Label

Gestapu Menghapus Satu Generasi Intelektual Indonesia

Hasil gambar untuk Arzia Tivany Wargadiredja


Hampir semua penerima beasiswa negara yang kuliah di luar negeri saat G30S terjadi tak bisa pulang ke Indonesia. Mereka dipaksa mengutuk Sukarno lewat secarik surat pernyataan.

Sabtu siang; 23 September 2017. Aku meninggalkan Jakarta hingga tiba di sebuah rumah bernuansa hijau di sebuah komplek perumahan. Aku dipersilakan masuk dan duduk di sebuah sofa warna keemasan. Semua tata letak dan dekorasi nyaris sama dengan dua tahun lalu, saat aku pertama bertandang. Si empunya rumah memintaku agar alamat rumah ini dirahasiakan.

Pria 77 tahun itu menghampiriku dengan wajah yang tak pernah berubah, senantiasa lima belas tahun lebih muda dari umur sebenarnya, tidak ada tanda-tanda penuaan, hanya kerutan seperlunya. Kemeja hijau zaitun Ia kenakan, dan duduk persis di seberangku, hanya dipisahkan meja dan semangkuk besar es kelapa muda.

"Saya percaya sama kamu pokoknya," ujarnya. Aku yang di hadapannya menyanggupi syarat merahasiakan jati dirinya. Dia agak khawatir mendengar kampanye kebencian mengenai gerakan september 30, sebutan lain G30S, sebulan belakangan. "Kamu tahu kan, situasi politik seperti sekarang." 

Kami sepakat menyebutnya untuk artikel dengan nama lain. Aku pilih sebutan: "Iskandar".


Iskandar adalah mahasiswa Ikatan Dinas yang berangkat menuju Swedia pada 1963 berbekal beasiswa dari pemerintahan Sukarno untuk mengambil studi teknik elektro di salah satu perguruan tinggi tertua di negara itu. Iskandar mengaku awalnya sama sekali tidak tertarik pada politik. Buku babon maupun diktat fisika serta ilmu kelistrikan cukup jadi makanannya sehari-hari. Namun, sejak situasi politik Indonesia bergejolak tahun 1965, yang berujung peristiwa G30S yang menewaskan enam jenderal lalu menyebabkan pembantaian kaum dan semua orang yang dituduh berhaluan 'kiri', Iskandar mau tak mau ikut melahap politik. Ia tidak pernah kembali ke tanah air hingga Orde Baru runtuh.

Berulang kali Iskandar bilang padaku bahwa apa yang terjadi padanya dan ribuan mahasiswa beasiswa Ikatan Dinas saat itu sangatlah politis. Begitu Soeharto berkuasa, serempak Duta Besar era Sukarno dipaksa turun dari jabatan, mahasiswa dan delegasi Indonesia di luar negeri yang enggan mengutuk pemerintahan Sukarno dilarang pulang. Rezim Soeharto takut akan hadirnya intelektual yang loyal terhadap Sukarno, apalagi mereka yang dianggap berhaluan kiri.

"Kami mahasiswa dikirim pemerintah Sukarno untuk mengabdi kepada bangsa Indonesia, membangun negeri. Itu perjanjian kami dari dulu. Kok diminta mengutuk. di mana ya logikanya?" kata Iskandar padaku. "Kami bukan orang politik, kami orang intelektual yang belajar ilmu di luar negeri, enggak terkait politik. Pokoknya ketika dikirim, kami hanya ingin mengabdi makanya kami tanda tangan di Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP) sebelum berangkat, menyatakan pokoknya kami enggak ada hubungannya dengan politik."

Semua itu bermula manakala sepucuk surat diterima Iskandar setahun setelah peristiwa G30S. Surat tersebut memintanya datang ke Kedutaan Besar Indonesia di Stockholm agar dirinya menandatangani sebuah surat. Iskandar sadar ada yang tidak beres, pasalnya semua duta besar era Sukarno langsung turun panggung, seketika setelah Soeharto berkuasa.

"Mahasiswa Indonesia dipanggil. Kami diberi surat. Saya baca semuanya sekitar satu halaman," kata Iskandar berusaha keras mengingat. "Inti surat tersebut yang saya ingat, 'berdasarkan perubahan situasi di Indonesia di mana Soeharto sudah berkuasa. Dengan ini, pemerintah Sukarno yang ikut bekerja sama dengan Partai Komunis Indonesia sudah digulingkan, dan bahwa pemerintahan Indonesia sudah resmi menetapkan dan mengakui Soeharto sebagai presiden. Di bawahnya ada kalimat 'bersedia mengutuk pemerintahan Sukarno yang pro-komunis'."

Iskandar dan seorang kawannya mengusulkan agar kalimat yang mengutuk pemerintahan Soekarno dihapuskan saja, karena mereka merasa punya utang budi dengan Rezim Sukarno yang mengirim mereka ke luar negeri. Namun, petugas yang saat itu mendampingi mengatakan tidak ada yang bisa diubah dari surat tersebut. "Kalau mengutuk pemerintahan Sukarno sih kami tidak bisa," kata Iskandar.

Setelah kejadian tersebut, pada 1967, Iskandar yang masih 23 tahun, menerima surat yang menyatakan bahwa Ia bukan lagi warga negara Indonesia. Paspornya dicabut, dan statusnya kewarganegaraannya berubah menjadi 'stateless'. Sebuah konsekuensi yang tidak Ia bayangkan sebelumnya. Hingga kini, Iskandar masih menyimpan surat pemecatan kewarganegaraannya itu.

"Gagalnya Indonesia era 60-an itu adalah dalam memulangkan kembali ahli-ahlinya yang belajar di luar negeri," suara Iskandar kalah saing dengan lantangnya adzan sore itu. "Mereka takut dengan mahasiswa yang dianggap 'orang Bung Karno', mereka takut para intelektual membangun sistem pemerintahan ala Bung Karno."

"Saya juga bukan orang komunis ya, tapi saya lihat, banyak orang yang antikomunis, tapi tidak tahu apa itu komunisme."

Iskandar beberapa tahun belakangan berada di Tanah Air. Ia rindu negaranya, rindu keluarga besarnya. Separuh hidupnya dia habiskan beranak-cucu di negeri orang.

Lebih dari 10.000 kilometer dari tempat Iskandar berada, Soegeng Soejono masih setia menetap di Ceko. Soejono merupakan teman seangkatan Iskandar. Mereka pernah berkenalan dan berkawan ketika sama-sama di Cekoslovakia. Soejono sempat kaget ketika mengetahui aku mengenal Iskandar. Nada suaranya naik, terdengar bahagia bisa mendengar kabar kawan lama. "Tolong salamkan ya padanya, dia itu kawanku, seingatku dulu dia pernah sakit," kata Soejono lewat sambungan telepon denganku sambil tertawa kecil.

Soejono mengambil studi Pendidikan dan Ilmu Jiwa Anak di Fakultas Filsafat, Charles University Cekoslovakia. Tidak seperti Iskandar, Soejono tidak pernah dapat dokumen penjelasan apapun ketika kewarganegaraannya hilang begitu saja. 


Kisah tragisnya dimulai seminggu setelah peristiwa G30S, Ia dipanggil Kedutaan Besar RI untuk melakukan 'screening', demi menyaring mahasiswa dan para intelektual yang diduga menjadi loyalis paham kerakyatan. Saat itu, menurut Soejono, mahasiswa di Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Praha sudah menduga sesuatu yang tidak beres akan menimpa tatkala mendengar kabar bahwa di Tanah Air sedang terjadi huru-hara.

Dalam screening tersebut, Soejono ditanya mengenai sikapnya terhadap Orde Baru yang ia tentang dengan lantang. Menurut Soejono, Orde Baru berlawanan dengan prinsip hidupnya yang menghargai hak asasi manusia. Jawabannya menimbulkan reaksi keras. Orang yang yang melakukan screening terhadap Soejono serta merta menuduhnya komunis.

"Itu alasan politis. Rezim itu punya doktrin, 'siapa yang tidak ikut saya adalah musuh saya', tidak ada demokratisasi, tidak ada argumen. Argumentasi mereka, 'siapa yang tidak menyokong Orde Orde Baru adalah orang komunis'," kata Soejono kepadaku. "Saya juga bukan orang komunis ya, tapi saya lihat, banyak orang yang antikomunis, tapi tidak tahu apa itu komunisme."

Berbeda dengan Iskandar yang langsung dilarang pulang, Soejono malah segera diminta kembali ke Indonesia oleh aparat di Kedubes. Ia menyadari perintah pulang bisa bikin nyawanya melayang, atau minimal bersarang di penjara sebagai tahanan politik. Sejak saat itu, tekadnya bulat untuk tidak pulang. Kewarganegaraannya dicabut, dan menyandang status 'stateless' selama puluhan tahun.

Setelah 35 tahun berada di Cekoslovakia, Soejono baru menginjakkan kaki kembali ke Tanah Air pada 1998, tepat beberapa minggu sebelum Soeharto terjungkal dari kursi kepresidenan. "Reformasi... saya mengikuti itu. Waktu penembakan mahasiswa di Trisakti, saya ada di sekitar situ," kata Soejono.

Setelah 1998, Soejono berkunjung ke Indonesia sekitar lima hingga enam kali. Namun, keputusannya bulat. Soejono tidak akan kembali menetap di Tanah Air. Separuh hidupnya Ia habiskan di Ceko, bekerja dan berbakti untuk negara orang yang dulu memberinya suaka dan perlindungan dari pemerintahan Indonesia yang menganggapnya musuh. Tapi, Soejono memastikan rasa cintanya pada Indonesia tak luntur.

"Sampai saat ini, saya merasa berutang budi terhadap rakyat dan negara saya Indonesia yang sudah menyekolahkan saya, yang menyebabkan saya punya skill, punya pengalaman hidup, pengalaman kerja, punya pengetahuan. Seharusnya bisa saya terapkan dan sumbangkan pada rakyat Indonesia, tapi terpaksa tidak bisa," ujar Soejono.

Kisah Iskandar dan Soejono merupakan segelintir cerita dari dua pelarian politik yang merupakan mahasiswa beasiswa pada zaman Sukarno. David T. Hill dalam Knowing Indonesia from Afar: Indonesian Exiles and Australian Academic menulis para pelarian politik (eksil) Indonesia 1965 terdiri dari mahasiswa, duta besar, dan delegasi Indonesia yang saat peristiwa G30S terjadi, sedang berada di luar negeri dengan kepentingan yang beragam. 

Sebagian besar terdiri dari mahasiswa Indonesia di luar negeri yang berangkat dengan beasiswa pemerintah Sukarno, sebagian sedang menjalankan tugas kenegaraan, dan sebagian lainnya merupakan delegasi Indonesia. Diperkirakan jumlah mereka mencapai ribuan. Namun tidak ada perhitungan pasti yang menyebutkan jumlah mereka.


Pencabutan kewarganegaraan para mahasiswa dan Duta Besar Indonesia di luar negeri menandai era hilangnya generasi intelektual Indonesia yang dipersiapkan Sukarno kelak membangun Tanah Air. Sebelum berangkat ke luar negeri, para mahasiswa tersebut menandatangani kontrak ikatan dinas untuk siap kembali dan berbakti pada Indonesia selepas kuliah.

Aku menghubungi Baskara Tulus Wardaya, SJ, yang akrab disapa Romo Bas, sejarawan di Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia bertahun-tahun meneliti soal hubungan Amerika Serikat dan Indonesia periode 1960-an, terutama saat peralihan pemerintahan dari Sukarno ke Soeharto. Romo Bas mengatakan ada beberapa hal penting yang patut digarisbawahi terkait dengan dampak hilangnya kaum intelektual Indonesia dekade 60-an ini.

Menurut Romo Bas, Sukarno kala itu sedang mempersiapkan kaum intelektual indonesia dari berbagai suku, kelas sosial, dan latar belakang agama maupun politik belajar ke berbagai negara. Tujuannya agar bisa membangun Indonesia pasca-kolonial. Sukarno bercita-cita melakukan revolusi dan restrukturisasi masyarakat agar semua lapisan bisa turut membangun Indonesia. Hal lain yang Sukarno impikan dan belum terwujud adalah 'de-jawa-nisasi', agar orientasi Indonesia tidak hanya berbasis di Pulau Jawa.

"Itu cita-cita Sukarno, tapi enggak terjadi karena mereka mahasiswa Indonesia di luar negeri enggak kembali," kata Romo Bas padaku. "Semua itu terputus gara-gara 65, sehingga kita enggak punya ahli. Akibatnya, seiring dengan masuknya modal asing tahun 67, kita tidak sejajar dengan ahli-ahli yang datang dari luar negeri. Akibatnya kita tidak mampu mengolah sumber daya alam kita sendiri."

"Masa sih kita ini bejibun dengan minyak tapi enggak punya kilang pengolahan minyak buatan sendiri? Karena mungkin kita juga enggak punya ahlinya," tambah Romo Bas.

Senada dengan Romo Bas, sejarawan, Abdul Wahid, yang pernah meneliti soal hilangnya riwayat intelektual pasca 1965 di lingkungan kampus di Indonesia, menjelaskan padaku semua bermula pada dekade 1950-an. Sukarno mencoba mengkaji model pembangunan yang hendak diterapkan di Indonesia pasca-kolonial dengan mempersiapkan generasi baru yakni para intelektual pemikir bangsa.

"Di ujung karir politiknya, Sukarno cenderung 'ke kiri' dan itu dalam beberapa hal mempengaruhi preferensi generasi muda pada waktu itu (termasuk pendidikan)," kata Wahid. "Misalnya saja, saya pernah mencari mahasiswa di dalam negeri (untuk riset), mereka bercerita bagaimana mereka terobsesi ingin kuliah di Uni Soviet atau di negara blok timur. Karena melihat blok timur cepat pembangunannya (infrastruktur)."

Di dalam negeri, situasi tidak kalah genting. Intelektual kampus-kampus dalam negeri banyak yang dipecat, ditangkap, dan tidak diketahui nasibnya akibat dicurigai 'tercemar' paham kiri. Apalagi, di dalam negeri pada periode 1959-1963 terjadi peningkatan pesat jumlah Universitas di indonesia. 


Universitas negeri tercatat berjumlah delapan (1959) menjadi 39 (1963). Begitu pun dengan Universitas Swasta dari awalnya cuma berjumlah 112 (1961) melonjak drastis jadi 228 (1965). Sehingga, total pada 1965 ada 335 universitas/institut yang menampung lebih dari 278.000 mahasiswa. Jumlah tersebut meningkat berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah lulusan pendidikan tinggi di Hindia Belanda pada 1940 yang berjumlah 79 orang saja, dari total 70 juta populasi koloni. 


Jumlah kaum intelektual yang banyak membuat partai politik tertarik merekrut mereka, sehingga sebagian di antaranya dicurigai punya paham 'terlarang'.

"Universitas ini dilihat sebagai urat nadi, di mana, pengaruh-pengaruh atau pemikiran tertentu bisa disebarkan, oleh karena itu perguruan tinggi harus dikontrol betul," ujar Wahid. "Makanya, waktu itu kan kita rasakan Orde Baru sangat peduli terhadap pendidikan kemudian dia menggandeng teknokrat, dan berusaha melindungi jangan sampai ada elemen-elemen yang menurutnya 'berbahaya' di perguruan tinggi."

Wahid menduga ada kaitan antara pemecatan para intelektual di dalam negeri dan seleksi ideologi/pencabutan kewarganegaraan yang dilakukan terhadap mahasiswa di luar negeri, terutama yang menempuh pendidikan di negara-negara blok timur. Namun hal tersebut tidak bisa dilihat secara simplistik, perlu ada penelitian lebih lanjut. Sayangnya, Wahid ragu penelitian komprehensif terhadap para pelarian politik di luar negeri bisa dilakukan, mengingat kebanyakan dari mereka telah berusia lanjut, ada pula yang sudah meninggal, dan tersebar di banyak sekali wilayah.

Wahid mengatakan hilangnya para intelektual muda Indonesia yang menempuh studi di luar negeri merupakan sebuah kerugian yang tidak bisa dihitung secara matematis. Ia menyebutnya dengan istilah 'brain drain' atau 'kebocoran intelektual'. "Artinya, ada potensi anak bangsa yang sudah memperoleh edukasi dengan tingkat pendidikan yang cukup maju pada masanya, pada akhirnya sia-sia," kata Wahid. "Yang jelas ini adalah sebuah potensi kita untuk menjadi negara modern di antaranya lewat ilmu pengetahuan dan para tenaga ahli yang tidak bisa memberikan kontribusi pada negara."

Iskandar meyakini bahwa fenomena brain drain akibat peristiwa 1965 berdampak besar pada kemajuan Tanah Air. "Kemajuan Indonesia di bidang teknologi ketinggalan lah, Indonesia gagal memulangkan kembali ahli-ahlinya. Mereka ini sangatlah berharga, dan bagi luar negeri [ahli-ahli] ini dianggap menguntungkan," ujar Iskandar.

Iskandar bercerita padaku bahwa reputasi orang Indonesia yang bekerja di berbagai perusahaan besar di Eropa sangat baik. Salah satunya, adalah eksil lain bahkan mampu menjadi Wakil Direktur sebuah pabrik persenjataan terbesar di Swedia. "Kalau mereka bisa pulang kan mereka juga bisa membangun persenjataan Indonesia, mungkin sekarang lebih canggih," kata Iskandar.

Iskandar yakin betul, jika para intelektual Indonesia di luar negeri boleh pulang, dan tidak ada pemberangusan golongan intelektual di dalam negeri, Indonesia bisa bersaing atau bahkan melebihi Malaysia. "Saat itu kami cuma dapat ucapan simpatik dari mahasiswa Malaysia yang pulang ke negaranya setelah studi," kata Iskandar.

Sebetulnya, kepulangan para pelarian politik yang biasa disebut eksil ini semestinya bukan lagi jadi soal, karena Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengimbau para eksil untuk pulang ke Indonesia dan melakukan rehabilitasi nama dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2000 tentang permasalahan orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri dan terhalang pulang ke Tanah Air sejak terjadinya Peristiwa G30S.

Sayang, ketika beleid Gus Dur diumumkan, para mahasiswa terlanjur beranak pinak di luar negeri. Sebagian sukses bekerja dan memiliki kewarganegaraan lain di negara Eropa yang relatif lebih maju, yang lainnya telah tutup usia atau bahkan harus bertahan hidup tanpa punya status kewarganegaraan. Namun, satu hal yang perlu diyakini, bahwa ada harga yang harus dibayar generasi masa kini ketika Indonesia kehilangan generasi intelektual progresifnya di masa lalu.

"Untuk jangka waktu yang lama, kita menjadi bangsa yang berstatus sebagai konsumen dan bukan produsen," ujar Romo Bas. "Termasuk bisa dilihat, dalam mengelola dan mengolah sumber daya alam milik kita sendiri."


Semiotika Korporasi Finansial


Oleh Ahmad Hasan Al-Bantani, penulis lepas

Kekuasaan kita adalah ketika mata kita mengawasi dunia, dan seluruh dunia terarah kepada mata uang kita”. Itulah inti misi simbolik One Dollar.

Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari yang menghutang” (Amsal 22:7). Itulah rumus IMF dan Bank Dunia (World Bank).

Tentu saja, mata uang sebagai “poros inti” pertukaran dan modus ekonomi adalah hal yang paling utama sebagai instrumen kekuasaan: “Manusia harus memandang pada satu arah yaitu kekuatan mata uang, sebagaimana yang dilambangkan oleh mata uang satu Dollar Amerika”. Dan sebagaimana kita tahu, seluruh struktur perekonomian global telah dikuasai oleh kaum Zionis, semisal World Bank dan IMF. Hingga Prof. J. S. Malan, seorang ahli ekonomi dari Universitas Sao Paolo mengatakan:

Setiap bangsa akan menanggung hutang yang berat dan mereka tidak akan mampu membayarnya sehingga mereka menjadi budak yang setia dan patuh terhadap perintah. Kekuatan IMF sangat absolut sehingga tidak akan ada satu negara pun yang mampu mendapatkan satu sen pun, kecuali atas persetujuan atau arahan IMF.”

Kekuasaan IMF adalah puncak dari tangan dan kekuatan gerakan Zionis yang ternyata mendapatkan inspirasinya dari Kitab Amsal (salah-satu kitab dari sejumlah kitab dalam Perjanjian Lama), “Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari yang menghutang” (Amsal 22:7) dan Kitab Kejadian: “Mereka harus menguasai seluruh ladang karena terlalu kelaparan yang ditanggung bangsa di muka bumi. Kaum Zion akan menjadikan seluruh bangsa merangkak dan mengemis kepada kekuasaannya” (Kejadian 47:13-20).

Barangkali kita lupa makna simbolik Hari Kemerdekaan Amerika Serikat, yaitu 4 Juli. Pada saat itu dibentuk panitia untuk membuat mata uang Amerika (Dollar) yang terdiri dari: Benjamin Franklin, Thomas Jefferson, John Adams, dan Pierre du Simitiere yang semuanya adalah para anggota Komunitas Zion tingkat ke 33. Bahkan Thomas Jefferson adalah pengikut Desime yang menjadi pelopor lahirnya pemikiran unitarian.

Pada saat itu, pemikiran Adam Weishaupt melalui bukunya yang berjudul Novus Ordo Seclorum telah merasuki seluruh jiwa para anggota Zion. Sebagai penghargaan kepada Adam Weishaupt, seorang tokoh sentral Zionis, mereka menyepakati bahwa lambang satu dollar Amerika memakai simbol-simbol Zion dan mencantumkan nama judul buku Weishaupt tersebut sebagai motto pada uang dolar Amerika.

Mereka tidak memilih mata uang dalam bentuk pecahan lima, sepuluh atau dua puluh karena pecahan satu dollar mewakili pemikiran “satu dunia baru”. Itulah sebabnya pada pecahan satu dollar tersebut sarat dengan falsafah Zionis. Barangkali di sini masih tepat untuk kembali mengutip Prof. J. S. Malan dalam tulisannya, New Age Reforms:

Seluruh sumber daya alam dunia seperti monitor dan industri harus dikontrol sepenuhnya oleh pemerintahan dunia karena dengan cara seperti ini, seluruh dunia hanya mempunyai satu sistem monitor yang pengawasannya di bawah satu badan yang tersentralisasi. Dengan cara seperti ini memungkinkan pemerintahan dunia menjalankan kebijakannya untuk mengendalikan seluruh negara dan rakyat di seluruh dunia.” Dengan kata lain, dunia harus “tunduk” dan “menyembah” kepada dollar.

Dalam hal inilah, seluruh Lembaga Keuangan Internasional yang telah dirintis oleh Mayer Rotshchild harus menunjukkan keperkasaannya dalam bidang keuangan. Pemilikan saham perbankan, perusahaan multinasional dan teknologi termasuk mikrochip harus dimiliki secara mayoritas oleh persaudaraan anggota Zionis.

Begitulah, pakar Teologi Protestan Amerika, Batt Robertson, mengatakan bahwa lambang yang ada pada lembaran uang dollar Amerika itu sama sekali tidak berhubungan dengan kemerdekaan Amerika. Melainkan hanya penegas misi kaum Zion. Batt Robertson menyatakan bahwa yang merancang uang dollar Amerika itu adalah seorang bernama Charles Thompson, anggota Kongres dan seorang penganut Zionisme tulen.

2
Setelah jatuhnya komunis Uni Soviet, Amerika Serikat menghadapi perang baru. Perang yang mereka buat sendiri. Perang yang dimulai pada tanggal 9 September 2001. Rekayasa pertama mereka adalah penghancuran Gedung WTC yang dilakukan oleh kelompok teroris boneka alias buatan mereka sendiri.

Sekedar untuk diketahui, cetakan uang satu dollar Amerika Serikat tidak pernah berubah dari cetakan pertamanya hingga sekarang. Tak lain karena kode-kode tentang tujuan akhir mereka tertuang semuanya dalam cetakan uang satu dollar ini. Berikut kode-kode dari simbol ONE (Ordo Novus Empirium) Dollar Amerika:

PIRAMIDA: Lambang Piramid Giza, Menara Babel, Hierarki Kekuasaan. Jumlah bata pada Piramid adalah 13 baris (the lucky number) yang terdiri dari 72 bata.

SATU MATA: Menunjukan pengendalian dunia di bawah pengawasan mata Osiris. Menurut pendapat Batt Robertson: adalah mata Dewa orang Mesir Kuno (Osiris), Tuhan yang selalu mereka kunjungi di sela-sela pertemuan rahasia. Jenderal William J. Car dari Amerika menjelaskan bahwa mata yang ada di atas piramid itu memancar ke segala penjuru arah, yang mengisyaratkan perwakilan penindasan seperti Gestapo yang didirikan oleh Adam Weishaupt di bawah lambang persaudaraan dengan tujuan menjaga rahasia organisasi dan memaksa manusia tunduk kepada undang-undang organisasi melalui penindasan.

ANNUIT COEPTIS: Limpahan Karunia (favour our daring undertaking). Dua kata yang tertera di bagian atas lambang itu yang bermakna: “Sesungguhnya kepentingan kita sarat dengan pelbagai keberhasilan”. Ia juga berarti “Kejayaan Milik Kita” atau “Kepentingan Penuh Keberhasilan” atau “Yang Agung Yang Beraja” atau juga berarti “Raja Istimewa” atau “Penutup (Segel) Orang Mesir”.

Makna-makna seperti itulah yang dimaksud oleh kata-kata yang ada pada lembaran One Dollar Amerika, yakni “Segel Terbesar Milik Raja Istimewa” yang menentukan asal-usul ketinggian dan pengaruh yang membentuk keperibadiannya dan dikembalikan ke negeri Mesir yang diakui oleh Dajjal sebagai permata di muka bumi ini.

Dua kata tersebut juga bisa ditemui dalam bahasa Perancis Le grand Coptis yang berarti Orang Qibti terbesar. Sementara itu, Qibti adalah “Orang Mesir” dan bukan orang Kristen. Anneoun juga berarti Lingkaran atau Al-Khatam yang bermakna “Segel”.

NOVUS ORDO SECLORUM: Secara harfiah bermakna “Tata Dunia Baru” atau “Tata Masyarakat Baru”. Pemikiran dan nama sebuah buku terkenal karangan Adam Weishaupt. Buku yang berisi konsep-konsep, doktrin serta teori tentang pemikiran global. Selesai disiapkan pada tanggal 1 Mei 1776, yang bertepatan dengan Hari Perayaan Komunis di seluruh dunia. Salah satu hal yang harus dicatat ialah bahwa lambang ini dibuat Muktamar Filmsbad pada 1782.

THE GREAT SEAL: Bagian bawah bertulisan Inggris yang bermaksud Mohor Terbesar.

ONE: Merupakan singkatan dari Ordo Novus Empirium: “Pemerintahan Imperialis Baru”.

MDCCLXXVI: Tanggal yang ditulis dengan huruf-huruf Roman adalah tanggal diumumkannya secara resmi pembentukan organisasi rahasia mereka. Ini adalah perletakan asas pertama untuk secara mudah menduduki otak dunia, bumi dan kekayaannya. Tanggal itu bukanlah tanggal pengumuman dokumen Kemerdekaan Amerika.

Uang One Dollar merupakan hasil rancangan dari keempat pendiri negara Amerika Serikat Benjamin Franklin, Thomas Jefferson, John Adams, dan Pierre du Simitiere.

Setelah jatuhnya komunis Uni Soviet, Amerika Serikat “menghadapi” perang baru. Perang yang mereka buat sendiri. Perang yang dimulai pada tanggal 9 September 2001. Rekayasa pertama mereka adalah penghancuran Gedung WTC yang dilakukan oleh kelompok teroris boneka alias buatan mereka sendiri.

Nama Perang tersebut adalah Perang Melawan Terorisme (War On Terrorism), sebagai legitimasi sebuah proyek besar Amerika Serikat dengan target utama ummat Islam, dan menguasai sektor ekonomi dan material, semisal perbankan. Proyek besar yang mengarahkan opini publik untuk menyatakan bahwa Islam merupakan ancaman besar, semisal yang dikumandangkan Samuel Huntington.

Dengan begitu Amerika Serikat bebas-bebas saja menyerang Irak dan juga Afghanistan (dan kini Bank Sentral Irak dan Afghanistan akhirnya berhasil mereka kuasai melalui IMF dan World Bank), dan juga belakangan mereka menyerang Suriah dengan menggunakan ISIS, Al-Qaeda dll.

Dalam skala politik-ekonomi, sebagai contoh, intervensi Amerika di Timur Tengah bertolak dari masa kemunculan Amerika, sebuah masa di mana pemikiran imperialisme terbentuk dalam benak para politikus dan boss-boss perusahaan di Amerika yang saling mendukung dan membutuhkan. Okupasi Timur Tengah sebagai sebuah kawasan yang kaya dengan sumber daya alam merupakan kunci bagi terwujudnya impian ini.

Salah-satunya demi penguasaan bahan-bahan mentah yang nantinya untuk “menghidupi” industri dan, tentu saja, demi membiayai Amerika itu sendiri, selain demi memperkuat politik dan ekonomi.

Jadi, intervensi yang seringkali menggunakan kedok demokratisasi dan kebebasan tersebut hanya merupakan “cara” atau “modus operandi” untuk meraih target material: sumber daya alam dan minyak. Jika kita sejenak saja mereview dari sisi historis, serangan-serangan perang, pengeboman, pembunuhan massal dan seluruh intervensi dalam masalah Timur Tengah oleh Amerika atau negara-negara perantara, berkaitan dengan dekade yang sangat jauh.


Setidak-tidaknya, politik Amerika menjelmakan dirinya sebagai imperialis (Ordo Novus Empirium) sebagaimana kata ONE dalam mata uang dollar mereka).

Demokrasi Hanya Topeng Oligarkhi


UUD 1945 Pasal 33 menyatakan: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Sekarang bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikelola dan dikuasai korporasi global. Dari perkebunan, pertambangan, hingga air di perut bumi. Air sumur yang dulu enak rasanya, kini tidak enak lagi karena tercemar, bersamaan dengan kerusakan ekologi yang massif. Hingga kita pun kini dipaksa untuk membeli air, yang juga dikelola dan dikuasai korporasi dan oligarkhi global.
Top of Form

Keserakahan korporasi menyebabkan dunia timpang, sebabnya tak lain karena mereka menguasai pasar seluruh kebutuhan pokok masyarakat dunia.

Dalam hal itu, pernyataan Noreena Hertz relevan dan masih kontekstual, ketika ia mengatakan, "Pasar yang tidak diatur, keserakahan korporasi, dan lebih lagi lembaga keuangan akan memiliki konsekuensi global yang serius terutama berdampak buruk bagi warga biasa"

Sementara itu, berdasarkan laporan South Center (2005) mengungkapkan bahwa sekitar 85-90 persen perdagangan pangan dunia dikontrol hanya lima korporasi multinasional.

 Sekitar 75 persen perdagangan serelia dikuasai oleh dua korporasi multinasional.

Dua korporasi raksasa menguasai 50 persen perdagangan dan produksi pisang. Tiga korporasi multinasional menguasai 83 persen perdagangan kakao.

Tiga korporasi menguasai 85 persen perdagangan teh. Lima korporasi mengendalikan 70 persen produksi tembakau.

Tujuh korporasi menguasai 83 persen produksi dan perdagangan gula.

Empat persen mengendalikan hampir dua pertiga pasar pestisida. Sedangkan empat korporasi raksasa menguasai seperempat bibit (termasuk paten) dan hampir seratus persen pasar global bibit transgenic.

Pernyataan Noreena Hertz tersebut sejalan dengan tesis Leftwich (1993), Gibson (1993), Hadenius dan Uggla (1990) yang menunjukkan model baru demokrasi yang diadopsi saat ini sebagai cara baru korporasi multinasional mengintervensi negara-negara dunia.

Inilah kemasan paling ampuh Kapitalisme global untuk memasukkan agenda tersembunyi ke negara tujuan dengan menggusur peran negara dan menggantikannya dengan pasar.

Cengkeraman korporasi multinasional di dunia memanfaatkan kelemahan demokrasi Liberal yang dipaksakan penerapannya di berbagai negara dunia, tanpa memerdulikan kearifan lokal. Korporasi raksasa multinasional juga memanfaatkan lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia (World Bank) untuk menekan kebijakan pemerintah sasaran pasar, termasuk Indonesia agar memuluskan jalan bagi mereka untuk mendulang pundi-pundi kekayaan di seluruh dunia.

Model "Democracy without Adjectives" yang berkembang dewasa ini tidak lain dari cara korporasi multinasional membenamkan cakarnya di seluruh dunia tanpa mengenal batas dan rambu-rambu, bahkan aturan negara.

Saking mengguritanya korporasi multinasional di dunia, Noreena Hertz (1999) menyebut korporasi multinasional menjelma menjadi institusi dominan yang mengalahkan negara dari sisi kekuasaan dan pengaruhnya di dunia.

Bertebarannya korporasi multinasional di Indonesia mengeruk kekayaan bangsa ini dan hanya sedikit saja kontribusinya bagi negara kita, ternyata bukan hanya fenomena yang menimpa Tanah Air saja. Di tingkat global, segelintir korporasi multinasional menguasai hajat hidup publik dunia, bahkan kebutuhan pokok seperti pangan dunia pun berada dalam kendalinya.