Label

Imam Ali Al-Murtada as


Oleh Sayyid Mahdi Ayatullahi

Kelahiran

Pada hari Jum’at, tanggal 13 Rajab, tepatnya 23 tahun sebelum hijrah, lahirlah dari keluarga  Abu Thalib seorang bayi mulia yang menyinari kota Makkah dan seantero dunia.  Ketika paman Nabi Saw yang bernama ‘Abbas bin Abu Tâlib sedang duduk santai bersama seorang lelaki yang bernama Qu’nab, datanglah Fâtimah binti Asad (Ibunda Imam Ali As) untuk melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah dan memanjatkan do’a ke hadirat Allah Swt.  Pandangan matanya tertuju ke langit sambil bermunajat kepada Allah Swt dengan penuh khusyu’.  Ia berkata dalam do’anya itu, “Wahai Tuhanku, ketahuilah sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu, yaitu para Rasul dan kitab-kitab yang dibawa oleh mereka.  Sesungguhnya aku membenarkan perkataan kakekku Ibrahim al-Khalil As, dialah yang membangun kembali Ka’bah yang mulia.  Maka dengan haq orang yang telah membangun Ka’bah ini  dan dengan haq janin yang ada dalam perutku ini, aku  memohon pada-Mu; mudahkanlah kelahirannya”.

Tidak lama setelah itu terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan, Allah Swt telah mengabulkan do’anya,saat itu tembok Ka’bah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa masuk ke dalamnya, setelah itu tertutup kembali.  Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan itu, membuat semua orang yang menyaksikannya merasa heran.  Abbas bin Abu Thalib yang juga turut menyaksikan kejadian tersebut langsung pulang ke rumahnya untuk mengabarkan kejadian tersebut kepada famili dan kerabatnya dan kembali lagi ke Ka’bah dengan beberapa orang wanita untuk menolong kelahirannya.  Namun mereka hanya mampu mengelilingi  Ka’bah itu tanpa bisa masuk ke dalamnya.  Seluruh penduduk kota Makkah tetap dalam kebingungan sambil menanti keluarnya Fatimah putri Asad  tersebut.

Setelah empat hari berselang, barulah beliau keluar dari dalam Ka’bah sambil menggendong putranya mulia yang baru saja lahir.  Orang-orang bertanya kepadanya tentang nama bayi mulia itu, Fâtimah menjawab: “Namanya adalah ‘Ali'”.

Imam ‘Ali As dididik dan dibesarkan di dalam rumah Nabi Saw semenjak beliau masih dalam susuan  Beliau pernah berkata dalam salah satu khutbahnya yang tercantum di dalam kitab Nahjul Balaghah: “Ketika aku masih kecil, beliau Saw meletakkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh kasih-sayang, menidurkanku di tempat tidurnya dan mengunyah makanan untuk disuapkan ke mulutku”.

Masa Kecil

Imam ‘Ali As, sejak masa kecilnya tidak pernah berpisah dengan pendidikan manusia agung Rasulullah Saw.  Beliau senantiasa menyertai Rasulullah Saw sebagaimana bayangan setia selalu mengikuti pemilik bayangan itu.  Imam ‘Ali As berkata tatkala mengenang masa kanak-kanaknya, “Aku senantiasa mengikuti Rasulullah Saw sebagaimana seorang anak yang masih menysusu selalu mengikuti ibunya.  Setiap hari Rasulullah Saw selalu meningkatkan akhlaknya dan memintaku untuk mengikutinya.  Setiap tahun aku selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira’, sementara tidak seorang pun mengetahui kepergian beliau.  Ketika itu dalam dunia Islam, tidak pernah terjadi di dalam satu rumah berkumpul selain Rasulullah Saw, Khadijah dan yang ketiga adalah aku sendiri.  Aku menyaksikan cahaya wahyu dan risalah Ilahi dan aku dapat mencium  semerbak kenabian dari rumah kudus itu”.

Ketika Allah Swt mengangkat Muhammad Saw sebagai seorang Rasul bagi seluruh umat manusia dan memerintahkan agar beliau berdakwah dan memberikan peringatan kepada keluarga dan familinya, Rasulullah Saw memerintahkan ‘Ali As agar membuat makanan untuk 40 orang laki-laki dan mengundang keluarga beliau. Di antara mereka adalah paman-paman beliau seperti Abu Tâlib, Hamzah, ‘Abbâs dan Abu Lahab.

Imam Ali As menceritakan peristiwa tersebut, beliau berkata, “Kemudian – ketika itu – beliau berpidato di hadapan mereka, beliau Saw berkata: “Wahai putra-putra Abdul Mutallib, demi Allah, sesungguhnya aku tidak pernah melihat di antara bangsa Arab ada seorang pemuda yang mendatangi kaumnya dengan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang telah aku bawa untuk kalian.  Sesungguhnya aku membawa untuk kalian kebaikan dunia dan akhirat.  Ketahuilah, bahwa  Allah Swt telah memerintahkan kepadaku agar mengajak kalian semua untuk meraih kebaikan tersebut. Siapakah di antara kalian yang siap membela dan menolongku dalam urusan ini dan untuk menjadi saudaraku, wasyi dan khalifahku atas kalian semua”?  Ketika itu semua yang hadir diam dan tidak seorang pun yang menjawab dan memenuhi panggilan beliau Saw.  Aku segera berkata, padahal usiaku saat itu paling muda di antara mereka, “Aku ya Rasullah, akulah yang akan menjadi pembela dan penolongmu”.  Saat itu juga Rasulullah Saw berkata, “Inilah ‘Ali sebagai saudaraku, wasyi dan khalifahku atas kalian semua, maka dengarkanlah dan taatilah dia”.

Masa Muda

Masa kanak-kanak beliau As telah berlalu dengan cepatnya.  Kini ‘Ali As telah menjadi seorang pemuda yang kuat dan gagah berani.  Sementara  ia masih terus mengikuti Rasulullah Saw kemana saja beliau pergi dan di mana saja beliau berada, bagaikan laron-laron yang selalu berterbangan di sekitar lilin.

‘Ali As adalah pemuda yang tampan, kuat dan gagah berani.  Kekuatan dan keberaniannya ia gunakan untuk berkhidmat dan berbakti kepada agama Allah dan Rasul-Nya.

Ketika kita membaca dan menengok sejarah Islam, kita saksikan bahwa  ‘Ali As senantiasa hadir dan ikut serta dalam setiap peperangan dan pertempuran.  ‘Ali As berperang dan menyerang musuh-musuhnya dengan penuh ksatria dan prawira pada barisan terdepan.

Pada peristiwa perang “Hunain”, di saat sebagian kaum Muslimin kabur meninggalkan Rasulullah Saw pada permulaan pertempuran, Imam Ali As tetap tegar dan gigih melakukan perlawanan dan penyerangan, sementara bendera Islam tetap berkibar di atas kepalanya sampai akhirnya tentara Islam dapat meraih kemenangan atas pasukan musyrikin.

Pada perang “Khaibar”, Imam ‘Ali As memimpin pasukan Muslimin untuk melakukan serangan yang dahsyat terhadap kaum Yahudi.  Padahal sebelumnya pasukan kaum Muslimin mengalami dua kali kegagalan. Penyerangan pertama dipimpin oleh Abu Bakar dan penyerangan kedua dipimpin oleh Umar bin Khattab, kedua-duanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Yahudi.  Penyerangan ketiga yang dipimpin oleh Imam ‘Ali As berhasil mendobrak benteng “Khaibar”.  Bahkan salah satu pintu benteng itu ia cabut dan angkat dengan tangannya sendiri.

Ketika kaum Yahudi menyaksikan kegagahan dan keberanian Imam ‘Ali As tersebut, mereka segera kabur tunggang-langgang karena ketakutan dan pada akhirnya mereka menyerah.

Tebusan Pertama

Setiap manusia yang berakal sehat selalu berusaha membela dirinya, karena ia mencintai kehidupan dan tidak menghendaki kematian.  Dalam kehidupan ini kita saksikan sedikit sekali orang-orang yang mau mengorbankan dirinya demi orang lain.

Ketika kita membaca sejarah Rasulullah Saw dan kisah hijrah beliau, kita akan merasa kagum dan penuh heran.  Kita saksikan bahwa betapa Imam ‘Ali As dengan penuh keberanian tidur di pembaringan Nabi Saw  sebagai tebusan jiwa Nabi Saw dari serangan musuh-musuh Islam yang ingin membunuhnya, padahal ketika itu ‘Ali As masih sangat muda.  Rencana pembunuhan atas diri Rasulullah Saw itu diawali dengan kumpulnya sekelompok kaum musyrikin di “Dar an-Nadwah”.  Di sanalah mereka membuat kesepakatan dan keputusan untuk menghabisi jiwa kudus Rasulullah Saw.  Cara dan taktik yang mereka pilih adalah dengan mengambil satu orang pemuda  dari setiap kabilah atau suku.  Mereka ditugaskan menyerbu rumah Rasulullah Saw pada tengah malam dan membunuh beliau Saw secara serentak beramai-ramai.

Wahyu Ilahi turun dari langit dan mengabarkan Rasulullah Saw akan tipu daya dan makar jahat orang-orang kafir Quraisy tersebut.  Mengetahui rencana jahat itu Imam ‘Ali As segera pergi menuju rumah Rasulullah Saw untuk bermalam di tempat tidur beliau.  Dengan izin Allah Swt  Rasulullah Saw berhasil keluar pada malam hari itu juga tanpa  mereka ketahui sedikit pun.  Mereka menduga bahwa Rasulullah Saw masih tetap berada di tempat tidurnya. Ketika mereka berhasil masuk  untuk  membunuh beliau Saw, ternyata yang mereka dapati adalah ‘Ali As. Mereka terkejut sekali menyaksikan ‘Ali As berada di tempat tidur Nabi Saw.  Dan mereka pun segera pergi meninggalkan rumah Nabi Saw tersebut dalam keadaan malu dan penuh kecewa.  Akhirnya Rasulullah Saw selamat berkat pengorbanan Ali As.

Di Jalan Allah

Islam adalah agama keselamatan dan kehidupan. Karenanya Islam menolak pembunuhan dan pertumpahan darah tanpa hak.  Semua peperangan dan pertempuran yang terjadi pada masa Rasulullah Saw adalah demi membela diri dan agama.  Rasulullah Saw senantiasa berusaha menghindari peperangan sebisa mungkin.   Akan tetapi ketika Islam terancam bahaya, maka kaum Muslimin pun melakukan pertahanan dan perlawanan dengan penuh kesatria demi mengangkat  “Kalimat Allah”.  Ketika kita mengkaji peperangan-peperangan  yang terjadi pada masa awal-awal Islam, sejarah mencatat dan menyaksikan, bahwa pedang ‘Ali As mempunyai andil yang sangat besar atas kejayaan Islam dan umatnya. Pedang ‘Ali As yang diberi nama “Dzul Fiqar” senantiasa berkilauan bagaikan kilat menyambar  dalam setiap peperangan tersebut.  “Ali As senantiasa bersama hak dan hak selalu bersama Ali As” demikianlah sabda Rasulullah Saw tentang Imam ‘Ali As.

Akhlak Ali As

Kufah adalah merupakan ibu kota pemerintahan Islam pada masa khilafah Imam ‘Ali  As.  Pada masa itu kota Kufah dijadikan sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.

Pada suatu hari terjadi pertemuan diluar kota Kufah antara kedua orang laki-laki. Salah satunya adalah Amirul Mu’minin As  dan yang lainnya adalah seorang laki-laki yang beragama Nasrani.  Laki-laki Nasrani ini sama sekali tidak mengenal Imam ‘Ali  As.  Terjadilah percakapan antara kedua orang itu sambil berjalan hingga keduanya tiba di satu persimpangan, jalan yang satu menuju kota Kufah dan jalan satunya lagi mengarah ke satu perkampungan.  Imam Ali As harus melanjutkan perjalanannya menuju kota Kufah, sementara laki-laki Nasrani itu ingin melanjutkan perjalanannya menuju ke kampungnya. Namun ketika laki-laki Nasrani itu mengambil jalan yang mengarah ke kampung halamannya,  Imam Ali As pun mengikuti langkahnya, padahal seharusnya beliau As mengambil jalan yang menuju ke arah kota kufah.  Laki-laki Nasrani itu terkejut dan berkata kepada beliau As, ”Bukankah Anda ingin kembali ke kota Kufah?”  Imam ‘Ali As menjawab: “Ya betul, akan tetapi aku ingin mengantarmu beberapa langkah demi memenuhi persahabatan dalam perjalanan, karena sesungguhnya teman seperjalanan itu mempunyai hak dan aku ingin memenuhi hakmu tersebut”.  Laki-laki Nasrani itu merasa  tertarik dan ia berkata dalam hatinya, “Betapa agung dan mulianya agama orang ini yang mengajarkan manusia akhlak yang mulia dan terpuji”.

Laki-laki Nashrani tersebut merasa terdorong untuk mengungkapkan keislamannya dan bergabung bersama kaum Muslimin. Lebih besar lagi kekaguman dan keterkejutannya ketika ia tahu bahwa sebenarnya teman perjalanannya itu tiada lain adalah Amirul Mu’minin ‘Ali bin Abi Tâlib As pemimpin negara Islam yang luas.

Keteguhan Ali As

Pada kondisi yang wajar dan normal, seseorang akan dapat mengatasi jiwa dan menentukan sikapnya yang sesuai dengan kondisi tersebut.  Akan tetapi pada kondisi dimana ia diterpa angin kencang kemarahan dan permusuhan, seseorang akan kehilangan keseimbangn dirinya hingga pada saat-saat seperti ini sulit sekali baginya untuk menguasai dirinya.

Lain halnya dengan putra Abi Tâlib As, ia tetap teguh dan tegar pada setiap keadaan dan kondisi.  Sikapnya sama sekali tidak terpengaruh dengan keadaan dirirnya, artinya sikap dan segala perbuatannya senantiasa terdapat rida  Allah Swt.  Tingkah lakunya di dalam rumah tangga, sikapnya dalam peperangan, pergaulan dan perlakuannya terhadap masyarakat   senantiasa tunduk di bawah syari’at dan undang-undang Islam.  Imam ‘Ali As telah mendidik dirinya sedemikian rupa sehingga ia menjadi teladan yang baik bagi setiap muslim yang beriman kepada Tuhannya.

Dalam perang “Khandaq”, ketika kaum musyrikin hendak menyerang kota Madinah, atas perintah Rasulullah Saw  kaum Muslimin menggali parit  untuk melindungi kota Madinah dari serangan musuh.  Situasi sangat genting dan membahayakan sekali bagi umat Islam, tetrlebih lagi ketika sebagian penunggang kuda kaum musyrikin berhasil  melompati parit tersebut.

Amr bin Abdi Wud, setelah berhasil melewati parit dengan kudanya yang besar dan gagah bersuara keras menantang kaum Muslimin untuk melakukan perang tanding dengannya.  Amr bin Abdi Wud bukanlah orang biasa , ia seorang prajurit yang gagah berani.  Ketika itu sebagian besar kaum Muslimin merasa ciut dan gentar hatinya untuk berhadapan dengannya, tanpa kecuali Abu Bakar, Umar dan Utsman.  Pada kesempatan inilah Imam ‘Ali As bangkit untuk  melakukan duel dengannya.  Beliau maju menuju ke arah musuh yang congkak itu dengan penuh keberanian tanpa sedikit pun ada rasa takut dalam hatinya.   Rasulullah Saw dengan tenang menyaksikan peristiwa itu dan bersabda, “Kini keimanan murni bangkit untuk menyerang kemusyrikan yang murni”.  Akan tetapi Amr berusaha menghindar diri untuk melakukan duel dengan Imam  ‘Ali As, ia berkata kepada Imam ‘Ali As, “Wahai ‘Ali kembalilah, aku tidak ingin membunuhmu”.  Imam ‘Ali As menjawab dengan penuh keimanan  yang tinggi: “Akan tetapi aku ingin membunuhmu”. 

Dengan seketika Amr bin Abdi Wud  naik  pitam dan marah, dengan cepat ia menghunuskan pedangnya dan melayangkannya ke arah Imam ‘Ali As. Akan tetapi Imam ‘Ali As dengan cepat dapat menghindar dari sabetan pedangnya itu.  Kedua perajurit itu saling menyerang  dan saling menangkis dan menghindar.  Imam ‘Ali As tidak memberikan kesempatan sedikit pun kepada lawannya  untuk menarik nafas, sampai pada suatu kesempatan yang tepat, Imam Ali As dapat melayangkan pedang “Dzul Fiqar” nya tepat mengenai sasaran yang membuat Amr jatuh tersungkur ke tanah.  Pemandangan dan peristiwa tersebut membuat kawan-kawan Amr ketakutan dan mundur teratur.  Namun ketika Imam Ali As hendak menghabisi nyawanya, musuhnya yang congkak itu,  meludahi wajahnya.  Sesaat Imam Ali  As merasa murka dengan perlakuannya seperti itu, akhirnya beliau As mengurungkan niatnya untuk membunuhnya sampai beliau As merasa tenang kembali agar sabetan pedangnya itu bukan sebagai balas dendam dan emosional, akan tetapi betul-betul karena Allah Swt dan demi membela Islam.

Imam Ali As adalah merupakan teladan yang tinggi bagi seluruh prajurit dalam semua peperangan dan pertempuran.  Sikap, perbuatan dan sepak terjang beliau As telah mengukir sejarah bangsa Arab dan Islam dengan baik.

Setelah Amr bin Abdi Wud  dapat dikalahkan, Imam ‘Ali As kembali membawa kemenangan kepada Rasulullah Saw.  Beliau menyambutnya degan penuh hangat, haru dan kebahagiaan.  Beliau berkata, “Tebasan pedang Ali atas Amr menandingi pahala ibadahnya seluruh tsaqalain”, artinya bahwa pukulan pedang Imam Ali As yang membinasakan nyawa Amr itu sama dengan ibadahnya seluruh jin dan manusia.

Pada saat terjadinya duel antara Imam Ali As dengan Amr bin Abdi Wud, kaum musyrikin senantiasa  mengamati dan memperhatikan peristiwa itu dengan penuh ketegangan.  Tatkala mereka menyaksikan prajuritnya itu jatuh tersungkur ke tanah, mereka pun mendengar  ‘Ali As  berteriak keras  “Allahu Akbar”, hati dan jiwa mereka pun menjadi lemah dan putus asa untuk melanjutkan peperangan.  Akhirnya mereka mengakhiri penyerangan dan pengepungan kota Madinah  dan kembali menarik diri dengan penuh kesedihan, kegagalan dan kekecewaan.

Imam Ali As dalam Perang Siffin

Kekesatriaan dan keprawiraan itu tidaklah ada artinya jika tidak diiringi dengan sifat belas dan kasih sayang.  Manusia yang berjiwa pahlawan dan pemberani senantiasa menjaga kehormatan dirinya.  Demikianlah Imam ‘Ali As, beliau tidak mau membunuh musuhnya yang telah terluka parah atau tercekik karena kehausan. Beliau juga tidak mau mengusir orang yang kalah.  Amirul Mu’minin As mempunyai rasa peri- kemanusiaan yang sangat tinggi sekalipun dalam peperangan. Beliau tidak pernah menggunakan lapar dan haus-dahaga sebagai senjatanya dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam, walaupun mereka sama sekali tidak memperhatikan masalah itu. Bahkan sebaliknya, musuh-musuh Islam berani menggunakan cara yang paling buruk sekali pun demi meraih kemenangan. 

Dalam perang siffin misalnya, pasukan Muawiyah berhasil menguasai Sungai Furat dan ia mengumumkan kepada segenap pasukannya agar mencegah prajurit Imam ‘Ali As untuk mendekati sungai tersebut.  Imam ‘Ali As mengingatkan mereka  bahwa ajaran Islam, kemanusiaan dan kekesatriaan sangat mengecam perlakuan semacam itu. Akan tetapi Muawiyah tidak mempedulikannya, karena yang ia fikirkan hanyalah keuntungan pribadi dan tujuannya yang rakus dan hina.  Pada saat itu Imam Ali As berkata kepada para prajuritnya dengan suara lantang, “Hilangkan dahaga pedang-pedang kalian dengan darah, demi menghilangkan rasa haus kalian dengan seteguk air, karena sesungguhnya kematian dalam kehidupan kalian akan dapat ditundukkan dan kehidupan dalam kematian kalian  akan dapat berjaya”.  Dengan serentak para prajurit Imam Ali As menyerang musuh-musuh Islam yang tengah menjaga Sungai Furat tersebut dan dengan mudah Sungai Furat itu dapat diambil alih oleh pasukan Imam As. Kemudian para prajurit Imam Ali As pun segera mengumumkan bahwa mereka akan mencegah pasukan Muawiyah untuk meneguk air sungai tersebut. Akan tetapi  Imam Ali As segera mengeluarkan perintahnya agar mengosongkan pinggiran sungai tersebut dan tidak menggunakan air sebagai senjata, karena yang demikian itu bertentangan dengan akhlak Islam Muhammadi.

Imamnya Para Fakir Miskin

Ketika Imam Ali As menduduki jabatan sebagai hakim dan khalifah bagi kaum Muslimin, berbagai tantangan, bencana dan kesedihan datang menimpa beliau As.  Walaupun demikian, beliau sendiri yang terjun langsung menangani masalah kemiskinan umat Islam dan rakyatnya.  Beliau  sama sekali tidak memiliki  dendam  pribadi kepada siapa pun, sehingga orang-orang yang sebelumnya memusuhi beliau dan menyimpan kedengkian dan kebencian yang mendalam sekalipun tetap dapat menerima bagian dari Baitul Mal.  Bahkan beliau tidak membeda-bedakan dalam membagikan harta Baitul Mal itu di antara para sahabat, kerabat, famili dan orang-orang yang dekat dengan beliau dengan yang lainnya.

Pada suatu hari seorang wanita yang bernama Saudah datang mengunjungi Imam As untuk mengadu kepada beliau tentang perlakuan buruk  yang dilakukan terhadapnya oleh seorang petugas penarik pajak.  Ketika itu beliau sedang melaksanakan salat. Ketika beliau mengetahui adanya bayangan seorang wanita yang datang menghampirinya beliau mempercepat salatnya tersebut.  Seusai salat beliau menoleh kepada wanita itu dan berkata kepadanya dengan penuh santun dan lembut, “Apa yang bisa saya lakukan untukmu?”.  Saudah menjawab sambil menangis, “Aku ingin megadukan  tentang keburukan petugasmu dalam mengambil pajak dariku”.  Mendengar hal itu Imam As terkejut dan menangis, kemudian megangkat kepalanya ke langit dan berkata, “Ya  Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menyuruh mereka untuk berbuat aniaya terhadap hamba-Mu”. Setelah itu beliau megambil sepotong kulit dan menuliskan  sebuah perintah untuk memecat petugas biadab tersebut dari pekerjaannya  dan surat tersebut beliau serahkan kepada Saudah.  Dengan gembira wanita itu menerimanya untuk selanjutnya ia sampaikan kepada yang bersangkutan.

Pada suatu hari Imam Ali As menerima laporan dari kota Basrah bahwa gubernur kota itu yang bernama Utsman bin Hanif  telah menghadiri  acara walimah dan pesta perkawinan undangan seorang kaya raya. Mendengar informasi tersebut Imam As segera mengirimkan sehelai surat untuknya.  Dalam surat itu Imam As menegur dan memberikan peringatan kepadanya tentang adanya sesuatu di balik undangan tersebut.  Karena sesungguhnya orang-orang kaya apabila mengadakan pesta perkawinan bukanlah sekedar menyajikan jamuan makanan semata.  Akan tetapi acara semacam itu mereka jadikan sebagai alat pelicin dan sogokan terhadap penguasa kota tersebut untuk dapat menembus dan melicinkan tujuan mereka.  Di dalam surat itu pula Imam As menyampaikan berbagai saran dan  nasihatnya yang perlu direnungkan dan dicamkan baik-baik.  Surat Imam As yang ditulis itu berisi sebagai berikut:

“Wahai Ibnu Hanif, telah sampai informasi kepadaku bahwa ada orang kaya raya yang mengundangmu untuk menghadiri acara walimah, lalu dengan segera dan senang hati engkau menyambut undangan tersebut dengan jamuan makanan yang berwarna warni.  Sungguh aku tidak mengira bahwa engkau  sudi menghadiri makanan seseorang yang hanya dihadiri oleh orang-orang kaya sedang orang-orang miskin tidak mereka hiraukan.  Ketahuilah sesungguhnya setiap pengikut  mempunyai imam yang harus ditaati dan diikuti petujuk cahaya ilmunya.  Ketahuilah sesungguhnya Imammu mencukupkan dirinya hanya dengan dua helai jubah yang kasar  dan makanannya hanya dengan dua buah roti kering”.

Salah seorang sahabat Imam As yang berrnama Ady bin Hatim Atta’i pernah ditanya orang tentang politik Amirul Mu’minin As, ia berkata, “Aku saksikan orang yang kuat di sisinya menjadi lemah karena haknya diambil dan orang yang lemah menjadi kuat disisinya karena hak-haknya terpenuhi”. Beliau pernah berkata, “Bagaimana mungkin aku ini sebagai seorang Imam jika aku sendiri tidak merasakan duka-nestapa mereka”. Pada suatu kesempatan beliau bertanya kepada Ibnu ‘Abbâs sambil menjahit sandalnya,  “Menurutmu berapa harga sandalku ini?”.  Setelah memandang dan mengamati beberapa saat, Ibnu ‘Abbâs berkata,  “Sangat murah, bahkan tidak ada harganya”.  Kemudian Imam ‘Ali As berkata, “Sesungguhnya sandal ini bagiku sangat tinggi nilainya dibandingkan sebuah kekuasaan dan jabatan sampai aku dapat menegakkan yang hak dan menghancurkan kebatilan”.

Menghapus  keistimewaan

Ketika Imam Ali As menduduki kursi khilafah, maka sejak hari pertama beliau mengumumkan sikap politiknya yang berlandaskan keadilan dan persamaan hak antara manusia, tidak ada perbedaan antara orang Arab dengan yang bukan Arab (‘ajam) selain taqwa, dan antara sadat dengan budak.  Sebagian orang mengecam jalan politik beliau tersebut dan memberikan usulan agar beliau kembali kepada cara-cara politik lama yang telah dijalankan oleh para khalifah sebelumnya.  Ketika itu Imam As menolak dengan jawaban, “Apakah kalian menyuruhku untuk meraih kemenangan dengan jalan kezaliman?”. Beliau melanjutkan, “Seandainya harta itu milikku, maka akan aku bagi rata kepada seluruh masyarakat , apalagi harta itu  adalah milik Allah Swt”.

Pada suatu hari saudara As yang bernama ‘Aqil datang kerumah  beliau.  Imam As menyambut gembira kedatangannya itu.  Ketika tiba waktu makan malam, ternyata ‘Aqil tidak melihat apa-apa di atas sufrah  (alas makanan) selain roti dan garam, ia terkejut dan berkata kepada Imam As, “Hanya inikah yang aku lihat?”.  Imam As menjawab, “Bukankah ini adalah nikmat Allah yang patut disyukuri?”.  Kedatangan ‘Aqil adalah untuk meminta bantuan kepada beliau demi menutupi hutangnya.  Imam As berkata, “Tunggu sebentar aku akan ambilkan harta milikku”.  ‘Aqil mulai merasa kesal dan berkata, “Bukankah Baitul Mal ada di tanganmu?  Kenapa engkau memberikanku dari harta milikmu sendiri?”.  Imam As berkata kepadanya, “Kalau kau mau ambillah pedangmu dan aku akan mengambil pedangku, lalu kita keluar bersama-sama menuju ke satu perkampungan yang terdapat para pedagang yang kaya- raya, kita masuki rumah salah seorang dari mereka dan kita ambil harta kekayaannya”.  ‘Aqil menolak dan berkata: “Memangnya aku datang untuk merampok!”.  Imam As menjawab, “Engkau mencuri harta kekayaan seorang dari mereka itu masih lebih baik daripada engkau mencuri harta milik semua kaum Muslimin”.

Demikianlah Imam ‘Ali As hidup pada masa kekuasaannya, beliau makan makanan fakir miskin dan hidup dengan penuh kesederhanaan.   Ketika orang-orang berkata kepada beliau,  “Muawiyah membagi-bagikan harta kekayaan kepada orang-orang  untuk menggalang pendukung.  Akan tetapi mengapa engkau tidak melakukan hal yang serupa?”.  Imam As menjawab, “Apakah kalian ini hendak menyuruhku untuk mencapai kemenangan dengan cara yang zalim?”.

Membela Wanita

Pada suatu hari di musim panas yang sangat menyengat, seorang wanita diusir dari rumah oleh suaminya. Wanita itu datang dan minta tolong kepada Imam ‘Ali As. Dengan segera Imam As keluar menuju rumah suami wanita yang malang tersebut.  Setibanya beliau di rumah itu, beliau mengetuk pintunya.  Seorang pemuda yang tidak mengenal Imam membuka pintu tersebut.  Ketika Imam mengecam perlakuan buruknya itu, pemuda tersebut berteriak dengan suara keras dengan penuh kemarahan, ia mengancam akan menyiksa isterinya itu lebih dahsyat lagi akibat ia mengadukan halnya kepada Imam.  Pada saat itu beberapa orang yang mengenal Imam melewati jalan di hadapan rumah tersebut, mereka mengucapkan salam kepada Imam As, “Salam sejahtera bagimu Wahai Amirul Mu’minin”.  Mendengar ucapan salam mereka kepada Imam, tahulah pemuda itu bahwa orang yang kini berada di hadapannya adalah Khalifah kaum Muslimin.  Pemuda terebut gemetar ketakutan, kemudian ia menundukkan diri dan segera mencium tangan Imam seraya memohon maaf dengan penuh ketakutan.  Pemuda itu berjanji kepada Imam untuk tidak mengulanginya lagi perbuatan buruknya tersebut.  Imam menasihati kedua suami- isteri tersebut dan memberikan bimbingan agar kehidupan rumah tangganya tentram dan hidup dengan penuh kedamaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar