Oleh Muhammad Syarafuddin
Bagi banyak peresensi, secara ide
dan visual, sulit untuk mencari saingan V for Vendetta. Ini komik strip tebal
dengan kandungan gambar yang cenderung gelap, karakternya seringkali suram,
penuh dialog yang berat dan alur cerita yang bikin dahi mengernyit. Bagi Alan
sendiri, V for Vendetta memang didedikasikan bagi pembaca yang tak pernah
mematikan televisinya saat jam berita. Publik Indonesia
memang lebih dulu kenal dengan filmnya (dengan judul yang sama) garapan
sutradara James McTeigue yang dirilis tahun 2006. Film ini nendapat banyak
kritik pedas karena di beberapa scene berbeda secara mencolok dengan komiknya.
Plus dianggap mengaburkan beberapa pesan penting dari penulisnya.
Latar cerita V for
Vendetta adalah Inggris di era 90-an. Setelah perang dunia kedua dan negeri
luluh-lantak, Fasisme berhasil naik ke tampuk kekuasaan. Memerintah dengan gaya
tiran, paranoid dan full sensor. Pemerintah memiliki Departemen Mata untuk
memasang kamera di setiap pelosok negeri. Departemen Telinga untuk menyadap
perbincangan publik. Departemen Hidung untuk mengendus bau-bau subversif. Dan
Jari-Jemari, sekumpulan aparat sangar yang tak segan mengadakan pengadilan
jalanan. Dan di bagan teratas, ada Takdir sebagai kaisar. Sementara telly (istilah gaul untuk
televisi di Inggris) terus-menerus menyiarkan berita bohong, opera sabun
murahan dan Suara Takdir yang berisi editorial pemerintah—full content black
propaganda.
Jika bagi Anda itu
sudah menakutkan, maaf saja, belum. Pemerintah juga menghancurkan kebudayaan
dan identitas rakyat. Buku dan karya seni dilarang (ada scene dimana seseorang
ditangkap hanya karena menyimpan al-Qur’an). Kaum imigran dan minoritas
ditendang. Praktis rakyat hanya bisa putus asa meringkuk melewati jam malam. Lalu datanglah
seorang individu yang menamai dirinya V, berjubah hitam, bersenjata pisau,
bertopeng Guy Fawkes mulai melancarkan serangkaian serangan fisik dan propaganda
yang ia namai ”propaganda by deed”. Perlu diberi catatan, sampai akhir cerita
(baik di komik ataupun filmnya) identitas siapa V tidak terungkap. Ia bersembunyi di
Galeri Bayangan. Yang penuh dengan lukisan, karya-karya seni rupa, gegunungan
buku, CD musik dan film, berbagai karya kebudayaan yang berhasil V selamatkan
dari proyek pembersihan pemerintah.
V memilih 5
November sebagai hari aksi dimulai. Tanggal ini sengaja ia pilih untuk
menghormati Guy Fawkes. Yang ditangkap lalu digantung karena aksi gagalnya
membom gedung parlemen Inggris, itu terjadi di tahun 1605. (Perlu diberi
catatan, Fawkes adalah tokoh nyata dalam sejarah Inggris). V mulai membunuh
satu demi satu tokoh-tokoh kunci partai pemerintah. Mereka yang telah
menjadikan V sebagai kelinci percobaan bertahun-tahun silam. Jadi, aksi V tidak
hanya memuat aksi politis, ia juga dendam pribadi.
Yang menarik adalah
saat V menyabotase stasiun televisi nasional dan menyiarkan pidato dirinya. Ia meminta
rakyat—jika sepakat dengan aksinya—untuk berkumpul di depan gedung parlemen
London pada tanggal 5 November tahun depan. Benar saja, rakyat berkumpul dan
menyaksikan gedung parlemen hancur di bom oleh V. Rezim fasis runtuh. V sendiri akhirnya
mati tertembak dan digantikan oleh anak didiknya, Evey Hammond. Gadis kecil
yatim piatu yang orang tuanya mati dibunuh oleh pemerintah karena aktivitas
politiknya. Kok bisa tokoh utama mati?! Moore dan Llyod ingin pembaca memahami
V bukan sebagai person, tapi V sebagai idea. Orang bisa ditangkap dan dibunuh,
tapi ide tidak. Aksi V bisa
dikatakan jenius. Ia memilih dengan cermat targetnya, simbol-simbol politik dan
otoritas pemerintah. Ia memiliki kemampuan teatrikal dan sastra yang
kharismatis. Attitudenya unik dan tidak ahistoris. Sehingga rakyat yang
sebelumnya sempat pupus harapan akhirnya memiliki V sebagai urban legend.
V adalah seorang anarkis (anarkisme secara filosofis, bukan awut-awutan), ia menerapkan ide desktruktif: menghancurkan yang ada, lalu biarkan rakyat mandiri membangun dan mengatur dirinya dari puing-puing yang ada. Ada dialog V dengan Evey, dimana V mengatakan, “Anarki adalah masyarakat “do what you will” (lakukan apa yang ingin kamu lakukan), sementara kekacauan sosial hanyalah masyarakat “take what you want” (ambil yang kamu inginkan). V sendiri percaya, pemerintah tak sepenuhnya bisa disalahkan. Karena rakyat sendirilah yang memilih berdiam dan melanggengkan kekuasan mereka. He said, “Untuk mengetahui siapa yang bersalah atas semua yang terjadi, mari kita menatap cermin.”
V adalah seorang anarkis (anarkisme secara filosofis, bukan awut-awutan), ia menerapkan ide desktruktif: menghancurkan yang ada, lalu biarkan rakyat mandiri membangun dan mengatur dirinya dari puing-puing yang ada. Ada dialog V dengan Evey, dimana V mengatakan, “Anarki adalah masyarakat “do what you will” (lakukan apa yang ingin kamu lakukan), sementara kekacauan sosial hanyalah masyarakat “take what you want” (ambil yang kamu inginkan). V sendiri percaya, pemerintah tak sepenuhnya bisa disalahkan. Karena rakyat sendirilah yang memilih berdiam dan melanggengkan kekuasan mereka. He said, “Untuk mengetahui siapa yang bersalah atas semua yang terjadi, mari kita menatap cermin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar