Label

Mengenang Horor Deir Yassin


Oleh Edward W. Said*

Saya dan saudara perempuan saya meninggalkan Palestina untuk terakhir kali pada pertengahan Desember 1947. Selain mengembangkan usaha keluarga di Palestina di mana ayah saya menjadi mitra, ia memang bertanggungjawab untuk menjalankan kantor usaha itu di Mesir. Jadi, ketika kami meninggalkan Yerussalem dan pergi ke Kairo, kami sebenarnya kembali ke tempat yang sudah kami akrabi: rumah, sekolah, teman, dan lainnya. Tapi keluarga besar kami yang lain tidak seberuntung itu. Pada pertengahan musim semi 1948, semua mereka, dari pihak ayah atau ibu, menjadi pengungsi yang kemudian bertebaran di Dunia Arab. Sebagian besarnya pergi ke Yordania, beberapa ke Lebanon, dan bibi saya dari pihak ayah, juga anak-anaknya yang sudah dewasa, pindah ke Mesir, menjalankan usaha keluarga.

Saya cukup jelas mengingatnya: sekalipun sudah berusia 12 tahun kala itu, saya tidak diberitahu atau bisa sepenuhnya mengerti bencana yang menimpa kami sebagai bangsa. Saya bahkan tidak terlalu yakin apakah saat itu saya sudah punya pandangan tentang kami sebagai sebuah bangsa yang khusus. Rumah kami sepenuhnya bebas dari percakapan politik, sekalipun kami makin merasakan berbagai kesulitan yang menimpa kami sebagai pengungsi Palestina di Mesir – karena, bagaimana pun, kami terlibat di dalamnya. Ini lumrah saja mengingat, saya ingat betul, makin biasa saja kami menemukan kondisi keluarga besar kami merosot: khawatir bagai­mana mereka akan membayar uang sewa rumah, memperoleh pekerjaan, dan lainnya. Tapi, sepanjang 1948, nestapa yang sesungguhnya menimpa bangsa Palestina hanya masuk ke otak saya secara tidak lengkap.

Saya mulai mendengar laporan-lapor­an tidak lengkap mengenai pembunuhan besar-besaran di Deir Yassin, yang berlangsung pada 9 April 1948, di meja makan keluarga pada musim semi dan panas 1948 – dan pengaruhnya tidak kecil terhadap meningkatnya kesadaran saya mengenai masalah Palestina. Bibi saya dan anak perempuannya tinggal di Yerussalem (sekitar empat kilometer dari Deir Yassin) waktu itu, tapi mereka hanya mendengar kisah memilukan dan menge­rikan tentang nasib 250 orang tidak bersalah – laki-laki, perempuan, dan anak-anak – yang dengan kejam dan dingin­ dibunuh oleh, kata tiap orang saat itu, “Orang-orang Yahudi.” Dibanding peristiwa apapun yang saya ingat kala itu, horor Deir Yassin tak tertandingi dalam hal kengerian yang hendak diakibatkannya – kisah-kisah tentang perkosaan, anak-anak yang tenggorokannya digorok, ibu-ibu yang isi perutnya “dibersihkan”, dan yang seperti itu. Kisah-kisah itu mengguncang imajinasi, dan memang dimaksudkan demikian, dan hal itu meninggalkan kesan di benak seorang anak laki-laki kecil, yang tinggal jauh darinya, dengan misteri mengenai kekeras­an yang begitu mengerikan terhadap bangsa Palestina, yang satu-satu­nya­ kesalahan mereka tampaknya adalah bahwa mereka ada di situ. Dan toh baru sekitar satu dekade kemudian saya bisa memahami konteks dan arti sesungguhnya dari apa yang terjadi di Deir Yassin.

Seringkali dikesankan bahwa pembunuhan besar-besaran itu adalah sebuah kejadian teroris yang sekalipun disengaja toh bersifat random, seram­pang­an, yang direncanakan dan dijalan­kan oleh Irgun (kelompok militan Zionis yang beroperasi di Palestina antara 1931 dan 1948 – Red.) di bawah pimpinan Menachem Begin. Yang kita ketahui sekarang adalah, menurut sejarawan Israel Benny Morris, “operasi” Deir Yassin tidak saja disetujui dan didukung oleh Haganah (organisasi paramiliter Yahudi kala itu, belakangan menjadi inti Angkatan Bersenjata Israel – Red.), tapi hal itu juga bagian dari rencana menyeluruh kelompok Zionis untuk mengosong­kan Palestina secara sistematis dari penduduk Arabnya. Karena horor mengeri­kan akibat berbagai pembunuhan yang berlangsung di dalamnya, kata Morris dalam bukunya The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 1947-1949, Deir Yassin menjadi peristiwa “palin­g penting dibanding peristiwa-peris­tiwa perang lainnya yang meng­akibat­kan hengkangnya orang-orang Arab pedesaan dari Palestina” (hal. 113).

Faktanya, tentu saja, adalah: yang pergi karena alasan itu atau alasan-alasan sejenis lainnya bukanlah hanya “orang-orang Arab pedesaan”, tapi 2/3 dari semua penduduk Palestina, yang jumlahnya sekitar 800 ribu orang. Karya sangat penting sarjana Israel-Palestina Nur Masalha, mengenai konsep “pindah” dalam pemikiran Zionis, menunjukkan bagaimana persistennya kalangan Zionis membayangkan, merencanakan, dan menerapkan berbagai program untuk membersihkan “tanah yang dijanjikan” mereka dari penduduk asli. Bukunya yang pertama, yang mendiskusikan ideologi Zionis dari 1882 hingga 1948, ber­judul Expulsion of the Palestinians. Se­dang yang kedua, dan baru saja diterbitkan, adalah paparan grafis yang me­nge­­ri­kan tentang periode 1949 dan 1996: A Land Without a People: Israel, Transfer and the Palestinians, 1949-96.

Paparan yang disajikan dalam buku kedua bahkan lebih meyakinkan. Ini bukan saja karena sumber-sumber­nya adalah sumber-sumber Zionis, tapi juga karena paparan itu menunjukkan betapa mendalam, menyeluruh, dan sungguh-sungguhnya para politisi, militer dan intelektual Israel untuk terus-menerus, sejak 1948, menempuh kebijakan yang sama dalam mencoba mengu­sir bangsa Palestina – entah denga­n pemindahan mereka secara paksa, pembunuhan besar-besaran (seperti di Kafr Qassim), atau memaksakan ketundukan mereka secara menyeluruh. Karenanya, selalu, gagasan pokoknya adalah: mengikis habis kebe­radaan bangsa Palestina ke titik nol, mengenyahkan Palestina sebagai sebuah bangsa dengan hak-hak yang sah, menjadikan mereka orang-orang asing di tanah air mereka sendiri. Dan memang, sedikitnya dalam benak mereka, Israel sejauh ini sudah sangat berhasil.

Proses perdamaian Oslo, penduduk­an, penolakan arogan Netanyahu: semua­nya langkah lanjut belaka dari ber­bagai peris­tiwa seperti yang terjadi di Deir Yassin dan dari gagasan yang membuat horor Deir Yassin begitu mengeri­kan.

Tapi pertanyaannya tetap: mengapa Deir Yassin hampir sepenuhnya dilupa­kan, dan mengapa 1948 dicabut dari agenda perdamaian para pemimpin dan intelektual Palestina? Padahal, kita sedang berhadapan dengan Yahudi Israel yang terus-menerus, dan memang pada tempatnya, mengingatkan dunia akan kejahatan anti-Semitisme, peristiwa Holocaust, dan ganti rugi yang memang harus dilakukan karenanya. Dalam buku­nya, Silencing the Past: Power and the Production of History, sejarawan Haiti Michel-Rolph Trouillot membahas bagaimana dalam banyak paparan Barat mengenai revolusi Haiti tahun 1798, Barat selalu ditakdirkan untuk akhirnya menang dan orang-orang Haiti kalah – jika tidak bahwa revolusi itu sama sekali tidak di­kisahkan. Ia mengacu kepada “pembung­kaman revolusi Haiti,” yang menurutnya terjadi karena naratif dominasi global Barat menjadikan kalahnya penduduk asli sesuatu yang tampak tak terhindarkan, kecuali ada upaya dari penduduk asli untuk menyatakan-kembali sejarah dominasi Barat dan karena­nya menuntut “sebuah penulisan-kembali secara mendasar sejarah dunia.”

Sebagai bangsa Arab dan Palestina, kita masih jauh dari tahap itu. Sejarah kita ditulis oleh orang-orang luas, dan sebelum apa-apa kita sudah mundur dari pertempuran. Para pemimpin kita bernegosiasi seakan-akan semuanya bermula dari tabula rasa. Agenda ditentukan oleh Amerika dan Israel. Dan kita terus mundur, mundur lebih banyak dan mundur lagi, tidak saja sekarang, tapi juga di masa lalu dan masa depan. Ingatan kolektif bukan saja warisan sebuah bangsa, tapi juga energinya: ia tidak bisa duduk, diam belaka di tempatnya; ia harus diaktifkan sebagai bagian dari identitas sebuah bangsa dan rasa memiliki mereka akan hak. Mengenang Deir Yassin tidaklah hanya untuk membuka derita lama, tapi juga untuk memahami siapa kita dan akan bergerak ke mana kita. Tanpanya kita hanya akan kehilang­an arah – dan tampaknya kita memang dalam situasi seperti itu.

*Edward W. Said adalah salah se­orang pembela hak-hak bangsa Palestina paling lantang dan meyakinkan di dunia hingga ia wafat pada 25 September 2003 lalu di AS. Lahir pada 1 November 1935 sebagai Kristen Arab di Palestina, Said termasuk generasi terdidik Palestina yang terusir dari tanahair­nya. Dikenal luas khususnya berkat Orientalism (1979), Said menulis beberapa buku tentang Palestina, seperti The Question of Palestine (1979) dan After The Last Sky: Palestinian Lives (1986). Sampai wafat, ia gurubesar pada Universitas Columbia, AS. Di bawah ini refleksinya tentang peristiwa Deir Yassin, yang terjadi ketika ia berusia sekitar 12 tahun. Tulisan ini pertamakali terbit di Al-Ahram Weekly, edisi 17-23 April 1997. Sumber edisi Bahasa Indonesia:  Majalah Madina No. 4, Tahun 1, April 2008. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar