Judul
: Partini. Tulisan Kehidupan Seorang Putri Mangkunegaran
Penulis : Roswitha Pamoentjak Singgih, berdasarkan cerita Partini
Penerbit : Djambatan, 1986, Jakarta
Bahasa : Indonesia dan Inggris
Jumlah halaman : 113
Penulis : Roswitha Pamoentjak Singgih, berdasarkan cerita Partini
Penerbit : Djambatan, 1986, Jakarta
Bahasa : Indonesia dan Inggris
Jumlah halaman : 113
Oleh
M. Kusalami
Buku
ini berisi tentang kehidupan pribadi Partini sebagai anak sulung RM. Suparto /
Mangkunegara VII. Walaupun begitu isinya juga menguraikan tentang sejarah dan
kehidupan istana Mangkunegaraan beserta adat-istiadatnya. Buku ini ditulis
dengan gaya bertutur “aku” yaitu cerita dari Partini.
Istana
Mangkunegaraan didirikan tahun 1757 oleh RM Said / Pangeran Sambernyawa /
Mangkunegara I. Terletak di tengah-tengah kota Surakarta menghadap ke arah
selatan masuk wilayah Kalurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kotamadya
Surakarta. Dalam buku ini Partini menguraikan secara singkat bagian-bagian
istana Mangkunegaraan, sejarah Mangkunegara I sampai Mangkunegara VI.
Partini
dilahirkan Kamis Paing, 9 Jumadilawal, atau 14 Agustus 1902. Ayahnya RM.
Suparto, putra Mangkunegara V. Ibunya Mardewi yang merupakan selir pertama RM.
Suparto berasal dari orang biasa/bukan ningrat. Partini dilahirkan di Keputren
Istana Mangkunegaran. Hal ini merupakan sesuatu yang istimewa karena menurut
kebiasaan yang berhak dilahirkan di sana hanyalah anak Mangkunegara yang sedang
bertahta sedang Partini hanyalah seorang cucu. Tak lama setelah Partini
dilahirkan ibunya kembali pulang ke rumah orang tuanya dan Partini oleh RM.
Suparti diserahkan kepada adiknya, Putri Suparti. Tidak mengherankan apabila
Partini sangat dekat dengan Suparti bahkan menganggap seperti ibunya sendiri.
Mangkunegara
V meninggal tahun 1896 tanpa meninggalkan putra mahkota. Putra-putra lainnya
termasuk RM. Suparto masih terlalu kecil untuk menggantikannya, sehingga RM.
Suyitno (adik Mangkunegara V) yang diangkat menjadi Mangkunegara VI. Jadi pada
waktu Partini dilahirkan yang bertahta adalah paman ayahnya.
RM.
Suparto adalah seorang yang berpikiran maju dan beranggapan dengan pendidikan
yang baik orang lebih siap menghadapi perjuangan hidup. RM. Suparto menghendaki
suatu masa depan yang lebih baik daripada suatu kehidupan santai dan tidak
bermakna, yang seringkali dijalani pangeran-pangeran masa itu. Sayang
Mangkunegara VI tidak begitu memperhatikan.
Akhirnya
RM. Suparto memutuskan meninggalkan istana. Bermula dari magang, dalam waktu
yang tidak terlalu lama ia menjadi mantri kabupaten di Demak (1905). Dengan
tabungan yang disisihkan dari gajinya, ia masih sempat memperdalam
pengetahuannya dalam bahasa Belanda dan sastra Jawa. Suatu kesalahpahaman
dengan Bupati menyebabkan ia mengundurkan diri dan mulai dari nol lagi. Setelah
melalui berbagai penderitaan, tindakan Residen Surakarta, G.F. van Wijk yang
mengangkatnya menjadi penterjemah dari bahasa Jawa ke bahasa Belanda memberikan
harapan yang lebih baik. Di waktu senggangnya RM. Suparto masih memberikan
perhatian terhadap Boedi Oetomo cabang Solo. Juga mengajari Partini bahasa
Belanda, yang bahkan diajarkan dengan keras dan penuh disiplin. Setelah
dianggap cukup mampu Partini dikirim ke sekolah Frobel (taman kanak-kanak
Belanda).
RM.
Suparto memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Eropa agar dapat mengikuti
kuliah sastra kuno di Universitas Leiden, serta untuk menambah pengalaman dan
pandangan. Atas rekomendasi Residen van Wijk, Mr. Abendanon dan Mr. van
Deventer, RM Suparto berangkat ke Belanda Juli 1913. Karena ketekunan belajar
dan pandai berbahasa Belanda, ia mudah bergaul dan berdiskusi di berbagai
kalangan (teman-temannya, atasannya, kalangan intelektual, aristokrat maupun
masyarakat biasa). Selama RM. Suparto di Belanda, ia bersurat-suratan dengan
Partini. Partini diharuskan menjawab surat ayahnya dengan bahasa Belanda agar
bahasa Belandanya makin terasah. RM. Suparto sangat sedih ketika Partini naik
ke kelas 6 dengan status percobaan, dan kelas 6 harus diulangi.
Pada
waktu libur semester RM. Suparto mengikuti latihan militer sebagai pasukan
cadangan, tetapi karena Perang Dunia I pecah ia terpaksa mengikuti pendidikan
sampai Mei 1915. Kemudian atas dasar cuti besar ia boleh meninggalkan dinas
militer, dan kesempatan ini dipergunakan pulang ke tanah air. Hal ini sangat
menggembirakan Partini RM. Suparto juga gembira melihat Partini berusia 13
tahun, duduk di kelas 7, kelas tertinggi Europeesche Lagere School.
Sekembalinya
di Surakarta, RM. Suparto bekerja sebagai kontrolir (pengawas) pemberantasan
penyakit pes. Pada waktu itu epidemi pes sangat merajalela. Seorang pembantu
pemilik rumah yang ditempati bahkan ada yang meninggal. Hal ini menyebabkan
Partini disuruh mengungsi ke rumah pamannya, RM. Suryo Sumarno.
Sementara
itu Mangkunegara VI mengundurkan diri dan secara diam-diam pada bulan Januari
1916 berangkat ke Surabaya beserta seluruh keluarganya. Sebagai penggantinya
RM. Suparto. Tetapi karena belum genap berusia 40 tahun (menurut kalender
Jawa), ia diangkat sebagai Prangwadono terlebih dahulu, dan dikukuhkan tanggal
3 Maret 1916. “Keluarga” RM. Suparto kemudian pindah ke Istana. RM. Suparto
menempati Balepeni, Partini mendapat kamar di mana dulu ia dilahirkan. Sebagai
seorang Putri Prangwadono lebih banyak aturan yang harus dijalani. Misal
sekolah tidak berjalan kaki lagi tetapi antar jemput dengan mobil atau bendi,
tidak boleh bepergian tanpa pengawal dan lain-lain. Walaupun begitu Partini
tidak kehilangan masa kanak-kanaknya, ia tetap bisa bermain dan belajar, dengan
mengajak teman-temannya ke istana. Partini belajar berbagai ketrampilan misal
melukis, membatik, menjahit dan membordir.
Ketika
tahun pelajaran sekolah berakhir Partini ikut ujian Klein Ambtenaar (pegawai
rendah). Bila lulus bisa diterima sebagai pegawai pada kantor pemerintahan
sebagai juru tulis atau melanjutkan sekolah. Partini lulus tetapi ketika akan
melanjutkan ke MULO (Midelbaar Uitgebreid Lager Onderwijs), tidak
diperbolehkan. Partini kemudian dididik mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan rumah tangga.
Pada
tahun 1918 Partini diajak ayahnya ke Batavia. Di sanalah (di rumah Muhlenfeld)
Partini untuk pertama kalinya bertemu Doktor Husein Djajadiningrat yang kelak
menjadi suaminya. Pertemuan kedua terjadi di Solo ketika diselenggarakan
konggres Java Instituut. Desember 1919, di mana Partini adalah salah satu
anggotanya sedang Dr. Husein menjabat sebagai ketua. Dalam peristiwa ini
keduanya berkenalan secara resmi. Rupanya perkenalan itu berlanjut, dan terjadi
surat menyurat.
Pada
tahun 1920 RM. Suparto menikah dengan putri Sultan Hamengkubuwono VII, yang
dijadikan garwa padmi atau permaisuri diberi sebutan “Gusti Kanjeng Ratu
Timur”. Lamaran dan pernikahan ini berjalan meriah dan mewah dengan segala
aturan dan adat-istiadat yang belaku. Tanggal 20 September 1920 Ratu Timur
diboyong ke istana Mangkunegaran. Sambutan keluarga Mangkunegaran sangat luar
biasa bahkan pesta berlangsung lebih dari 14 hari. Ratu Timur inilah yang
berhak mendampingi RM. Suparto dalam berbagai acara.
Tidak
lama setelah ayahnya menikah Partini menerima lamaran dari Dr. Husein pada
bulan November 1920 dan hari pernikahan ditetapkan Minggu, 9 Januari 1921.
Pernikahan Partini dengan Dr. Husein Djajadiningrat dilangsungkan dengan
adat-istiadat yang lengkap sebagai Putri Prangwadana/penguasa Mangkunegaran.
Setelah menikah Partini beserta suaminya ke Banten, Jawa Barat. Di Serang
keduanya disambut Achmad Djajadiningrat (kakak Dr. Husein), Regent Serang
beserta keluarganya dan dilangsungkan upacara adat. Seminggu kemudian keduanya
ke Batavia, tempat tugas Dr. Husein Djajadiningrat.
Partini
tentu saja memerlukan waktu untuk beradaptasi. Dari apa-apa serba dilayani
(sebagai putri Mangkunegaran) dengan fasilitas yang memadai, sekarang harus
mandiri dengan fasilitas yang tentu saja berbeda. Belum lagi perbedaan budaya
dengan suaminya, termasuk lingkungan pergaulan. Hal ini kadang-kadang menyulut
pertengkaran. Tetapi seperti diakui sendiri oleh Partini, suaminya pada
dasarnya orang yang sabar dan telaten melatih, sehingga kendala tersebut dapat
diatasi.
Dalam
perkawinan tersebut mereka memperoleh 6 orang anak 3 putri dan 3 putra. Partini
bersikeras mendidik sendiri anak-anaknya sehingga ketika ayahnya meminta salah
satu anaknya selalu ditolak. Baru ketika melahirkan yang kelima dan ternyata
kembar, salah satunya diberikan kepada ayahnya. Itupun hanya sementara waktu
yaitu empat tahun. Hal ini mungkin disebabkan pengalamannya sendiri, di mana ia
merasa “kesepian” karena sejak bayi ditinggalkan ibu kandungnya, sementara
ayahnya walaupun mempunyai perhatian yang besar tetapi tidak setiap saat bisa
mendampingi. Hal ini antara lain disebabkan tugas ayahnya yang sangat banyak
(baik sebelum maupun sesudah menjadi penguasa Mangkunegaran) belum lagi
istri-istri dan anak-anaknya yang lain yang juga memerlukan perhatian. Partini
bahkan tidak ingat siapa saja yang pernah menjadi selir ayahnya. Partini
berpendapat apapun yang terjadi sebaiknya anak tetap “bersama” ayah dan ibunya.