Oleh
Ayatullah
Ja'far Subhani
Akhir-akhir ini marak
perkembangan gerakan “keagamaan” yang disebut sebagai gerakan Salafi. Sering
mereka mengklaim bahwa mereka hadir bermaksud menghidupkan kembali ajaran ulama
salaf untuk menyelamatkan umat dari amukan dan badai fitnah yang melanda dunia
Islam hari ini. Acapkali gerakan ini menegaskan bahwa kelompok yang selain
mereka tidak ada jaminan memberikan alternatif (baca: keselamatan).Tidak jarang
juga mereka mengklaim bahwa golongan yang selamat yang dinubuatkan oleh Nabi
Saw adalah golongan mereka. Tentu saja, konsekuensi dari klaim ini adalah
menafikan kelompok yang lain. Artinya bahwa kelompok mereka yang benar
selainnya adalah sesat (itsbat
asy-syai yunafi maa adahu). Kalau kita mau berkaca pada sejarah, gerakan
Salafi ini sebenarnya bukan gerakan baru. Mereka bermetamorfosis dari gerakan
pemurnian ajaran Islam Wahabi yang dikerangka konsep pemikiranyna oleh Ibn
Taimiyah yang kemudian dibesarkan oleh muridnya Muhammad bin Abdulwahab,
menjadi gerakan Salafi. Metamorfosis ini jelas untuk memperkenalkan ajaran
usang dengan pendekatan dan nama baru. Pertanyaan yang mendasar yang harus
diajukan di sini adalah apakah Salafi itu identik dengan mazhab jumhur, Ahlusunnah?
Kalau tidak identik, bagaimana pandangan Ahlusunnah terhadap kelompok Salafi
ini (Wahabi)? Bagaimanakah sikap ulama Ahlsunnah terhadap kelompok ini, dan
literatur-literatur tekstual apa saja yang telah ditulis oleh para ulama ahli
sunnah untuk menjawab pemikiran Wahabi? Tulisan ringan ini berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan asumtif di atas. Kami persilahkan Anda untuk menyimak
tulisan berikut ini yang merupakan hasil wawancara jurnal Kalam Islami dengan
Ayatullah Ja'far Subhani.
Founding Father Wahabi
Wahabi adalah sebuah
aliran pemikiran yang muncul pada awal abad ke-8 H. yang dicetuskan oleh Ahmad
bin Taimiyah. Ia lahir pada tahun 661 HQ, 5 tahun setelah kejatuhan
pemerintahan khilafah Abbasiyah di Baqdad. Pemikiran kontroversialnya yang ia
lontarkan pertama kali pada tahun 698, pada masa mudanya dalam risalahnya yang
bernama (Aqidah hamwiyah),
sebagai jawaban atas pertanyaan masyarakat Hamat (Suriah) dalam menafsirkan
ayat (Ar-rahman ala al-Arsy istawaa)
artinya: “Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy” dimana ia
mengatakan bahwa; Allah Swt bersemayam di atas kursi di langit dan bersandar
padanya. Risalah tersebut dicetak dan disebarkan di Damaskus dan sekitarnya,
yang menyebabkan para ulama Ahlusunnahdengan suara bulat melakukan kritikan dan
kecaman terhadap pemikirannya, akan tetapi dengan berlalunya waktu, Ibn
Taimiyah dengan pemikiran kontroversialnya malah semakin berani. Dengan alasan
itulah, pada akhirnya di tahun 705 pengadilan menjatuhkan hukuman pengasingan
ke Mesir. Kemudian pada tahun 712 Ia kembali lagi ke Syam. Di Syam Ibn Taimiyah
kembali bergerilya melakukan penyebaran paham-paham kontroversial. Akhirnya
pada tahun 721 dia dimasukkan ke dalam penjara dan pada tahun 728 meninggal di
dalamnya. Penyikapan dan tulisan-tulisan para ulama terkemuka Ahlusunnah pada
waktu itu, merupakan sebuah bukti dalam catatan sejarah yang tidak akan pernah
terhapus atas penolakan pemikiran Ahmad Ibn Taimiyah.
Ibn Batutah misalnya; yang terkenal sebagai seorang pengelana dalam catatan perjalanannya, atau masyhur dengan “peninggalan Ibn Batutah” menulis : Ketika saya di Damaskus, saya melihat Ibn Taimiyah berceramah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, akan tetapi sangat disayangkan ceramahnya itu terkesan tidak memiliki sisi rasionalitas,[1] lanjut beliau: Ibn Taimiyah pada hari jumat di sebuah mesjid sedang memberi nasehat dan bimbingan kepada hadirin, dan saya turut hadir dalam acara tersebut, salah satu dari isi ceramah Ibn Taimiyah adalah sebgai berikut: “Allah SWT dari atas Arsy turun ke langit pertama, seperti saya turun dari mimbar, pernyataan tersebut dia lontarkan dan dengan segera dia pun satu tangga turun dari mimbarnya,” tiba-tiba seorang Faqih mazhab Maliki yang bernama Ibn Zuhra berdiri, dan menolak pandangan ibnu taimiyyah. para jemaah pendukung Ibn Taimiyah berdiri, dan mereka memukul faqih mazhab Maliki yang protes tersebut dan melemparinya dengan sepatu.[2]
Itulah salah satu contoh aqidah Ibn Taimiyah yang disaksikan secara langsung
oleh Ibn batutah sebagai saksi yang netral dan tidak berpihak, dia mendengar
dengan telinganya secara langsung dan melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Semoga Allah melindungi kita dari orang-orang yang menjelaskan aqidah dan
makrifat Islam berdasarkan pemikiran tersebut.
Tak syak lagi bahwa Ibn Taimiyah dengan berbagai kelemahan yang dimiliki, tetap mmiliki sisi positif walaupun sangat terbatas (Tak ada keburukan mutlak di dunia). Dan yang disayangkan adalah para pengikutnya hanya melihat sisi positif Ibn Taimiyah saja, dan menolak serta menutup-nutupi sisi kelemahan dan negatifnya secara membabi buta. Bagaimanapun juga bagi para pemikir yang bebas dan merdeka yang lebih mencintai kebenaran hakiki daripada Plato akan melihat arah positif dan negatifnya dan mengkritisi pemikiran Ibnu Taimiyyah, orang-orang di bawah ini dapat dikategorikan sebagai para pakar dan akademisi Syam dan Mesir di zamannya, mereka mengatakan bahwa pemikiran Ibn Taimiyah telah merubah ajaran-ajran para nabi dan wali Allah. Dan ntuk menolak dan mengkritisi pemikiran ibn Taimiyyah mereka menulis buku sebagai berikut:
1.Syeikh Sofiyuddin Hindi Armawi (644-715Q)
2.Syeikh Syahabuddin bin Jahbal Kalabi Halabi (733)
3.Qadhi al-Qodhaat Kamaluddin Zamlakany (667-733)
4.Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Dzahabi(748)
5.Sadruddin Marahhil ( wafat 750)
6.Ali bin Abd al Ka’fi Subki ( 756)
7.Muhammad bin Syakir Kutby (764)
8.Abu Muhammad Abdullah bin As’ad Yaafi’i (698-768)
9.Abu Bakar Hasni Dimasyqy (829)
10.Shahabuddin Ahmad bin Hajar ‘Asqalany (852)
11.Jamaluddin Yusuf bin Taqari Ataabaqi (812-874)
12.Shahabuddin bin Hajar Ha’itami (973)
13.Mulla Ali Qari Hanafi (1016)
14.Abul Ais Ahmad bin Muhammad Maknasi terkenal dengan Abul Qadhi’ (960-1025)
15.Yusuf bin Ismail bin Yusuf Nabhani(1265-1350)
16.Syeikh Muhammad Kausari Misry (1371)
17.Syeikh Salamah Qadha’i Azami (1379)
18.Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1316-1396)[3]
Sebagian dari mereka
menulis buku khusus untuk mengkritik pemikiran Ibn Taimiyah. Seperti Taqiyuddin
Subki dalam kritiknya terhadap Ibn Taimiyah menulis dua buah kamib yang
berjudul Syifau al siqomi fi ziarati
khoirul anami dan Ad-Durrot al
madiati fii radi ala Ibni taimiyah).
Kritikan yang terus menerus yang dilakukan oleh para cendekiawan muslim sunni
terhadap Ibn Taimiyah menyebabkan doktrin-doktrin pemikirannya terkubur, dan
dengan berlalunya zaman ajarannya perlahan-lahan terlupakan, aliran pemikiran
ibn taimiyyah tidak ada yang tersisa kecuali dalam buku-buku yang ditulis oleh
muridnya yang bernama Ibn Qayyum Jauzi (691-751), bahkan ibn Qayyum dalam kitab
(Ar-Ruuh) menentang pandangan
gurunya sendiri.
Muhammad bin Abdul Wahab
Pelanjut Pemikiran Ibn Taimiyah di Abad 12 Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan
pada tahun 1115 di kota Uyinah bagian dari kota Najad. Semasa belajar di
Madinah para gurunya merasa khawatir akan masa depan muridnya itu, karena
terkadang pernyataan-pernyataan ekstrim dan keliru terucap dari lisannya,
sampai-sampai mereka berkata, :“ jika Muhammad bin Abdul Wahab pergi
bertabliqh, pasti ia akan menyesatkan sebagian masyarakat.”[4] Selagi ayahnya masih hidup, Muhammad
bin abdul Wahab adalah tipe seorang yang pendiam, tetapi setelah wafat ayahnya
pada tahun 1153, tirai yang menghalangi keyakinannya terkuak.[5] Dua aspek yang membantu penyebaran
dakwah Muhammad bin Abdul Wahab ditengah-tengah masyarakat arab Baduy Najad
yaitu:
1.Mendukung sistem politik
keluarga Su’ud
2.Menjauhkan masyarakat Najad dari peradaban, ilmu pengetahuan dan keotentikan ajaran Islam.
2.Menjauhkan masyarakat Najad dari peradaban, ilmu pengetahuan dan keotentikan ajaran Islam.
Pemikiran Muhammad bin
Abdul Wahab dengan slogannya pemurnian tauhid dan perlawanan kepada syirik
secara pelan-pelan mengalami perkembangan bahkan berhasil menarik perhatian
orang yang jauh dari najad seperti Amir Muhammad bin Ismail San’ani (1099-1186)
penulis buku “Subulussalam”
dalam syarahnya (Bulughul murom)
yang menerima dan mengikuti ajarannya, dan dalam sebuah qasidahnya berbunyi
sebagai berikut:
Salam alaa najadi wa man halli fii najdi
Wa in kaana taslimi alal abdi laa yuzdii
(Salam bagi Najad dan siapa saja yang ada disana yang memiliki tempat,
Walau tak seberapa salam saya dari jarak jauh memberi kebaikan)
Akan tetapi ketika dia
menyadari pembunuhan, perbuatan keji dan penyerangan terhadap kaum muslimin
dilakukan oleh para pengikut Abdul Wahab yang diprakarsai oleh Muhammad bin
Abdul Wahab sendiri. Penyesalan itu dia lontarkan kembali dalam alunan
qasidahnya, berikut bunyinya:
Raja’tu anil qauli allazi qultu fi najdi
Wa qod shahha anhu. Khulafulladzi indi
Dalam
perkataan lalu tentang lelaki itu (Muhammad Ibn Abdul Wahhab) saya tarik
kembali, karena kesalahan sesuatu yang berkenaan dengan Ia telah diketahui dan
sudah jelas bagi saya.
Setelah berkembangnya
pemikiran Wahabi, orang pertama yang menolak terhadap paham wahabisme itu
adalah saudaranya sendiri, yakni Sulaiman bin Abdul Wahab dalam buku (As-Sowaa’iqul illahiyyah). Setelah
beliau, banyak para ulama dan tokoh-tokoh pemuka Ahlusunnahlainnya melontarkan
kritikan terhadap pahamnya itu. Barangkali lebih dari 100 judul buku yang telah
ditulis untuk menentang pemikiran abdul wahab tersebut, di antaranya:
1.Abdullah bin Lathif Sya’fii penulis (Tajrid Syaiful al-jihad lil Mudda’i al–Ijtihad)
2.Afifuddin Abdullah bin Dawud Hanbali penulis (As-sawa’iq wa al-Ruduud)
3.Muhammad bin Abdurrahman bin Afalik Hanbali penulis (Tahkamu al-Muqalladin biman ad’i Tajdidi ad-Diin)
4.Ahmad bin Ali bin Luqbaani Basri penulis risalah kritik atas
keyakinan anaknya Abdul wahab.
5. Syeikh Atho’ Allah Makki, penulis (Al-Aarimul al-Hindi fi Unuqil Najdi)
Para cendikiawan
Ahlusunnahinilah yang telah menuliskan buku-buku dalam mengkritik dan menolak
pemikiran Abdul wahab, dan dan selain mereka masih banyak yang menulis buku
dann untuk selengkapnya silahkan anda merujuk buku Buhusul fi Milal wa Nihal ( juz 4, halaman 355-359). Di kalangan
syi’ah, yang pertama kali yang mengkritik pemikiran wahabi adalah faqih dan
marja masyhur di dunia syiah; Almarhum ayyatulah Syeikh Ja’far Kasyif al-Qittho
(1226), yang berjudul Minhajjul
Rissyadi liman araadas-Sadad, beliau dengan bukunya tersebut telah
menyingkap hakikat kebenaran, dan beliau mengirim buku tersebut ke Amir Sa’ud
bin Abdul Aziz (pemimpin ta’ashub wahabi).
Cucu beliau, Almarhum Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Ali Khasyif al Qitto, juga menulis sebuah buku yang berjudul ‘’Al-Aayat al-Bayyinat fi Qam’il Bidai wa Dzolalat) dengan pendekatan logika (akal) dan naql (wahyu), sebagai upaya kritikan dan perlawanan atas paham wahabi yang telah merusak dan menghancurkan makam suci para imam Ahlubait as di Madinah pada tahun 1344 HQ. Sebuah buku yang paling masyhur dari ulama Syiah dalam mengkritik wahabi dengan pendekatan yang logis, buku berjudul ‘’Kasyful irtiyob an itba’ Muhammad bin Abdul Wahab), yang ditulis oleh Allamah Ayyatullah Sayyid Muhsin Amuli, buku ini, sangat bagus ditelaah dan akan membuka wacana pemikiran terutama bagi para peneliti.[6]
Pembaharuan Pemikiran
dalam Aliran Wahabi.
Paham wahabi dengan
pondsai pemikiran Salafi menentang seluruh bentuk perubahan dalam kehidupan
umat manusia. Ketika Abdul Aziz bin Abdurrahman pada tahun 1344 Q menjadi
penguasa dua haram yang suci (mekkah al mukarramah dan madinah al munawwarah),
terpaksa harus membangung dan mengatur system pemerintahannya sesuai dengan model
pemerintahan pada umumnya ketika itu dan merubah pola kehidupan wahabi yang
sesuai dengan kebiasaan arab Baduy-Najad. Dan ia menyetujui mengimpor produk
teknologi modern ketika itu seperti telegraf, telephon, sepeda, mobil dan
lain-lain. Dan sikapnya ini membakar api kemarahan para pengikutnya yang
muta’shib, menyebabkan terjadinya kejadian tragedi berdarah yang terkenal dalam
sejarah sebagai peristiwa “berdarah
Akhwan”.
Ahmad Amin, penulis asal Mesir, ketika membahas tentang kelompok Wahabi, mengatakan bahwa pemikiran wahabi sekarang yang berkembang ini pada hakikatnya 100 persen bertolak belakang dengan pemikiran wahabi di masa lalu. Ahmad Amin menulis: “Wahabi menolak peradaban baru dan tuntutan peradaban baru dan modern, mayoritas di antara mereka meyakini bahwa hanya Negaranyalah sebagai negara islam sementara Negara-negara lain bukan Negara islam karena negara-negara tersebut telah menciptakan bid’ah bahkan menyebarluaskannya dan wajib bagi mereka memerangi Negara tersebut.
Semasa Ibn Sa’ud berkuasa, ia menghadapi dua kekuatan besar dan tidak jalan lain kecuali harus memilih salah satunya yaitu pertama, pemuka-pemuka agama yang tinggal di Najad memiliki akar pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang menolak dengan keras segala bentuk perubahan dan peradaban baru. Kedua; arus peradaban baru yang dalam system pemerintahn sangat membutuhakn alat tekhnoligi modern tersebut.
Pemerintahan, mengambil jalan tengah dari kedua kekuatan tersebut dengan cara mengakui Negara-negara islam yang lain sebagai negar Islam dan juga di samping menggiatkan pengajaran agama mereka juga memberikan pengajaran peradaban modern dan mengatur sistem pemerintahannya berdasarkan sistem pemerintahan modern. Untungnya para pemimpin Negara Saudi telah lelah melayani cara berpikir dan aturan-aturan kering dan kaku pemikiran wahabi yang menjauhkan kaum muslimin dari sunnah dan warisan sejarah yang diyakini seluruh kaum muslimin dan menghancurkan tampat-tempat suci mereka juga menafikan seluruh bentuk penemuan baru dan menganggapnya sebagai bidah. Dan dengan memperhatikan serangkaian peristiwa yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi (seperti bertambahnya tekanan dan ancaman Amerika dan Israel terhadap Negara-negara Islam dan Negara-negara Arab setiap hari dan kehadiran dan peran aktif pemerintahan Republik Islam Iran dalam hidup berdampingan dan damai dengan Negara-negara tetangganya serta memimpin perlawanan terhadap hegemoni yahudi). Hal tersebut di atas menyebabkan secara perlahan-perlahan pandangan negara Arab Saudi menjadi netral dan stabil terhadap negara Republik Islam Iran bahkan lebih dari itu mereka meninjau kembali ajaran-ajaran kering wahabi serta pengkafiran kaum muslimin. tidak ada yang lebih indah yang dilakukan oleh Negara yang menjadi tuan rumah umat islam pada perhelatan akbar ibadah haji setiap tahun, kecuali menjadi negara netral dan meninjau kembali pandangan mereka selama ini.
Catatan:
[1] Matan asli arabnya sebagai berikut : (Wa Kaana fi aqlihi sayyi’un)
[2] Rihlah Ibn Batutah : 95-96, sesuai dengan terbitan tahun 1384
[3] Untuk lebih jauh mengetahui pribadi-pribadi diatas, silahkan anda merujuk ke kamib berikut: Buhusu fi Milal wa Nihal, Juz 4, hal. 37-50)
[4] Ja’milul sidqi zahaawi,Al-Fajru as- Shadiq, hal.17, musnad Ahmad Zaini Dahlan, Fitnah Wahabi, hal 66.
[5] Alusi, Sejarah Najad, hal. 111, 113.
[6] Untuk lebih jauhnya tentang refensi lain dari ulama syiah tentang permasalah diatas, silahkan anda rujuk ke bukunya (Buhusu fi Milal wa Nuhal), Juz 4, hal. 359-360) Tulisan ini disarikan dari wawancara Ayatullah Subhani dengan jurnal Kalam Islami oleh Dani Nur Fajar.
[2] Rihlah Ibn Batutah : 95-96, sesuai dengan terbitan tahun 1384
[3] Untuk lebih jauh mengetahui pribadi-pribadi diatas, silahkan anda merujuk ke kamib berikut: Buhusu fi Milal wa Nihal, Juz 4, hal. 37-50)
[4] Ja’milul sidqi zahaawi,Al-Fajru as- Shadiq, hal.17, musnad Ahmad Zaini Dahlan, Fitnah Wahabi, hal 66.
[5] Alusi, Sejarah Najad, hal. 111, 113.
[6] Untuk lebih jauhnya tentang refensi lain dari ulama syiah tentang permasalah diatas, silahkan anda rujuk ke bukunya (Buhusu fi Milal wa Nuhal), Juz 4, hal. 359-360) Tulisan ini disarikan dari wawancara Ayatullah Subhani dengan jurnal Kalam Islami oleh Dani Nur Fajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar