli kisa ini yaitu ketika
Rasulullah mengadakan mubahalah (saling melaknat dan yang salah akan binasa).
Nabi menggelar sorbannya, dan di dalamnya berkumpul lima orang yaitu
Rasulullah, Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, Al Hasan dan Al Husain. Kaum
Nasrani ternyata tidak berani melakukan mubahalah, seperti terdapat dalam Al
Quran surat Ali Imran. Kelima ahli kisa ini, menurut para kyai, bisa menolak
tho’un yaitu menolak penyakit yang merajalela. Bunyinya : li khamsatun utfi
biha …
Jika kita sudah biasa bertawasul seperti
itu, mana mungkin tidak mengenal Ahlul Bait, maupun peristiwa Karbala. Itulah
kelemahan kita, para Nahdiyin. Lain halnya dengan pengikut ormas lain yang
tidak pernah melakukan hal itu, wajar saja jika tidak mengenal mereka. Jika
sejak kecil tidak mengenal pesantren, tidak mengenal wirid, dzikir, maulid
diba’, dan barzanji, bisa dimaklumi. Sedangkan kita yang sudah biasa melakukan
hal itu, tidak pantas jika tidak mengenal Ahlul Bait.
Salah satu tradisi yang sering kita lakukan
adalah membaca diba’ barzanji dalam acara tasyakuran (selamatan), atau kegiatan
lain yang bernafaskan Islam. Barzanji merupakan karangan Abu Ja’far al Barzanji
dari Turki, yang mengirimkannya kepada raja Islam di Aceh, dan ditukar dengan
sebuah kapal bermuatan cengkeh. Di dalam maulid barzanji tersebut terdapat
kalimat yang menyebutkan bahwa Ahlul Bait adalah amanul ardhi, yang memelihara
dan menciptakan stabilitas di muka bumi (yang dalam bahasa Jawa disebut Paku
Buwono, Hamengku Buwono, Mangku Bumi, atau Paku Alam), yang selalu kita baca
dan kita muliakan, serta kita cari barakah dan syafaatnya. Kita harus
benar-benar peduli dan bertanggung jawab atas perjuangan Ahlul Bait, jika kita
benar-benar mencintai Rasulullah Saw. Bacaannya sudah kita baca, tinggal
penghayatan, aplikasi, dan implementasinya belum mampu kita realisasikan.
Bagi NU, tidak ada masalah dengan
Madrasatil Karbala, justru sangat senang dan menghormati, serta mendukung
minimal dengan kata-kata. Acara ini sangat bagus dan mulia, dan merupakan
langkah pertama untuk membangkitkan kembali semangat Islam yang sangat
esensial, bukan hanya semangat Islam yang dilakukan dengan kekerasan, tapi
tujuan kita lebih dari itu, lebih bernilai dan mulia. Kita ingin mencontoh dan
mengambil hikmah, bahkan mengikuti, apa yang telah dilakukan oleh Sayyidina
Husain bin Ali.
Kesimpulan dari apa yang telah saya
sampaikan adalah, pertama, bahwa Madrasatil Karbala merupakan simbol perjuangan
dan pengorbanan Ahlul Bait. Mari kita menjadikannya sebagai hari yang mulia,
seperi yang dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, ‘Asyirul Karamah (hari
berkeramat yang ke-10), sejajar dengan hari-hari mulia lainnya. Kegiatan ini
hendaknya kita lanjutkan, karena langkah ini sangat baik sekali.
Kedua, hendaknya pertemuan kita dalam Madrasatil
Karbala ini menghasilkan upaya yang sinergi, perjuangan yang menyatu, menjadi
sentra persatuan bagi semua pihak. Apapun latar belakangnya, dari pesantren,
sekolah, pegawai, mandor, dan lain-lain, semuanya hendaknya hadir dalam
Madrasatil Karbala, tidak hanya kelompok elit atau kelompok orang yang sudah
bisa membaca Al Quran saja, tetapi menyeluruh bagi semua lapisan masyarakat.
Itulah salah satu perjuangan para aulia’
terutama Ahlul Bait, sehingga mencapai keberhasilan. Sebagaimana para Wali Songo,
mereka termasuk keturunan Ahlul Bait. Kunci-kunci perjuangan Islam di pulau
Jawa ada di tangan mereka, dengan pendekatan budaya dan tangan terbuka, dengan
pendekatan moral, bukan pendekatan politik.
Kerajaaan Majapahit yang awalnya
dipertahankan oleh masyarakat Jawa akhirnya mereka tinggalkan. Sewaktu
Majapahit diserang oleh orang Islam, mereka bertahan, sehingga menyebabkan
gugurnya lima orang kyai di pintu gerbang Majapahit (Syekh Abdul Qadir Assini,
Syekh Ibrahim as-Samarkandi, Syekh Jumadil Qubra, Syekh Utsman al-Hamadani,
Syekh Marzuki). Mereka ingin menyerang Majapahit dengan kekerasan, tetapi gagal
karena rakyat mempertahankan Majapahit yang merupakan simbol kebesaran Jawa.
Tetapi, dengan pendekatan Ahlul Bait, dengan cara tsaqafah, pendidikan, moral,
pergaulan yang baik, akhlaqul karimah, bahkan melalui seni, akhirnya
lama-kelamaan tanpa paksaan masyarakat Majapahit berbondong-bondong masuk
Islam.
Sampai-sampai orang Jawa sendiri
mengakui, “suro diro joyoningrat lebur diningpangastuti”, keningratan orang
Jawa hancur lebur oleh kebersihannya orang santri. “Sirno ilang kertaning
bumi”, kebesaran Jawa hilang ditelan bumi. Kerajaan Majapahit, imperium yang
sangat besar bahkan sampai ke Kolombo dan Philipina Selatan, kini tidak ada
lagi, hanya sedikit sekali peninggalannya Seluruh Jawa akhirnya masuk Islam.
Sehingga Sunan Ampel mengizinkan muridnya yaitu Raden Fatah mendirikan kerajaan
Islam yang pertama di Demak. Itulah hasil perjuangan dengan pendekatan moral,
akhlak, dan pendidikan, yang dilakukan oleh Ahlul Bait, dalam hal ini Wali
Songo.
Coba bandingkan dengan kerajaan Islam di
Spanyol yang berkuasa selama 800 tahun dan sudah melahirkan ulama-ulama besar
seperti Ibnu Malik seorang pengarang Alfiyah, Ibnu Arabi seorang sufi besar,
Syathibi ahli qiraat, Ibnu Hazm, Ibnu Zaidun seorang sastrawan, dan lain-lain.
Kerajaan ini hilang dan tidak ada bekasnya sama sekali, bahkan masjid yang
terbesar, Cordoba, sudah kembali menjadi gereja. Makam khalifah dan istrinya
sudah digali dan tulang-tulangnya dibakar oleh pasukan Isabela.
Padahal kerajaan itu dahulu begitu besar
dan kuat, melahirkan suatu peradaban yang besar, bahkan menjadi pintu gerbang
ke Eropa, dan banyak kata-kata Arab yang masuk ke Eropa melalui Spanyol.
Mengapa demikian? Setelah dianalisa dan direnungkan, selama 800 tahun
pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, tidak pernah ada raja yang menghormati
Ahlul Bait.
Sebaliknya, di Indonesia, meskipun belum
melahirkan ulama-ulama besar seperti di Spanyol, tetapi Islamnya masih
bertahan. Inilah bi barakati Ahlul Bait, karena umat Islam di Indonesia masih
menghormati Ahlul Bait. Tentu ini hanyalah tinjauan spiritual. Analisa yang
dilakukan bukan analisa rasional, tetapi analisa metafisis. Islam saat ini
sudah semakin mantap dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Kita ketahui bahwa Dinasti Bani Umayyah
yang sudah begitu banyak merekayasa sejarah hanya berkuasa selama 70 tahun,
berakhir tahun 112 H dan diganti dengan dinasti Bani Abbasiyah. Dalam masalah
seperti ini, orang-orang yang rasional terkadang tidak percaya bahwa ada
barakah, ada faktor x yang bersifat metafisis dan supranatural, yang tidak bisa
dilihat dengan mata kasat. Hal itu tidak bisa dilihat dengan bashar tapi harus
dengan bashirah, tidak bisa dipikirkan tapi harus ditafakuri, tidak bisa dengan
akal tapi dengan ta’aqqul, tidak bisa dengan mantiq tapi dengan dzauq, tidak
bisa dengan logika tapi dengan intuisi. Kita harus memahami itu semua.
Mudah-mudahan, dengan berkumpulnya kita
di tempat ini dengan niat yang tulus ikhlas, bukan karena kepentingan apapun,
kita semua mendapatkan barakah dan syafaat dari Ahlul Bait. (*)