Label

Jembatan Kemanusiaan bagi Kesalahpahaman dan Ketidakpedulian



http://www.unisosdem.org/images/spacer.gif



Oleh: Budiarto Danujaya*



DUA bulan menjelang berpulang, Edward W Said menulis "Orientalism 25 Years Later, Worldly Humanism vs the Empire-builders" (Counterpunch, 4 Agustus 2003). Selalu sungguh menarik menyimak pandangan seorang pemikir mengenai buah karyanya setelah bentangan waktu cukup memberi distansi dengan pikiran-pikiran tersebut. Terlebih untuk sebuah karya besar seperti Orientalism, yang ketika terbit pada tahun 1978, tidak saja serentak membuat penulisnya menjadi seorang selebriti seumur hidup di lingkungan akademisi, pemikir, dan budayawan, melainkan juga mengundang ribuan pro-kontra bertahun-tahun setelah penerbitannya karena proyeksi dan paralelisme permasalahan yang diketengahkannya terbukti tetap kontekstual bahkan terus menjadi persoalan memusingkan sampai sekarang.

Sang profesor, yang meninggal 25 September 2003 lalu karena leukemia, tampak kecewa bukan saja karena banyaknya salah paham terhadap pikiran-pikirannya, melainkan terutama karena gugahan dalam buku tersebut ternyata tak mengubah cara dunia memandang yang tetap dikotomi: Timur dan Barat (the Orient dan the Occident). Dalam halnya dewasa ini, misalnya, dia menunjuk cara Amerika Serikat memandang masalah Timur Tengah, dunia Arab, dan Islam. Kegagalan proses perdamaian Oslo, berjangkitnya intifada kedua, penderitaan kaum Palestina akibat invasi ulangan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta puncaknya peledakan World Trade Center (WTC) 11 September 2001 dan pengobrak-abrikan Afghanistan dan Irak sebagai ikutannya, baginya merupakan bukti tak beranjaknya kehendak para pihak ke arah lebih saling memahami.

Bagi Edward Said, berbagai hal tersebut memperlihatkan berulangnya tema lama kebobrokan sejarah intelektual ketika para cendekiawan mengingkari tanggung jawab akademisnya dan sibuk melacurkan diri memberi landasan berpikir dan pembenaran teoretis terhadap imperialisme yang sesungguhnya ideologis belaka: mendominasi dunia, mengontrol keamanan dan kewilayahan, serta mengangkangi sumber daya langka, dalam hal ini minyak untuk kepentingan negeri sendiri. Untuk itu, mereka memakai klise dan stereotip lama guna menjustifikasi pengerahan kekuatan dan kekerasan karena memang hanya itulah bahasa yang mereka mengerti. Kali ini atas nama pembebasan dan demokratisasi rakyat Afghanistan dan Irak dari rezim diktator, serta demi ketertiban kembali tatanan dunia dari terorisme internasional yang didukung dan dilindungi para diktator itu.

Ia bahkan secara terbuka menuding, pengaruh utama pada Pentagon dan National Security Council dari rezim Presiden George W Bush datang dari orientalis kawakan Bernard Lewis dan Fouad Ajami, dua pakar dunia Arab dan Islam. Mereka "membantu elang-elang Amerika memikirkan fenomena gila seakan dunia Arab dan Islam yang telah berabad usia itu sedang longsor dan hanya Amerika-lah yang bisa memulihkannya." Lalu, dia juga menggambarkan, saat ini rak di toko-toko buku AS penuh dengan buku-buku picisan dengan judul-judul seperti Islam dan teror, bahaya dunia Arab, ataupun ancaman kaum Muslim, yang jelas memperlihatkan justru berkobarnya kembali semangat saling tidak memahami dan menenggang itu.

SEMANGAT tidak mau memahami itu berakar panjang dalam sejarah kembar Orientalisme dan Kolonialisme Eropa di negeri-negeri yang mereka sebut Timur. Semangat ini, dalam pengertian tertentu bahkan menjadi semacam narasi besar yang mengepung pemahaman manusia mengenai dunianya pada zaman kolonialisme, dan ternyata masih terus kita rasakan cengkeramannya bukan saja pada masa pascakolonial melainkan bahkan sampai dewasa ini juga. Dalam pengertian inilah, Said mengartikan Orientalisme dalam pemaknaan yang jauh lebih kompleks dibanding arti yang lebih umum diterima.

Dalam pengertian umum, Orientalisme adalah suatu ilmu kajian wilayah yang komprehensif, dengan relatif meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat yang ditelitinya, yakni masyarakat Timur. Sementara, yang disebut Timur atau the Orient meliputi suatu kawasan yang sangat luas, termasuk Timur Jauh (negara-negara Asia terjauh dari Eropa, seperti Jepang dan Cina), Timur Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa, seperti Turki), dan Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara keduanya, seperti negara-negara Arab). Akan tetapi, bagi Said, Orientalisme lebih dari sekadar kajian wilayah semacam itu. Orientalisme juga merupakan "sebuah gaya berpikir berdasarkan pemilahan epistemologis dan ontologis antara Timur (the Orient) dan (hampir selalu) Barat (the Occident)." Lebih lanjut, meminjam konsep Michel Foucault, ia bahkan menganggap Orientalisme sebuah diskursus.

Ilmu mengandaikan kehadiran suatu relasi kuasa. Disiplin akademis tak hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga membangkitkan kekuasaan. Bersamaan dengan kehadiran Orientalisme, lahir pula jaringan menyeluruh dari berbagai hubungan kepentingan. Orientalisme, bagi Said, akhirnya mengabdi pada kepentingan politik. Para orientalis membantu menyediakan sarana bagi imperialisme Eropa atas kawasan Timur. Baginya, bahkan "Pemerintahan kolonial lebih dahulu dijustifikasi Orientalisme, dibanding setelah terjadinya (kolonisasi)." Banyak yang meragukan pandangan ini betul-betul sejalan dengan data historis, akan tetapi sekurang-kurangnya memang para orientalis itu telah mempersiapkan pemahaman mengenai bahasa dan berbagai aspek tradisi dan kebudayaan bangsa- bangsa di Timur sehingga memudahkan imperialisme Eropa memasuki kawasan ini dengan pendekatan kultural yang canggih. Dalam konteks Indonesia, kita juga sering mendengar perdebatan serupa mengenai peran Dr Snouck Hurgronye dalam membantu Belanda menghancurkan Aceh.

Perumusan relasi kuasa dari Orientalisme ini bahkan lalu dipertajamnya dengan mengatakan bahwa ilmu kajian wilayah ini dalam pengertian tertentu bahkan diciptakan memang untuk kepentingan Barat. Dan bahkan, Timur lalu dikonstruksikan sesuai dengan kepentingan Barat. Lewat rekonstruksi ini, misalnya, "Timur Islam akan tampak sebagai suatu kategori yang memiliki denotasi kekuatan orientalis dan bukannya masyarakat Islam sebagai manusia, tidak pula sejarah mereka sebagai sejarah." Orientalisme bukan lagi sekadar menghasilkan pengetahuan, melainkan juga "menciptakan realitas yang ditampakkannya."

Hal ini bisa terjadi karena di satu pihak, lewat Orientalisme, Barat berhasil mendominasi dan lalu menata kembali Timur sesuai dengan kebutuhannya, sementara, dalam relasi kuasa yang tak berimbang ini, sebaliknya Timur ’seakan’ menerima saja pencitraan Barat atas dirinya. Dengan dianalogikan lewat sebuah naskah Aeschilus, The Persians, Said memperlihatkan bahwa sudah sejak zaman Yunani garis geografi imajinatif antara Timur-Barat dibuat, dan dibuat semata untuk kepentingan Eropa. Baginya, dalam naskah itu bahkan sungguh jelas bahwa untuk merepresentasikan dirinya sendiri, bahkan kepedihan dirinya pun, Asia harus melalui mulut Eropa, sebagai wali bicara dan bukannya dalang netral.

POKOK tudingan kedua, Orientalisme juga dianggapnya sebagai "cara memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat. Timur bukan hanya dekat, melainkan juga tempat koloni-koloni Eropa yang terbesar, terkaya, dan tertua, sumber peradaban dan bahasanya, saingan budayanya, dan salah satu imajinasinya yang paling dalam dan sering muncul mengenai ’dunia yang lain’." Dalam pengertian ini, baginya, "Timur telah membantu mendefinisikan Eropa (Barat) sebagai imaji, ide, kepribadian, dan pengalaman yang berlawanan dengannya."

Memakai konsep ’the other’ yang diambil dari strukturalisme Freudian, Said berpendapat bahwa konstruksi identitas setiap masyarakat di setiap zaman melibatkan pengukuhan ’lawan’ -bukan sekadar dalam arti seteru, tetapi dalam arti ’yang berada di seberang’, alias ’yang lain’ (the other) dalam sebuah model struktur oposisi biner (berpasangan). Dengan mengetahui yang lain, lalu menyadari dan mendefinisikan diri sendiri. Dengan menyadari kebudayaan Timur sebagai sesuatu yang statis dan tak mampu mendefinisikan dirinya sendiri, membuat Barat merasa dinamis, inovatif, dan berkembang sebagai kebudayaan; bahkan, merasa sebagai "sang pengamat, jaksa, dan hakim dari kelakuan Timur."

Dalam term sejarah kolonialisme abad XIX klise semacam ini kita kenal lewat slogan "white man’s burden", dengan segala omong kosong misi superioritasnya untuk memperadabkan Timur dari kegelapan dan ketidaktahuan. Kecongkakan imperialis itu, misalnya kita kenal lewat ucapan Chateaubriand yang mengatakan, Eropa harus mengajar Timur mengenai kemerdekaan karena orang-orang Timur sama sekali tidak tahu mengenai gagasan ini. Eropa menyadari diri superior baik secara kultural maupun intelektual, karena itu punya misi mulia untuk mengajari, bahkan memperadabkan.

Dalam relasi kuasa yang tidak imbang, dan dalam semangat zaman yang mengantarkan congkak dan sok tahu, muncullah banyak kekeliruan pemahaman, termasuk mengenai kebudayaan Arab dan Islam. Mereka percaya mampu mendefinisikan hal-hal hakiki dari masyarakat Arab dan kebudayaan Islam dalam generalisasi yang serba umum, seragam, dan tunggal. Hal ini disemangati keyakinan bahwa Timur kawasan yang terisolasi dari kemajuan peradaban manusia dalam ilmu, seni, dan perdagangan, dan karena itu bersifat statis, perlahan berkembang, dan seragam sehingga mudah didefinisikan. Timur selalu dilihat sebagai terpisah, eksentrik, terbelakang, diam, sensual, dan pasif. Dalam pandangan ini, Timur lalu menjadi sangat mudah terjebak pada despotisme dan jauh dari kemajuan. Manusia Timur digambarkan dalam imaji tunggal, dengan sebuah generalisasi pukul rata dan stereotip.

Betapa Orientalisme menjadi semacam semangat zaman, semacam narasi besar yang mengepung para pemikir Barat secara tidak sadar, terlihat dari berbagai kecongkakan dan sikap sok tahu yang kerap menjebak para pemikir Barat pada sebuah generalisasi dan anakronisme. Yang kerap dilupakan, kawasan yang disebut Timur bukan saja sebuah satuan wilayah yang majemuk, berbeda-beda, dan ragam, melainkan juga merupakan entitas dengan dinamika perubahan, baik internal maupun juga eksternal, karena persentuhannya dengan berbagai pengaruh, termasuk dengan kolonialisme dan imperialisme Barat sendiri.

Said memperlihatkan, narasi besar Orientalisme ini bahkan menjadi batu sandungan bagi uji kemanusiaan sejumlah nama besar, termasuk Karl Marx. Marx terbukti juga terperangkap dalam kerangka Orientalisme ketika mengatakan "mereka tidak bisa tampil sendiri, mereka harus ditampilkan." Lebih lanjut, Marx bahkan juga terjebak pada generalisasi bahwa model komunalitas di Timur sangat kondusif bagi despotisme, takhayul, dan mudah diperbudak. Bahkan, yang mengejutkan, bertentangan dengan semangat antipenindasan dan kemanusiaan yang mewarnai karya-karyanya, Marx ternyata juga bersikap tak berbeda dengan kalangan Orientalis romantik ketika berkata: "Inggris harus menjalankan suatu misi ganda di India: yang pertama bersifat destruktif, yang kedua bersifat regenerasi-pemusnahan masyarakat Asiatik, dan peletakan landasan-landasan material dari masyarakat Barat di Asia."

EDWARD Said rupanya menyadari betul betapa semangat berpikir yang terlanjur keliru ini akan berbuntut panjang memasuki dunia pascakolonial, dan sebagai sebuah narasi besar akan sungguh susah untuk dienyahkan begitu saja. Barangkali juga karena itulah Said, yang menulis belasan buku dan ratusan artikel semasa hidupnya, sering mengulang-ulang tema kesayangannya ini ke dalam berbagai perwujudan persoalan yang berbeda, termasuk dalam telaah mengenai krisis Palestina maupun kritik sastra dan musik, sebagai bagian imbauan dan gugahan ke arah suasana saling memahami yang lebih baik.

Lewat artikel-artikel korannya, ia bahkan juga kerap mengomentari masalah-masalah mutakhir dengan perspektif yang sama, termasuk dalam masalah peledakan WTC dan pengobrak-abrikan Irak dan Afghanistan sebagai ikutannya. Banyak pihak beranggapan bahwa peledakan bom bunuh diri yang sangat terencana ini memperlihatkan bukti awal dari pertikaian antarperadaban (The Clash of Civilizations) seperti tesis Samuel Huntington. Namun, bagi Said, sangatlah jelas, pertikaian antarperadaban semacam itu tidak benar-benar ada, yang ada lebih sekadar sebuah kesalahpahaman berkepanjangan, dan lalu ditambah dengan sejumlah demagogi dan ketidakpedulian yang berakibat fatal. Baginya, tesis ini sekadar gimmick yang mungkin berguna memompa kebanggaan diri yang defensif dibanding bermanfaat bagi pemahaman kritis terhadap interdependensi dalam zaman kita yang membingungkan ini.

Dalam sebuah artikel berjudul The Clash of Ignorance (The Nation, 4 Oktober 2001), ia bahkan menuduh Huntington, bersikap seperti ideolog yang mirip para orientalis, mencoba mengonstruksikan peradaban dan identitas tertentu menjadi "sesuatu yang sebetulnya bukan seperti itu", khususnya mengenai kekhawatiran terhadap Islam. Baginya, lagi-lagi terjadi generalisasi dan simplifikasi, melihat dalam penggolongan-penggolongan besar, yang melupakan betapa persentuhan berabad-abad membuat "sejarah tak sekadar berisi perang agama dan penaklukan, melainkan juga pertukaran, saling berbagi, dan memperkaya dalam kebudayaan." Ia mengakui saat ini memang masa yang menegangkan, tetapi akan lebih baik berbicara dalam term kaum digdaya dan tak berdaya, politik sekuler yang nalar dan bebal, prinsip universal adil dan tak adil, daripada mengembara mencari-cari abstraksi besar untuk pemuasan sekejap yang sama sekali tak bermanfaat menjembatani saling pemahaman lebih baik. Oleh karena itu, kembali mengulang tema kesayangannya itu, dia menyebut, rasanya yang terjadi bukanlah pertikaian antar peradaban tetapi lebih pertikaian akibat ketidakpedulian: pertikaian kedunguan.

Edward W Said memang meninggalkan banyak kontroversi, baik dalam pemikirannya sebagai budayawan maupun dalam tindakannya sebagai aktivis politik di Dewan Nasional Palestina. Betapa pun, mencatat kepergian Edward Said, rasanya pantaslah kita menyebutnya sebagai manusia multifaset yang cemerlang. Dia bukan cuma berhasil sebagai pemikir, tetapi juga sebagai akademisi, birokrat, maupun aktivis politik; dia bukan cuma penulis yang berbobot dengan bidang sangat beragam, tetapi juga seorang pianis kelas panggung. Sungguh sulit memberi sebuah sebutan yang mewadahi semua kebesarannya. Akan tetapi, seperti dikatakan Pemimpin Palestina Yasser Arafat, kemanusiaanlah yang mewarnai semua pikiran dan perjuangannya, dan sebagai "pejuang kemanusiaanlah ia ingin dirinya disebut." Rasanya, sebuah kepantasan yang lebih dari layak untuk disandangnya. Kalau ada ungkapan lama yang mengatakan mengenai “sebuah hidup yang lebih besar dari kehidupan", barangkali tidak berlebihan kalau kita memasukkan kehidupan Edward W Said sebagai salah satu di antaranya.

*Penikmat sastra dan filsafat. Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0310/05/seni/605342.htm




Tidak ada komentar:

Posting Komentar