Oleh Asep Sambodja
Linda Christanty adalah cerpenis perempuan yang menulis tentang
persoalan politik dan persoalan bangsanya, yang menempatkan dirinya sebagai
sastrawan Indonesia yang patut diperhitungkan. Sastrawan semacam ini sama
berisikonya dengan sastrawan yang menulis persoalan di seputar selangkangan
atau kegelisahan seksualnya sendiri. Kalau Linda Christanty cenderung akan
berhadapan dengan penguasa, maka sastrawan perkelaminan akan berhadapan dengan
petinggi agama dan kaum moralis. Tapi, Linda Christanty memilih mengangkat
tema-tema politik daripada mengeksploitasi seks dan derifatnya.
Siapakah Linda Christanty? Ketika masih kuliah di Program Studi
Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), ia
sudah memperlihatkan kemampuannya di bidang sastra. Ia menulis puisi, cerpen,
dan sempat berteater. Bahkan cerpennya yang berjudul “Daun-daun Kering” yang
ditulis ketika masih mahasiswa memenangkan lomba menulis cerpen Kompas pada
1989. Cerpen ini kemudian dimuat dalam Riwayat Negeri yang Haru: Cerpen
Kompas Terpilih 1981-1990 (terbit Juni 2006) yang dieditori Radhar Panca
Dahana.
Sebagai mahasiswa, ia dikenal sebagai mahasiswa yang kritis,
cerdas, dan sering bertanya. Sampai-sampai, teman sekelasnya merasa minder
padanya, serta was-was kalau Linda Christanty menunjukkan tangan untuk bertanya
dalam diskusi. Karena, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tidak ngawur,
tidak asal-asalan, melainkan terlihat bahwa bacaannya banyak dan wawasannya
luas. Sayangnya, kata teman sekelasnya, Linda Christanty sering “menghilang”
dari ruang kelas. Ia lebih banyak bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa kritis
saat itu, seperti Hilmar Farid dan Wilson dari Jurusan Sejarah UI, yang
tergabung dalam Forum Belajar Bebas (FBB). Ia sama sekali tidak suka nongkrong
seperti beberapa temannya yang lain. Uniknya, kamar kosnya dipenuhi
lukisan-lukisan murung berwarna ungu dan gelap karyanya sendiri. Pergaulan
Linda dengan teman-temannya di FBB itu membawanya menjadi aktivis yang
mengkritisi rezim Soeharto.
Pada pertengahan 1990-an, saya sebagai wartawan majalah Sinar
sempat bertemu dengan Linda Christanty dalam bentuk yang lain: ia mengenakan
jilbab. Ketika saya hampiri untuk menanyakan hal itu, ia memberi isyarat agar
tidak membuka identitasnya. Saya maklum, karena pada saat itu ia tengah bersama
teman-teman aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID),
cikal bakal Partai Rakyat Demokratik (PRD) melakukan demonstrasi menyuarakan
demokratisasi di DPR—yang disimbolkan sebagai sarang laba-laba oleh
Rendra—meskipun Linda berada di luar lingkaran aksi itu.
Pertemuan saya dengan Linda berikutnya lebih banyak terjadi di
dunia maya dan sesekali dalam acara budaya di Teater Utan Kayu. Saya lebih
banyak bertemu dengan teman akrabnya, Ucu Agustin, yang saat itu aktif sebagai
wartawan radio 68H. Linda aktif di Bumimanusia, Commonground, majalah Pantau,
menerbitkan kumpulan cerpen Kuda Terbang Maria Pinto, dan email terakhir
yang saya peroleh dari Linda: ia tengah melakukan penelitian dan sebagainya di
Aceh pasca tsunami dan terpilihnya Gubernur Aceh yang baru dari kalangan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ketika membaca Kuda Terbang Maria Pinto (buku ini menjadi
salah satu buku bacaan wajib mahasiswa Sastra Indonesia FIB UI), saya merasa
menemukan Linda Christanty kembali. Cerpennya yang berjudul “Danau” dan “Qirzar”sangat
puitis. Ada pula cerpen-cerpennya yang menggambarkan dunia aktivis dan
pergerakan, seperti “Joao”, “Lelaki Beraroma Kebun”, “Rumput Liar”, “Makam
Keempat”, “Perang”, “Kuda Terbang Maria Pinto”, dan yang paling menarik adalah
cerpennya yang berjudul “Makan Malam” dan “Pesta Terakhir”, yang memperlihatkan
wawasannya yang luas mengenai persoalan bangsanya. Dan, yang lebih memikat,
sikapnya yang demikian tegas dan mempesona dalam melihat, menghayati, dan
menilai persoalan itu. Dua cerpen terakhir itu, menurut saya, memberi nilai
tinggi pada dirinya sebagai seorang sastrawan yang peduli pada persoalan
bangsanya, serta memperlihatkan sikapnya yang mengkritik keras penguasa dengan
bahasa yang demikian lembut.
Kita tahu bahwa Kuda Terbang Maria Pinto Linda Christanty
dan Negeri Senja Seno Gumira Ajidarma meraih penghargaan Khatulistiwa
Literary Award (KLA) 2004. Dan, menurut Manneke Budiman, ketua dewan juri pada
saat itu, kedua buku itu sama-sama menggunakan bahasa metaforis yang sangat
kuat. Apa yang dikatakan Manneke Budiman itu benar. Tapi, menurut saya, yang
memberi bobot kedua karya itu tidak sekadar bahasa metaforisnya, tapi pesan (message)
yang disampaikan sastrawan itu benar-benar mendalam, terutama bagi pembaca
Indonesia yang sebagian besar masa hidupnya berada di bawah kekuasaan Soeharto.
Kedua karya itu lebih menonjol membicarakan persoalan bangsanya. Ada
kegelisahan politik yang hendak disampaikan kedua sastrawan itu, dan keduanya
memiliki sikap yang sama dalam mengutuk kebiadaban rezim Orde Baru, terutama
periode tergelap dalam sejarah Indonesia: 1965-1966.
Peran yang diambil Linda Christanty sebagai sastrawan adalah
memposisikan dirinya sebagai sastrawan yang selalu mengarahkan mata pedangnya
ke penguasa. Dilihat dari cerpen-cerpennya yang dihimpun dalam Kuda Terbang
Maria Pinto, tampaknya ia sudah melewati masa-masa kegelisahan eksistensial
yang biasanya diidap oleh sastrawan-sastrawan baru, sesuatu yang sama sekali
tidak dihiraukannya. Apalagi kalau sekadar mengangkat kegelisahan seksual yang
memang lebih banyak mendatangkan uang, namun kurang merangsang Linda untuk
memikirkannya. Ia sama sekali tidak ingin terbelenggu dalam labirin persoalan
seksual yang itu-itu saja. Melalui cerpennya “Makan Malam”, misalnya, ia ingin
mengatakan bahwa kebijakan politik Soeharto yang membabi-buta memberantas
Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga ke akar-akarnya telah menyisakan luka
yang demikian dalam bagi bangsa Indonesia. Tanpa proses pengadilan, tanpa
perikemanusiaan, tanpa pandang bulu, orang-orang yang sangat jauh dari orbit
kekuasaan dan tidak mengerti politik, dibunuh hanya gara-gara dicap PKI atau
antek PKI.
Saya melihat, apa yang disampaikan Linda Christanty melalui Kuda Terbang Maria Pinto sama pentingnya dengan yang ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Kalau yang ditulis Ricklefs adalah fakta sejarah, maka yang ditulis Linda adalah perasaan luka dari bangsa yang dituliskan sejarahnya itu.
Saya melihat, apa yang disampaikan Linda Christanty melalui Kuda Terbang Maria Pinto sama pentingnya dengan yang ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Kalau yang ditulis Ricklefs adalah fakta sejarah, maka yang ditulis Linda adalah perasaan luka dari bangsa yang dituliskan sejarahnya itu.
Linda Christanty adalah seorang kawan. Dan ia telah menulis cerpen.
Menulis fakta dengan balutan sastra. Ia tidak bermain-main dengan sesuatu yang
nonsens. Ia menjadi representasi dari sebuah bangsa yang terluka. ***