Oleh
Edi
Subkhan
Dengan
gaya dosen Maschinenbau Universitas Berlin, si Kenthus anak di desa kami
menunjuk pada pantat yang menggelembung pada makhluk merah bermata satu,
semacam Benggala besar dan tegas berkata pada kawan-kawannya: “Ini bukan
Lambretta! Ini Vespa! Kakak saya di Surabaya punya juga seperti ini”. “Kakak
saya juga akan beli Hespa”—”Vvvespa!”—Wespa. Sesudah tiga panenan nanti!”
sambung terus seorang calon Bappenas cilik lain.
Maka
bergumullah mereka dalam suatu diskusi asyik tentang question disputata:
unggul mana Vespa atau Lambretta; yang akhirnya bermuara pada pertanyaan,
mengapa mesin sekecil itu bisa berputar. Nah, menurut si Kenthus: itu yang
disebut Busi, itulah si Biang Keladinya. Si Busi dengan semacam rokok
tahu-menahu dari belakang menyengat Slender yang sedang enak-enak minum bensin
hidangan Kang Burator. Dan begitu terkejut si Slender mengira apa, sehingga ia
lari tunggang-langgang dan ikut tertariklah Vvvespa.
Di
tengah ketawa calon-calon teknokrat yang kritis, seorang yunior dengan bentuk
wajah Ali Sadikin bertanya skeptis, mengapa si Slender begitu tolol tidak
pernah belajar dari pengalaman, dan setiap kali mau ditipu dan disengat oleh si
Busi. “Ah kamu! Kan jelas sekali. Ini kan bukan orang. Ini besi, dan besi kan
tolol” Hahaha!
Geli
geliang kuikut mendengar seminar ilmiah popular pimpinan si Kenthus itu; yang
betapapun simple, tetapi toh menumbuhkan pikiran-pikiran yang dapat
menentukan strategi bangsa kita demi hari depan. (Y.B. Mangunwijaya, 2003
[1974]., p. 53-54)
Kutipan
panjang di atas berasal dari salah satu artikel seorang pedagog kritis-humanis,
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau yang lebih familiar dikenal sebagai Romo
Mangun dalam kumpulan artikelnya “Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah
Pendidikan” (Kompas, 2003). Kira-kira tahun 2003 adalah waktu ketika
saya kuliah semester dua dan tiga, sayangnya tidak ada dosen di kampus saya
yang memberikan referensi buku Romo Mangun itu. Seandainya saja diberikan,
mungkin mahasiswa seperti saya akan lebih tertarik mendalami fondasi dasar
pendidikan secara sukarela, bukan dipaksa jejali dengan buku-buku dan diktat
kuliah yang kaku bahasanya hingga sama sekali tidak menarik untuk dibaca dan
pelajari. Mungkin saja kalau buku tersebut diberikan sebagai salah satu
referensi “wajib” kuliah, akan makin banyak kemungkinan mahasiswa—di
universitas eks IKIP dan IKIP terutama—yang terbangun kesadaran kritisnya
sebagai pendidik, bukan “tukang ngajar”.
Khas
tulisan Romo Mangun adalah menggelitik, unik, humanis dan sekaligus kritis.
Melihat pada gerak laku dan sikap hidup serta pemikirannya, saya pikir Romo
Mangun dapat dikatakan sekaliber perintis pedagogi kritis, Paulo Freire
(1921-1997) di Brazil. Hanya saja Romo Mangun memang dimensi kehidupan
sosialnya, selain dimensi praksis pendidikan, adalah lebih dekat dengan dimensi
kebudayaan. Beberapa karya sastra Romo Mangun antara lain adalah: Burung-Burung
Manyar (1981), Romo Rahadi (1981) Romo Mangun waktu itu
menggunakan nama samaran, Y. Wastu Wijaya, dan Rara Mendut, Genduk Duku,
dan Lusi Lindri, trilogi novel Romo Mangun yang semula dimuat di harian
Kompas pada 1982-1987 (diterbitkan Kompas pada 2008). Selain itu
Romo Mangun juga menulis dalam tema politik, kebudayaan dan tentu saja secara
khusus adalah desain-arsitektur (yang humanis).
Dalam
praksis pedagogi kritis, Romo Mangun sejauh pengetahuan saya memang tidak
membangun suatu kerangka teoretis sebagaimana dilakukan oleh Paulo Freire.
Praktik politik pendidikan Romo Mangun selain digoreskan melalui
tulisan-tulisannya juga diwujudkan dengan mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi
Dasar di Yogyakarta. Di daerah lain Romo Mangun juga membangun SD bagi
anak-anak penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah dan
di pinggiran Kali Code, Yogyakarta (warisan desain rumah dan lingkungannya di pinggir
Kali Code masih ada sampai sekarang). Selain Romo Mangun, di Indonesia,
kira-kira terdapat beberapa tokoh yang dapat dirujuk secara retrospektif
sebagai perintis praksis pedagogi kritis, yakni Tan Malaka, Ki Hadjar
Dewantara, M. Sjafei, dan di dalam kampus tentu adalah Prof. H.A.R. Tilaar.
Lainnya, mungkin Anda-anda dapat memberikan informasi pada saya sebagai modal
dokumentasi perjalanan pedagogi kritis di Indonesia.
Romo
Mangun, gagasan besar dan pikiran kritisnya ia torehkan dalam artikel-artikel yang
cukup menggugah nalar kritis kita. Dan sampai sekarang apa yang ia ungkapkan
dan kritik beberapa tahun silam masih relevan untuk dibaca dan dijadikan basis
argumentasi sikap intelektual kita, karena apa yang ia kritik dulu, ternyata
sekarang juga masih saja terjadi—memang beberapa di antaranya telah dipenuhi,
misal anggaran pendidikan yang sudah naik 20 persen (walaupun realitanya masih
memprihatinkan). Artikelnya adalah perpaduan kritik-humanis dan daya-daya
sastra budaya yang khas, meliuk-liuk, menggelitik dan menohok jantung kesadaran
pembaca (bagi yang paham). Berikut ini saya kutipkan penggalan kalimat dari
paragraf dalam dua artikel yang berbeda dari buku kumpulan artikel Romo Mangun
tersebut mengenai kritiknya atas guru dan pendidikan anak waktu itu (tahun 1988
dan 1995).
Anak
dikorbankan masa anak-anaknya hanya untuk memuaskan politik atau gengsi kaum
dewasa? Masih adakah di negeri ini guru sejati? Bukan penatar, atau
administrator birokrat, komandan atau pawang belaka? Masih adakah murid dihargai
sebagai murid, dan bukan sebagai kader-politik-kecil? Pasti masih ada. Tetapi
apakah mereka didukung oleh sistem persekolahan? (Y.B. Mangunwijaya, 2003
[1995]., p. 40)
Satu
hal paling menggelitik bagi saya adalah, praktik kita sehari-hari yang bahkan
menganggap adik-adik atau anak-anak kita sebagai kader-politik-kecil kita dalam
pengertian luas. Tidak di kampus tidak di sekolah, sekarang sama saja, hampir
semua anak dilihat sebagai kader untuk menguatkan ideologi dan gerak politik
serta budaya tertentu. Terlebih di kampus yang lebih dekat jaraknya dengan
politik praktis dan praktik konservasi pengetahuan dan nilai dominan: mahasiswa
berada dalam tarik ulur kepentingan politik praktis, ditarik-tarik jadi batu
loncatan karir politik, jadi kader penerus pola pikir intelektual tertentu,
tidak dibiarkan merdeka dan berproses untuk menjadi dewasa yang kuat pribadinya
(bahasa politik kerennya sekarang adalah “karakter”). Romo Mangun kembali
berujar:
Dan
bila toh masih ada guru yang begitu cinta pada anak-anak didiknya, dan ingin
membuat eksperimen itu masih di dalam batas-batas ketentuan Depdikbud, apakah
Kakanwil dan rekan-rekan guru akan mendukung orang yang berjalan kreatif lucu
di luar barisan? Bukankah keseragaman dan kesatubahasaan di Indonesia adalah
hukum, yang sering lebih tinggi daripada Hukum Tuhan? Tuhan, mencipta anak
serba dinamis, bergerak dan bermain, serba mencari dengan kagum. Tetapi menurut
peraturan (dari mana, entah), anak-anak TK harus berbaris dan berseragam
seperti itik-itik, terkotak dan terpagar. Iklim sekolah juga membuat anak segan
bertanya dan lebih “aman” untuk menghapal dan menghapal, seolah-olah Tuhan
menciptakan anak muda dan remaja itu sebagai beo. Padahal remaja direka Tuhan
justru, agar semakin kritis dan serba bertanya, bahkan membantah, terhadap
dimensi-dimensi sikap yang perlu, agar mantap perkembangannya, menuju
kedewasaannya menjadi pribadi yang kuat. (Y.B. Mangunwijaya, 2003 [1988]., p.
98)
Sekarang,
adakah di antara kita yang setidaknya melirik jejak kehidupan dan pemikiran Romo
Mangun, entah para siswa, mahasiswa, guru, teknokrat, birokrat, dan lainnya,
dengan kembali memikirkan praksis pendidikan Indonesia sekarang dan meletupkan
gagasan-gagasan brilian, sekaligus mempraktikkanya secara konsisten? Pasti ada,
namun—sebagaimana Romo Mangun bertanya—apakah pemerintah dan lingkungan
sekitarnya mendukungnya sepenuh hati?