قال عليه السلام: العلم وراثة کريمة و الآداب حُلَل مُجدَّدَة و الفکر مرآة صافية
Imam Ali as berkata:
“Ilmu adalah peninggalan yang mulia, adab adalah perhiasan yang selalu baru dan
pemikiran adalah kaca cermin yang jernih.” (Nahjul Balaghah, Hikmah ke-5.)
Dalam hikmah ini
digunakan beberapa metafora:
[1] Ilmu diekspresikan dengan warisan, dengan kesesuaian bahwa sebagaimana
seorang anak mewarisi harta dan kekayaan dari ayah, maka setiap orang alim juga
mewarisi ilmu dan pengetahuan dari gurunya. Karena dalam warisan ilmu terdapat
keistimewaan yang tidak ada pada warisan harta benda, maka warisan ilmu
dideskripsikan dengan kemuliaan dan kebernilaian (wiratsah karimah).
Sumber keistimewaan ini adalah kekekalan ilmu dan kefanaan harta dan kekayaan.
Harta benda yang didapatkan anak dari ayahnya akan sirna dan habis, sementara
ilmu dan pengetahuan akan kekal dan aman dari bahaya-bahaya yang mengancam
harta.
Dalam riwayat-riwatat
lain, ilmu juga diungkapkan dengan warisan dan ulama diekspresikan dengan para
pewaris:
قال امير المؤمنين عليه السلام: العلم وراثة کريمة و الآداب حُلَل حِسان و الفکر مرآة صافية و الإعتبار مُنذِر ناصح و کفی بک أدبا لنفسک ترکک ما کرتَه لغيرک
Amirul Mukminin Ali as
berkata: “Ilmu adalah warisan yang mulia, adab adalah perhiasan yang baik,
pemikiran adalah cermin yang jernih dan pengambilan pelajaran adalah pemberi
peringatan yang menasehati dan cukuplah bagimu sebagai adab untuk diri sendiri
(ketika engkau) meninggalkan apa yang tidak engkau sukai bagi orang lain”
(Bihar Al-Anwar, jilid 1, hal. 169). Sayid Radhi juga membawakan riwayat yang
seperti ini dalam ucapan-ucapan pendek Nahjul Balaghah, Hikmah ke-365:
الفکر مرآة صافية و الإعتبار منذر ناصح و کفی ادبا لنفسک تجنبک ما کرهته لغيرک
“Pikiran adalah cermin
yang jernih, dan mengambil pelajaran (dari keadaan sekitar) memberikan
peringatan dan nasihat. Cukuplah untuk memperbaiki dirimu bila engkau mengelakkan
apa yang kau anggap buruk pada orang lain”
عن ابی عبد الله عليه السلام قال: ان العلماء ورثة الأنبياء و ذلک ان الأنبياء لم يُوَرِّثوا درهما و لا دينارا و انما اورثوا احاديث من احاديثهم فمن أخذ بشیء منها أخذ حظا وافرا فانظروا علمکم هذا عمن تأخذونه فإن فينا اهل البيت فی کل خلف عدولا ينفون عنه تحريف الغالين و انتحال المبطلين و تأويل الجاهلين
Dari Imam Ja’far
Shadiq as beliau berkata: “Sesungguhnya ulama’ adalah pewaris para nabi dan
demikian itu (karena) sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dirham dan dinar
(sedikitpun) akan tetapi mereka mewariskan hadis-hadis mereka maka barangsiapa
mengambil sesuatu darinya maka (berarti) telah mengambil keberuntungan yang
besar, maka tengoklah ilmu kalian ini dari siapa kalian mengambilnya, karena
sesungguhnya di antara kami terdapat Ahlul Bait yang pada setiap masa terdapat
pengganti-pengganti adil yang menafikan penyimpangan para ekstrimis, bid’ah
para perusak dan takwilan orang-orang dungu” (Muhammad bin Ya’qub Kulaini,
Ushul al-Kafi, jilid 1, hal. 32)
[2] Adab dan akhlak terpuji diekspressikan dengan perhiasan-perhiasan yang
selalu baru dan awet, dengan alasan bahwa keutamaan-keutamaan untuk diri
merupakan perhiasan, sebagaimana pakaian dan alat-alat perhiasan menghiasi
tubuh manusia. Pendeskripsian perhiasan-perhiasan batin ini dengan sifat baru
dan awet dengan alasan bahwa karena telah mendarah daging dalam jiwa maka
menjadi awet dan bersama dengan manusia.
[3] Pikiran diungkapkan dengan “مرآة صافیة”; artinya kaca cermin
yang memancar dan jernih, karena sebagaimana kaca cermin yang jernih
memantulkan aib-aib dan gambar-gambar di depannya dengan baik, maka pikiran
manusia juga menyingkap kejahilan-kejahilan concept dan judgement
dan merubahnya menjadi maklum dan menurut ungkapan sebagian komentator Nahjul
Balaghah, pikiran seperti astrolabe ruhani (Ibnu Abi al-Hadid, Syarah Nahjul
Balaghah, jilid 18, hal. 93)
Komentator Bahrani ra
dalam memberikan penjelasan hikmah dan kalam bercahaya ini berkata:
Ketiga belas: Ilmu
adalah suatu warisan mulia dan hal itu merupakan keutamaan jiwa berakal,
kesempurnaan tertinggi yang diperhatikan dan oleh karena itu merupakan suatu
warisan mulia dari ulama’ bahkan adalah warisan dan pendapatan termulia dan
yang dimaksud adalah warisan spiritual seperti firman Allah swt:
“Maka anugerahilah
aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi
sebahagian keluarga Ya'qub”; yaitu warisan ilmu dan hikmah. QS. Maryam
[19]: 5 – 6.
Keempat belas: Adab
adalah perhiasan permanen dan yang selalu baru. Yang dimaksudkan adalah adab
syar’i dan keutamaan-keutamaan akhlak dan adab dikiaskan dengan lafad
perhiasan-perhiasan yang permanen dan selalu baru dengan anggapan bahwa adab
selalu menyertai manusia dan memberikan nilai dan kepribadian manusia,
sebagaimana perhiasan-perhiasan yang selalu dipakainya.
Kelima belas: Pikiran
adalah sebuah cermin jernih dan bercahaya, “pikiran” terkadang diartikan
sebagai potensi untuk berpikir, terkadang bermakna berpikir dan lain
sebagainya. Di sini berartikan potensi untuk berpikir. Dan bahwa pikiran
diungkapkan sebagai cermin jernih karena sebagaimana kaca cermin yang jernih
menampakkan segala sesuatu yang berada di hadapannya, pikiran pun menampakkan
hal-hal yang disodorkan kepadanya; artinya akan mengantarkan manusia mulai dari
garis star hingga tujuan atau finish.
Kebahagiaan Manusia Berada Pada Kelebihan Ilmu
سئل عن الخير ما هو؟ فقال عليه السلام: ليس الخير ان يکثر مالک و ولدک و لکن الخير ان يکثر علمک
Dipertanyakan (kepada
Imam Ali as) tentang “khair” (kebaikan), apakah itu? Imam Ali as menjawab:
“Kebaikan bukanlah harta dan anakmu yang bertambah, akan tetapi kebaikan adalah
ilmumu yang bertambah” (Nahjul Balaghah, Hikmah ke-94)
Khair disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dengan
artian harta benda dan perhiasan duniawi:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]:
180)
“Apakah mereka
(orang-orang kafir) mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada
mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan
(duniawi) kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS.
Al-Mukminun [23]: 55 – 56)
“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena
cintanya kepada harta (dunia).” (QS. Al-‘Adiyat [100]: 8)
Bila harta dan anak
adalah khair (kebaikan) maka bagaimana dalam ucapan ini Imam Ali as
meniadakan kebaikan dari harta dan anak?
Jawabannya adalah
bahwa kebaikan terbagi dua: mutlak dan muqayad (terikat); kebaikan terkadang
digunakan pada “kebaikan mutlak”; yaitu suatu kebaikan yang tidak
mengandung keburukan sedikit pun, dan terkadang dipakai dalam “kebaikan muqayad”;
yaitu suatu kebaikan yang tidak baik untuk semua orang dan dalam segala
kondisi. Ucapan Imam Ali as dalam bentuk peniadaan secara umum, bukan
generalisasi peniadaan; artinya kebaikan murni adalah penambahan ilmu dan
pengetahuan, bukan penambahan harta dan anak.
Komentator Nahjul
Balaghah Bahrani ra dalam menjelaskan hikmah ini berkata:
“Khair (kebaikan)
dalam (pemahaman) masyarakat umum adalah penambahan harta dan
kemanisan-kemanisan duniawi, sementara dalam (pemahaman) para pesuluk kepada
Allah adalah kebahagiaan ukhrawi dan hal-hal yang menjadi perantara menuju ke
sana berupa kesempurnaan-kesempurnaan jiwa. Mungkin sebagian orang
menafsirkannya dengan hal yang lebih umum darinya. Imam Ali as menafikan hal
pertama sebagai kebaikan dengan alasan kefanaan, keterpisahan dan terkadang
disertai keburukan di akherat. Beliau as menginterpretasikannya dengan hal
kedua dan menganggapnya sebagai kesempurnaan potensi-potensi insaniah maka
banyaknya ilmu merupakan kesempurnaan potensi-potensi teoritis insaniah bagi
jiwa yang berakal” (Ibnu Maitsam Bahrani, Syarah Nahjul Balaghah, jilid 5, hal.
288)
Imam Kelima, Imam Muhammad
Baqir as juga pernah menukil dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Tiada
kebaikan selain dalam belajar dan mengajar.”
قال رسول الله صلی الله عليه و آله: العالم و المتعلم شريکان فی الاجر للعالم اجران و للمتعلم اجر و لا خير فی سوی ذلک
Nabi Muhammad saw
bersabda: “Orang yang alim dan yang menimba ilmu sama-sama memperoleh pahala,
dua pahala bagi orang alim sementara satu pahala untuk yang menimba ilmu dan
tiada kebaikan pada selainnya” (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 173)
Dalam Ghurar al-Hikam
dinukil dari Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib as bahwa:
العلم اصل کل خير
“Ilmu adalah dasar
(sumber) segala kebaikan.”
Kedudukan Ulama Di Sisi Anbiya
قال عليه السلام: ان اولی الناس بالأنبياء اعلمهم (اعملهم) بما جاؤوا به ثم تلا عليه السلام: إنّ اولی الناس بإبراهيم للذين اتبعوه و هذا النبی و الذين آمنوا
Amirul Mukminin Ali
Bin Abi Thalib As berkata: “Orang-orang yang paling terpaut pada para Nabi
adalah orang-orang yang lebih mengetahui apa yang telah dibawa para nabi.” Kemudian
Amirul Mukminin as membacakan, “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada
Ibrahim tentulah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad) dan
orang-orang yang beriman” (QS. Ali ‘Imran [3]: 68) (Nahjul Balaghah, Hikmah
ke-96)
Komentator Nahjul
Balaghah Bahrani ra dalam membuktikan hal ini berkata:
“Dan ketika target
para nabi as adalah menarik makhluk kepada Allah swt dengan mentaati-Nya maka
setiap orang yang semakin taat, akan semakin mendekati mereka (para nabi),
lebih dekat ke hati mereka dan semakin erat hubungan dengan mereka. Dan ketika
ketaatan mereka tidak terwujud kecuali dengan ilmu terhadap apa yang mereka
bawa maka manusia yang paling mengetahui (berilmu) terhadap hal itu adalah yang
lebih dekat dengan mereka dan lebih loyal terhadap para nabi. Argumennya adalah
ayat tersebut” (Syarah Nahjul Balaghah, jilid 5, hal. 289)
Nilai Ilmu
قال عليه السلام: لا شرف کالعلم
Imam Ali as berkata:
“Tiada kemulian seperti ilmu” (Nahjul Balaghah, Hikmah ke-113). Mengenai
kemuliaan dan nilai ilmu terdapat riwayat-riwawyat lain dari Amirul Mukminin as
pula:
قال عليه السلام: المودة اشبک الأنساب و العلم اشرف الأحساب
Imam Ali as berkata:
“Kecintaan adalah nasab (hubungan) yang paling erat sedangkan ilmu adalah
kebanggaan yang paling mulia” (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 183)
قال عليه السلام: يتفاضل الناس بالعلوم و العقول لا بالأموال و الأصول
Beliau as juga
berkata: “Manusia akan saling mengutamakan sesamanya dengan ilmu dan akal,
bukan dengan harta benda dan asal keturunan (nasab)” (Abdul Wahid bin Muhammad
Amadi, Ghurar al-Hikam)
قال عليه السلام: کفی بالعلم شرفا ان يدّعيه مَن لا يحسنه و يفرح اذا نُسب اليه و کفی بالجهل ذما يبرأ منه مَن هو فيه
Juga berkata:
“Cukuplah dengan ilmu sebagai kemuliaan, bila seseorang yang tidak memilikinya
mengklaimnya dan merasa senang bila (ilmu) disandarkan kepadanya, dan cukuplah
dengan kebodohan sebagai celaan, seorang yang tercakup di dalamnya (pun)
berlepas diri darinya” (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 185)
Hal ini tidak terbatas
pada ilmu dan kebodohan, akan tetapi hukum ini juga berlaku pada (sifat) berani
dan takut, derma dan kikir, adil dan fasiq dan seluruh sifat dan kriteria yang
berlawanan; artinya orang yang tidak memiliki ilmu, kedermawanan dan keadilan
meresa senang bila sifat-sifat tersebut dinisbatkan kepadanya dan menjadi tidak
suka bila kebodohan, kebakhilan dan kefasikan disandarkan kepadanya.
Meng-applause
sifat-sifat terpuji meskipun melalui mereka yang tidak memilikinya dan mencela
sifat-sifat moral yang tercela dan tidak layak terhadap orang-orang yang
memilikinya bersumber dari sebuah potensi yang dianugerahkan oleh Allah swt ke
dalam diri manusia: “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu” (QS. Ar-Rum [30]: 30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar