Dalam
khutbah ini, Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkhutbah tentang
perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
Bilamana
suatu masalah diajukan kepada seseorang di antara mereka,[i] ia menyampaikan
penilaian atasnya dari khayalannya. Bilamana masalah yang tepat seperti itu
diajukan kepada orang lain, ia menyampaikan keputusan yang berlawanan. Kemudian
hakim-hakim ini pergi kepada kepala yang telah mengangkat mereka, dan ia
mengukuhkan semua keputusan itu, walaupun Tuhan mereka Satu (dan sama), Nabi
mereka satu (dan sama, Kitab mereka (Al-Qur’an) satu (dan sama). Apakah karena
Allah memerintahkan mereka untuk berbeda dan mereka menaati-Nya, ataukah Ia
melarang mereka tetapi mereka melanggar-Nya? Atau (apakah) Allah mengirimkan
agama yang tak sempurna dan meminta mereka menolong menyempurnakannya? Atau
mereka mitra-Nya dalam urusan itu sehingga merupakan bagian kewajiban mereka
untuk menetapkannya dan Ia harus menyetujuinya?
Atau, apakah Allah Yang Mahasuci mengirimkan
agama yang sempurna tetapi Nabi tak mampu menyampaikannya dan menyerahkannya
(kepada manusia)? Nyatanya, Allah Yang Mahasuci berkata, “Tiadalah Kami alpakan
sesuatu pun dalam Al-Kitab” (QS. 6:38), dan mengatakan bahwa satu bagian
Al-Qur’an membenarkan bagian yang lainnya, dan bahwa tak ada pertentangan di
dalamnya, sebagaimana dikatakan-Nya, “Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. ”
(QS. 4:82)
Sesungguhnya
bagian luar Al-Qur’an menakjubkan dan bagian dalamnya mendalam
(makna-maknanya). Keajaiban-keajaibannya tak akan pernah lenyap, halnya yang
menakjubkan tak akan pernah habis, dan kerumitan-kerumitannya tak dapat
diterangkan kecuali melaluinya (Al-Qur’an) sendiri.
*****
[i]
Ada perbedaan pendapat, di mana tak ada argumen yang jelas tentang suatu hal
dalam hukum agama, apakah sesungguhnya ada perintah tentang itu atau tidak.
Pandangan yang dianut Abul Hasan al-Asy’ari dan gurunya Abu Ali al-Jubba’i
ialah bahwa dalam kasus semacam itu Allah tidak menetapkan suatu jalan tindakan
tertentu, melainkan Ia memberikan tugas untuk menemukannya dan menetapkan suatu
keputusan (fatwa) kepada para ahli hukum, sehingga apa saja yang mereka pandang
haram akan ditentukan sebagai haram dan apa saja yang mereka anggap halal akan
dihalalkan. Dan apabila seseorang mempunyai satu pandangan dan yang lainnya
mempunyai pandangan lain maka akan ada keputusan sebanyak pandangan yang ada,
dan masing-masing darinya akan merupakan yang final. Misalnya, apabila seorang
ulama berpendapat bahwa tape gandum haram dan pandangan ahli hukum lain
menganggapnya halal, maka sesungguhnya itu haram dan sekaligus halal. Ini
berarti bahwa bagi seseorang yang menganggapnya haram, penggunaannya akan
haram, sedang bagi yang lain penggunaannya halal. Tentang hal (teori ketepatan)
ini, Muhammad ibn ‘Abdil Karim asy-Syahristani menulis:
“Sekelompok
teoritisi berpendapat bahwa dalam urusan-urusan di mana ijtihad diterapkan, tak
ada pandangan yang tertentu tentang boleh atau tidaknya, dan yang dihalalkan
serta yang diharamkan darinya, melainkan apa saja yang dipegangi mujtahid
adalah perintah Allah, karena penegasan pandangan Allah tergantung pada
keputusan mujtahid. Apabila tidak demikian maka tak akan ada keputusan sema
sekali. Dan menurut pandangan ini, setiap mujtahid benar dalam pandangannya.
(al-Milal wa an-Nihal, h. 98)
Dalam
hal ini si mujtahid dianggap kebal dari kesalahan, karena suatu kesalahan dapat
dianggap terjadi bilamana suatu langkah yang diambil bertentangan dengan
realitas; tetapi, di mana tidak ada realitas keputusan, kesalahan tak akan ada
maknanya. Selain ini, si mujtahid dapat dipandang sebagai bebas dari kesalahan
apabila dipandang bahwa Allah, yang menyadari akan segala pandangan yang
nampaknya mungkin akan diambil, telah menetapkan ketentuan final sebanyak itu
yang sebagai akibatnya setiap pandangan yang bertalian dengan suatu ketetapan
semacam itu, atau bahwa Allah telah menjamin bahwa pandangan-pandangan yang
diambil oleh mutjahid tidak akan melewati apa yang telah ditetapkan-Nya, atau
bahwa secara kebetulan pandangan setiap orang dari mereka, pada kesudahannya,
berhubungan dengan suatu ketentuan yang telah ditetapkan.
Namun,
mazhab Syi'ah Imamiah Itsna Asyariyah mempunyai teori lain, yakni bahwa Allah tidak memberikan hak
kepada siapa pun untuk menetapkan hukum, tidak pula membawahkan suatu urusan
kepada pandangan si mujtahid, juga tidak berpendapat bahwa, dalam hal perbedaan
pendapat, Ia telah menetapkan banyak ketetapan yang sesungguhnya. Tentu saja,
apabila si mujtahid tak dapat sampai pada suatu ketetapan yang riil maka
pandangan yang diambilnya setelah penelitian dan penyelidikan, cukup baginya
dan para pengikutnya untuk berbuat sesuai dengan itu. Perintah semacam itu
adalah perintah yang terlihat, yang merupakan suatu substitusi bagi perintah
yang sesungguhnya, karena ia berusaha sedapat-dapatnya untuk menyelami lautan
dalam dan meneliti dasarnya, tetapi ketimbang muatiara ia hanya mendapatkan
kerang. Ia tidak mengatakan bahwa para pelaksana harus menerimanya sebagai
mutiara atau harus dihargai sebagai mutiara. Adalah urusan lain bila Allah yang
memperhatikan usaha-usaha itu menghargainya separuh dari itu sehingga usaha itu
tidak menjadi sia-sia dan semangatnya tidak padam.
Apabila
teori ketetapan diambil, maka setiap keputusan (fatwa) tentang hukum dan setiap
pandangan harus dianggap benar seperti telah dituliskan Maibudz dalam Fawatih, Dalam
hal ini pandangan yang diambil oleh al-Asy’ari benar. Dari itu,
pendapat-pendapat yang berlainan harus semuanya benar. Hati-hatilah, jangan
berpendapat buruk tentang para faqih, dan jangan membuka lidah Anda untuk
menyalahkan mereka.
Bilamana
teori-teori yang saling bertentangan dan berselisih dianggap bernar, adalah
aneh mengapa perbuatan beberapa orang individu yang mencolok diterangkan
sebagai kekeliruan keputusan, karena kekeliruan keputusan oleh si mujtahid sama
sekali tak dapat dibayangkan. Apabila teori ketepatan itu benar maka tindakan
Mu’awiah dan ‘A’isyah harus dianggap benar; tetapi, apabila perbuatan mereka
dapat dipandang salah maka kita harus sepakat bahwa ijtihad pun dapat salah,
dan bahwa teori ketepatan adalah salah. Maka masih harus diputuskan dalam
konteksnya sendiri apakah ciri kewanitaan tidak mengganggu keputusan ‘A’isyah,
atau apakah itu adalah temuan (yang salah) dari Mu’awiah atau sesuatu yang
lain. Bagaimanapun, teori ketepatan ini dikemukakan untuk menutupi
kesalahan-kesalahan dan memberikan padanya jubah ketetapan Allah, supaya tidak
akan ada halangan untuk mencapai tujuan-tujuan dan tidak pula seseorang akan mampu
berbicara menentang setiap kebatilan.
"Dalam
khotbah ini Amirul Mukminin mengacu kepada orang-orang yang menyeleweng dari
jalan Allah, yang dengan menutup mata dari cahaya, meraba-raba dalam kegelapan
khayalan, membuat agama menjadi korban pandangan dan pendapat mereka,
memaklumkan pendapat-pendapat baru mereka, mengeluarkan keputusan-keputusan
dengan khayalan mereka sendiri, dan menimbulkan akibat-akibat yang menyesatkan.
Atas dasar teori ketepatan, mereka memandang semua keputusan yang menyeleweng
dan saling bertentangan ini sebagai dari Allah, seakan-akan masing-masing dari
ketentuan mereka mewakili wahyu Ilahi sehingga ketetapan mereka tak mungkin
salah dan mustahil mereka tersandung".
Maka
Amirul Mukminin menyalahkan pandangan ini dengan mengatakan bahwa: (2)Apakah
Allah melarang penyelewengan-penyelewengan ini atau memerintahkannya. Apabila Ia telah memerintahkannya, di mana perintah itu? Tentang hal larangannya,
Al-Qur’an mengatakan: “…
Katakanlah, ‘ApakahAllah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu
mengada-adakannya saja terhadap Allah?’” (QS. 10:59).
Yakni,
segala sesuatu yang tak sesuai dengan perintah Ilahi adalah buat-buatan, yang
dilarang dan diharamkan. Bagi para pengada-ada, di akhirat, tak akan ada
keberuntungan atau keberhasilan, tidak pula kemakmuran dan kebaikan. Firman
Allah,
“Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung. (QS. 16:116)
(3)
Sekiranya Allah telah meninggalkan agama sebelum sempurna, setengah jalan,
karena Ia menginginkan supaya manusia membantu-Nya dalam menyempuraakan tatanan
agama dan turut beserta-Nya dalam tugas penepatan hukum, maka kepercayaan ini
jelas syirik. Apabila Ia mengirimkan agama-Nya dalam bentuk sempurna, tentulah
Nabi telah gagal menyampaikannya sehingga ruangan itu ditinggalkan kepada orang
lain untuk menerapkan khayalan dan pendapat. Ini, semoga dijauhkan Allah, akan
berarti kelemahan Nabi dan kekeliruan pilihan Allah.
(4)
Allah telah mengatakan dalam Al-Qur’an bahwa Ia tidak meninggalkan apa pun
dalam Kitab itu dan telah menjelaskan semua dan setiap urusan. Sekarang,
apabila suatu ketetapan diukir berlentangan dengan Al-Qur’an maka itu di luar
tatanan keagamaan, dan dasarnya tidak bertumpu pada pengetahuan dan persepsi,
atau Al-Qur’an dan sunnah. tetapi merupakan pendapat dan penilaian pribadi
seseorang, yang tak dapat disarnakan dengan agama dan keimanan.
(5)Al-Qur’an
adalah basis dan sumber agama, dan sumber hukum syariat. Apabila hukum syariat
bcrbeda-beda maka akan ada perbrdaan pada sumbernya; dan apabila ada
perbedaannya maka Ia tak dapat dianggap sebagai sabda Ilahi. Bilamana iiu sabda
Ilahi, hukum syariat tak mungkin berbeda-beda; tak mungkin menerima semua
keputusan yang berbeda-beda dan saling bertentangan, yang benar dan khayali.
dan menganggapnya sebagai ketelapan Al-Qur’an.
Sumber: Khutbah No.18
dalam Nahjul Balaghah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar