Label

Visi Ekologi, Dari Mulla Sadra Hingga Fritjof Capra


Oleh Ardiwansyah Nanggong (Penggiat Kajian Ekonomi Pada Philosophia Institute)

Setiap sejarah peradaban manusia memiliki corak pemikirannya masing-masing. Bahwa setiap zaman memiliki karakter sosial yang berbeda-beda. Sehingga mungkin betul apa yang di kata yang dikatakan oleh Thomas Khun dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, bahwa pengetahuan itu akan mengalami revolusi mengikuti alurnya. Di mulai dari pandangan paham cartesian-newtonian yang sangat mekanistik-linear melihat alam. Paradigma ini mencoba menggambarkan alam dengan memisahkan entitas-entitas yang terdapat dalam alam ini. Pandangan dunia mereka berkarakter materialistik, atomistik, dualistik dan mekanistik. Paradigma semacam ini mengakibatkan mempengaruhi tindakan manusia dalam melihat alam ini. Sampai muncullah pemikiran dari Mulla Shadra yang melihat bahwa alam ini merupakan kesatuan wujud. Hal ini berangkat dari Metafilsafatnya yang didasarkan atas eksistensi (wujud) sebagai satu-satunya konstituen realitas. Shadra mengakui eksistensi sebagai realitas tunggal tapi menghargai keunikan segenap eksistensi yang nampak dalam dunia plural (beragam), yang di kenal dalam teorinya Prinsip Gradasi Eksistensi (wujud). atau Shadra mengakui keragaman dalam kesatuan bukan kesatuan dalam keragaman.

Pemikiran Shadra ini kemudian mempengaruhi beberapa pemikir seperti Whitehead dan Fritjof Capra. Fritjof Capra kemudian mengeluarkan Paradigma Holistik Ekologis. Paradigma ini mencoba melihat bahwa alam ini merupakan kesatuan ekologis yang memiliki hubungan. Jadi menurutnya alam ini merupakan sebuah sistem yang memiliki jaringan-jaringan dan setiap jaringan memiliki saling keterhubungan.

Cara pandang ini kemudian berkembang di Abad 20 ini, tidak terkecuali dalam dunia bisnis. Pemasaran misalnya yang mengalami pergeseran paradigma dari maksimisasi nilai shareholder ke maksimisasi nilai stakeholder. Dimana stakeholder ini telah termasuk lingkungan sekitar. Hal ini berdasar bahwa sebuah perusahaan itu akan maju jika memperhatikan stakeholdernya. Bahwa ada kesatuan antara perusahaan dengan para stakeholdernya. Lingkungan bisnis bagaikan sebuah sistem dimana di dalamnya terdapat jaring-jaring stakeholder yaitu pemilik atau pemegang saham, konsumen, karyawan dan lingkungan.

Munculnya CSR (corporate social responsibility) diindikasi sebagai pengaruh paradigma ini. Dimana perusahaan harus memiliki tanggung jawab atas lingkungan sekitarnya. Ibaratnya perusahaan telah memanfaatkan/mengeksploitasi alam/lingkungan maka sebaiknya perusahaan berterima kasih kepadanya. CSR ibarat surat penghapusan dosa perusahaan pada alam/ekologi. Luasnya jangkauan lingkungan bisnis mensyaratkan tidak boleh putusnya jaring-jaring yang ada di dalamnya. Lingkungan yang menjadi salah satu jaringan tersebut menjadi sesuatu yang patut diperhatikan.  World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefiniskan Corporate Social Responsibility sebagai komitmen berkelanjutan kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberikan sumbangan pada pembangunan ekonomi sekaligus memperbaiki mutu hidup angkatan kerja dan keluarganya serta komunitas lokal dan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan menurut Kotler & Nancy “Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas melalui praktik bisnis yang baik dan mengkontribusikan sebagian sumber daya perusahaan”.

Saat ini dunia bisnis tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi keuangan, social, dan aspek lingkungan atau biasa dikenal dengan triple bottom line (3P) yaitu profit, people, planet. Sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep CSR memang masih merupakan hal baru bagi beberapa korporasi, masih banyak yang beranggapan bahwa korporasi hanya memiliki tanggung jawab ekonomi dalam artian mengejar profit, dan tidak memperhatikan bahwa korporasi sebenarnya memiliki tanggung jawab social yang mesti harus diperhatikan. Padahal jika kita menelaah lebih dalam, selain faktor finansial, keberlangsungan suatu perusahaan atau korporasi sangat ditentukan oleh tanggung jawab sosialnya. Banyaknya demonstrasi, pemboikotan warga terhadap produk dan ketidakpuasan masyarakat akan cara perusahaan dalam mengelola lingkungannya serta masalah penanganan limbah mengindikasikan ada tanggung jawab sosial korporasi yang tidak jalan dan hal ini jelas akan mempengaruhi keberlangsungan perusahaan.

Relasi CSR, GCG dan MDG’s

Konsep CSR sebagai pertanggungjawababan sosial korporasi dianggap sejalan dengan prinsip tata kelola perusahaan atau dikenal dengan istilah GCG (Good Corporate Governance). Dimana suatu perusahaan dikatakan baik dan terpercaya jika menerapkan prinsip-prinsip dalam GCG yaitu fairness (berkeadilan), transparancy (transparansi), accountability (akuntabilitas), responsibility (tanggung jawab). Prinsip responsibility dari GCG membawa konsekuensi tentang pentingnya CSR (corporate social responsibility) bagi pelaku bisnis serta perusahaan dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya. Di samping orientasi akan kondisi keuangan (financial) perusahaan, tanggung jawab social dan lingkungan juga menjadi hal yang fundamental. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan akan tumbuh secara berkelanjutan, melainkan juga dengan peduli pada wilayah social dan lingkungan hidup. Munculnya MDG’s (Millennium Development Goals) secara tujuan memiliki kesamaan bahwa banyak masalah dan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang harus dituntaskan untuk diselesaikan demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan. MDG’s yang memiliki 8 tujuan yang harus dituntaskan pada tahun 2015. Delapan tujuan itu adalah 1).Pengentasan kemiskinan dan kelaparan, 2). Pemerataan pendidikan dasar, 3). Mendukung adanya persamaan Gender dan pemberdayaan perempuan, 4). Mengurangi tingkat kematian anak, 5). Meningkatkan kesehatan ibu, 6). Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, danpenyakit lainnya, 7). Menjamin daya dukung lingkungan hidup, 8). Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Walaupun CSR dan GCG lebih cenderung menekankan pada bagaimana cara pengelolaan suatu korporasi sedangkan MDG’s lebih kepada peran pemerintah dalam merealisasikannya tapi bukan berarti bahwa masing-masing berdiri sendiri. Di awal tulisan ini saya mengatakan bahwa cara berpikir partikular hanya akan menimbulkan bencana dan kerusakan di muka bumi. Sinergitas ketiga program tersebut dapat mewujudkan kondisi dunia yang adil dan peradaban yang humanis serta masyarakat yang sejahtera.

Sekali lagi entitas bisnis atau korporasi bukan lagi hanya milik pemegang saham (shareholder), tapi milik para stakeholder termasuk di dalamnya konsumen dan lingkungan. Paradigma individualis yang di anut korporasi tanpa melihat entitas sebuah bisnis sebagai sebuah rangkaian sistem hanya akan menghancurkan bisnis tersebut. Beberapa fenomena yang sangat menyedihkan dan mengusik bahwa pertumbuhan dunia bisnis terus meningkat, tetapi kemiskinan malah bertambah. Hal ini membuktikan bahwa Trickle Down Efect (efek mengucur kebawah) kesejahteraan dalam ekonomi tak terjadi. Di sinilah peran korporasi baik melalui CSR-nya atau program lain agar dapat memberi impuls dan manfaat bagi masyarakat sehingga dapat membantu menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri.

Pertanyaan mendasar bagi korporasi adalah betulkah niat perusahaan menjalankan CSR atau Social Marketing lainnya adalah untuk menjaga keseimbangan ekologi ini bahwa ada kesatuan sistem dalam lingkungan bisnis ataukah ini sebuah kamuflase dari strategi baru dalam mempromosikan atau upaya memberikan pencitraan terhadap produk perusahaan kepada pelanggan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar