Label

Ketika Wahabi Memalsukan Hadits Syi'ah dan Sunni


Pada masa khalifah Mutawakkil sedang memuncak periwayatan hadis, tetapi sangat sulit dikenali mana yang asli dan mana yang palsu. Tatkala al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi, mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal. Dan karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu’tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni. Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Pertanyaannya adalah: Kenapa Syi’ah menerima sebagian hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang notabene tidak sesuai dengan keyakinan mereka dan menolak sebagian lainnya?” Secara umum, pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pemikiran politik Sunni pertama kali muncul sebagai respon reaktif terhadap pemikiran-pemikiran Syi’ah dan Khawarij pada masa khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib.

Dalam proses pembentukannya, ideologi Sunni ternyata tidak dapat dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari penguasa. Dalam masa formal ideologi Sunni tersebut, misalnya, telah terjadi polemik intelektual antara al Syafi’i dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu’tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah yang sedang berkuasa. Dalam hal ini, diperlukan waktu hampir beberapa abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran politik Ahl al Sunnah terebut, terhitung sejak mulai diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi’in sampai pada pengukuhannya dalam Risalah al Qadiriyyah.

Istilah ini (Ahl al Sunnah wa al Jama’ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy’ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Ato’ pada tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya pada masa khalifah ‘Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu’tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang di anut negara pada masa al-Ma’mun. sementara itu, pada masa khalifah Mutawakkil negara berakidah ahlul hadis. Paham ini didukung negara sehingga hadis-hadis Sunni menjadi mudah di intervensi dengan penambahan penambahan yang di lakukan Ulama-Ulama pelayan keainginan selera penguasa kerajaan. Ironisnya, ahlul hadis hanya memakai hadis tanpa rasio, padahal hadis-hadis yang ada tidak ada jaminan 100% akurat dari Nabi SAW.

Namun, karena fanatisme mazhab, orang orang pada masa tersebut mengarang-ngarang hadis agar mazhab-nya tetap tegak. Di sinilah muncul pertanyaan lanjutan: “Kenapa Syi’ah Imamiyah hanya mau menerima sebagian hadis hadis Sunni? Jawabnya tak lain karena: Pertama, Hadis Sunni terkadang satu sama lain saling bertentangan, padahal masih dalam satu kitab hadis yang sama. Kedua, hadis-hadis Sunni diriwayatkan dengan makna, bukan dengan lafaz. Ketiga, hadis-hadis Sunni diriwayatkan dengan daya ingat perawi, jadi kata perkata-nya belum tentu 100% asli dari Nabi SAW. Keempat, tidak ada jaminan hadis-hadis Sunni tidak mengalami perubahan dan pemalsuan, kitab kitab selain Al Quran pasti ada benar dan ada salahnya tanpa kecuali, namun ironisnya Shahih Bukhari-Muslim diklaim benar semua oleh Sunni.

Dusta Nashibi

Ada satu riwayat menarik yang dijadikan hujjah para Nashibi untuk merendahkan Syi’ah (dengan memalsukan khazanah Syi’ah). Setelah diteliti [tentu dengan merujuk pada kitab-kitab Syi’ah] ternyata para Nashibi tersebut tergolong orang yang berkualitas rendah tapi bergaya sok alim dan sok ilmiah. Tidak usah banyak cerita, silakan lihat riwayat yang mereka jadikan hujjah:

فأما ما رواه علي بن الحكم ، عن عبد الرحمن العرزمي ، عن أبي عبد الله (ع) قال : صلى علي (ع) بالناس على غير طهر ، وكانت الظهر فخرج مناديه أن أمير المؤمنين (ع) صلى على غير طهر ، فأعيدوا وليبلغ الشاهد الغائب

Dan diriwayatkan Ali bin Al Hakam dari ‘Abdurrahman Al Arzamiy dari Abu ‘Abdullah yang berkata “Ali pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’], maka penyerunya keluar dan menyerukan “Amirul mukminin shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Al Istibshaar Syaikh Ath Thuusi 1/433].

Riwayat ini dilihat dari sudut pandang keilmuan Syi’ah para perawinya tsiqat, secara zhahir shahih tetapi mengandung illat [cacat]. Abdurrahman Al Arzamiy dalam periwayatan hadis ini ternyata meriwayatkan melalui perantara Ayahnya, hal ini disebutkan oleh Syaikh Ath Thuusiy sendiri dalam kitabnya yang lain yaitu Tahdzib Al Ahkaam:

فأما ما رواه علي بن الحكم عن عبد الرحمن بن العرزمي عن أبيه عن أبي عبد الله عليه السلام قال صلى علي عليه السلام بالناس على غير طهر وكانت الظهر ثم دخل فخرج مناديه ان أمير المؤمنين عليه السلام صلى على غير طهر فأعيدوا وليبلغ الشاهد الغائب

Dan diriwayatkan Ali bin Al Hakam dari ‘Abdurrahman Al Arzami dari Ayahnya dari Abu ‘Abdullah yang berkata “Ali pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’] kemudian beliau masuk, maka penyerunya keluar dan menyerukan “Amirul Mukminin shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Tahdzib Al Ahkaam Syaikh Ath Thuusi 3/40].

Riwayat yang menyebutkan sanad “dari ayahnya” inilah yang mahfudz sebagaimana dikuatkan oleh ulama lain selain Syaikh Ath Thuusi yaitu Al Hurr Al Amiliy dalam Wasa’il Syiah.

وبإسناده عن علي بن الحكم ، عن عبد الرحمن العرزمي عن أبيه عن أبي عبدالله عليه السلام قال : صلى علي عليه السلام بالناس على غير طهر وكانت الظهر ثم دخل ، فخرج مناديه ، أن أمير المؤمنين عليه السلام صلى على غير طهر فأعيدوا فليبلغ الشاهد الغائب

Dan dengan sanadnya dari Ali bin Al Hakam dari ‘Abdurrahman Al Arzami dari Ayahnya dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] yang berkata “Ali [‘alaihis salam] pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’] kemudian beliau masuk, maka penyerunya keluar dan menyerukan “Amirul Mukminin [‘alaihis salam] shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Wasa’il Syiah Syaikh Hurr Al Aamili 8/373].

Para ulama Syi’ah ketika menukil riwayat dari Syaikh Ath Thuusi mereka menyebutkan sanad “Abdurrahman Al Arzami dari Ayahnya” sebagaimana riwayat Syaikh dalam Tahdzib Al Ahkam.

وأما ما رواه الشيخ ، عن عبد الرحمن العزرمي ، عن أبيه عن أبي عبد الله قال : صلى علي بالناس على غير طهر وكانت الظهر ثم دخل فخرج مناديه أن أمير المؤمنين صلى على غير طهر فأعيدوا ، وليبلغ الشاهد الغايب

Dan diriwayatkan Syaikh dari ‘Abdurrahman Al Arzami dari Ayahnya dari Abu ‘Abdullah yang berkata “Ali pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’] kemudian beliau masuk, maka penyerunya keluar dan menyerukan Amirul Mukminin shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Dzakhiirah Al Ma’ad Fii Syarh Al Irsyaad 1/393, Muhaqqiq Sabzawari]:

وأما رواية عبد الرحمن العرزمي ، عن أبيه ، عن الصادق قال : صلى علي بالناس على غير طهر وكأن في الظهر ، ثم دخل فخرج مناديه أن أمير المؤمنين صلى على غير طهر ، فأعيدوا وليبلغ الشاهد الغائب

Dan diriwayatkan ‘Abdurrahman Al Arzami dari Ayahnya dari Ash Shaadiq yang berkata “Ali pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’] kemudian beliau masuk, maka penyerunya keluar dan menyerukan Amirul Mukminin shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Manaahij Al Ahkaam hal 524, Mirza Al Qummi].

ومنها : رواية العزرمي ، عن أبيه ، عن أبي عبد الله قال : صلى علي بالناس على غير طهر ، وكانت الظهر ثم دخل فخرج مناديه أن أمير المؤمنين صلى على غير طهر فأعيدوا ، وليبلغ الشاهد الغائب

Dan darinya Riwayat Al Arzami dari Ayahnya dari Abu ‘Abdullah yang berkata “Ali pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’] kemudian beliau masuk, maka penyerunya keluar dan menyerukan Amirul Mukminin shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Kitab Ash Shalah 5/361, Sayyid Al Khu’i].

Berdasarkan pembahasan di atas nampak bahwa sanad yang dibawakan Syaikh Ath Thuusi dalam Al Istibshaar itu keliru atau kurang lengkap [hal ini kemungkinan karena tashif]. Riwayat yang rajih adalah yang dibawakan oleh Syaikh Ath Thuusi dalam kitabnya Tahdzib Al Ahkaam sebagaimana dikuatkan oleh Al Hurr Al Amili dan dinukil oleh para ulama Syi’ah seperti Muhaqqiq Sabzawari, Mirza Al Qummi dan Sayyid Al Khu’i.

Riwayat ini sanadnya dhaif karena kelemahan ayahnya ‘Abdurrahman Al ‘Arzami yaitu Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Sulaiman Al Arzami, ia tidak dikenal kredibilitasnya alias majhul sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Al Khu’i [Kitab Ash Shalah 5/361, Sayyid Al Khu’i]. Riwayat ini juga dilemahkan oleh Muhaqqiq Sabzawari dan Mirza Al Qummi.

محمد بن عبيد الله بن أبي سليمان: العرزمي الكوفي – من أصحاب الصادق مجهول

Muhammad bin ‘Ubaidillah bin Abi Sulaiman Al Arzamiy Al Kuufi, termasuk sahabat Ash Shadiq, majhul [Al Mufid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 548, Muhammad Al Jawahiri].

Anehnya, ada Nashibi (kaum pembenci ahlulbait) yang sok bergaya ilmiah mengatakan bahwa riwayat di atas shahih dan sanad yang benar adalah sanad dalam riwayat Al Istibshaar dimana Abdurrahman Al Arzami meriwayatkan langsung dari Abu ‘Abdullah [tanpa menyebutkan ayahnya]. Alasannya karena dalam kitab Rijal dan kitab hadis Syi’ah, Abdurrahman Al Arzami dikenal meriwayatkan langsung dari Abu ‘Abdullah.

Abdurrahman Al ‘Arzami memang dikenal meriwayatkan langsung dari Abu ‘Abdullah tetapi dalam kitab Syi’ah, ia juga pernah meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah melalui perantara Ayahnya. Hal ini disebutkan dalam hadis lain selain hadis di atas yaitu dalam kitab Al Kafi:

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْعَرْزَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Ali bin Al Hakam dari Abdurrahman Al ‘Arzami dari Ayahnya dari Abu ‘Abdullah [Ushul Al Kafi 3/98].

Tidak dipungkiri bahwa riwayat Abdurrahman Al ‘Arzami dari Abu Abdullah secara langsung lebih banyak dibanding riwayatnya melalui perantara Ayahnya. Tetapi perkara ini adalah hal yang lumrah dalam periwayatan, sama hal-nya dengan riwayat Ibnu Umar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam mazhab Ahlus Sunnah lebih banyak dibanding riwayat Ibnu Umar dari Ayahnya Umar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Periwayatan Abdurrahman Al Arzami dari ayahnya juga dikenal dalam kitab Rijal Syi’ah. Sayyid Al Khu’i dalam kitabnya Mu’jam Rijal Al Hadits 10/368 biografi no 6419 menuliskan nama Abdurrahman bin Al ‘Arzami atau Abdurrahman bin Muhammad bin Ubaidillah atau ‘Abdurrahman bin Muhammad Al ‘Arzami atau ‘Abdurrahman Al ‘Arzami, ia meriwayatkan dari ‘Abu ‘Abdullah dan telah meriwayatkan darinya Ali bin Hakam, kemudian Al Khu’i menyatakan:

وروى عن أبيه، عن أبي عبد الله (عليه السلام)، وروى عنه علي بن الحكم

Telah meriwayatkan dari ayahnya dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] dan telah meriwayatkan darinya Ali bin Al Hakam [Mu’jam Rijal Al Hadits 10/368 biografi no 6419].

Syaikh Ali An Namazi Asy Syahruudi menyebutkan dalam kitabnya Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadits 4/419 no 7775:

عبد الرحمن بن محمد بن عبيد الله العردي
لم يذكروه. روى عن أبيه، وعنه أبو المفضل. أمالي الشيخ ج 2 / 171

‘Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Ubaidillah Al ‘Ardi, mereka tidak menyebutkannya. Ia meriwayatkan dari ayahnya dan telah meriwayatkan darinya Abu Mufadhdhal, dalam Amali Syaikh Ath Thuusi 2/171.

Dan jika kita merujuk pada kitab Amali Syaikh Ath Thusiy maka sanad yang dimaksud adalah sebagai berikut:

قال أخبرنا جماعة، عن أبي المفضل، قال حدثنا عبد الرحمن بن محمد بن عبيد الله العرزمي، عن أبيه، عن عثمان أبي اليقظان، عن أبي عمر زاذان

Telah mengabarkan kepada kami Jama’ah dari Abu Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Ubaidillah Al Arzami dari Ayahnya dari ‘Utsman Abi Yaqzhaan dari Abi Umar Zaadzaan [Amali Syaikh Ath Thuusi 2/139].

Maka ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Ubaidillah yang disebutkan oleh Syaikh Ali An Namazi itu adalah Al ‘Arzami dan ia meriwayatkan dari ayahnya sebagaimana yang nampak dalam Amali Syaikh Ath Thuusi.

Selain itu dilihat dari segi matan-nya riwayat di atas mengandung kemungkaran dari sisi bertentangan dengan riwayat yang menyatakan bahwa orang yang berimam dengan imam yang ternyata tidak berwudhu’ maka tidak perlu mengulang shalat. Sedangkan zhahir riwayat di atas nampak bahwa mereka diharuskan mengulang shalat mereka.

علي بن إبراهيم بن هاشم، عن أبيه، ومحمد بن إسماعيل، عن الفضل بن شاذان جميعا، عن حماد بن عيسى، عن حريز، عن محمد بن مسلم قال: سألت أبا عبد الله (عليه السلام) عن الرجل أم قوما وهو على غير طهر فأعلمهم بعد ما صلوا، فقال: يعيد هو ولا يعيدون

Ali bin Ibrahim bin Haasyim dari Ayahnya dan Muhammad bin Ismail dari Fadhl bin Syadzaan, keduanya dari Hammad bin Iisa dari Hariiz dari Muhammad bin Muslim yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seseorang yang menjadi imam dan ia ternyata tidak suci [berwudhu’], ia memberitahu mereka setelah shalat. [Abu ‘Abdullah] berkata “ia mengulang shalat sedangkan mereka tidak perlu mengulang” [Al Kafi Al Kulaini 3/378].

Dengan tegas haruslah dikatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa riwayat Imam Ali pernah shalat tanpa berwudlu’ adalah dusta yang diada-adakan atas nama Imam Ali yang justru termasuk ahlul kisa dan ahlul bait yang ma’shum setelah Rasulullah. Dan tentu saja, dari sudut pandang keilmuan Syi’ah, riwayat tersebut dhaif dan sama sekali tidak bernilai hujjah. Dan dengan tanpa harus malu-malu, tulisan ini sendiri memang bisa dibilang merupakan pembelaan terhadap Syi’ah atas ulah sekelompok orang jahil berhati nifaq (munafik dan dengki) yang tidak henti-hentinya mencari cara untuk merendahkan Syi’ah, selain agar saudara-saudara mereka dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak terkena virus mereka, demi kebaikan ummat itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar