Label

Memandang Arafah dari Teheran


oleh Berry C. Syamwil

PM Iran sebelum Revolusi Islam sukses digerakkan oleh Muslim Syi’ah di tahun 1979, yaitu Mohammed Mossaddegh, dibunuh oleh CIA Amerika karena menasionalisasi perusahaan minyak Amerika yang telah menguras kekayaan Iran. Setelah itu, Amerika menjadikan Shah Pahlevi sebagai ‘Kaisar’ Iran, mirip ketika Amerika menjadikan Soeharto sebagai presiden Indonesia setelah menggulingkan Bung Karno. Tetapi Iran bukan Indonesia. Sebab, Shah Pahlevi itu kemudian ditumbangkan spirit revolusi yang hidup di hati Muslim Syi’ah yang visioner dan menjadi para pewaris ‘Semangat Karbala Imam Hussain’.

TENT CITY PERSEPOLIS 1971, PUNCAK PENGHAMBAAN PERSIA KEPADA BARAT
Timbulnya dinasti Pahlevi (1925) karena rebutan minyak antara Rusia, Inggris (Anglo Iranian Oil Company) dan AS (Standard Oil Company).

Sejak tahun 1942, Imam Khomeini (40 tahun) telah merancang pemerintahan Islam yang bebas dari ketergantungan. PM Mohammad Mosaddegh melakukan nasionalisasi, didepak (di tahun 1953) oleh Amerika. Berdirilah SAVAK, Dinas Rahasia Iran yang dilatih oleh CIA (1957). Dengan program mirip “ABRI masuk desa” di Indonesia (yang juga dikreasi oleh Amerika), Shah Iran mencanangkan Revolusi Putih, yang malah menghancurkan ekonomi. Qum, kota pendidikan ulama, kubu oposisi paling keras, diserbu pasukan SAVAK. Demo-demo diredam, akhirnya Imam Khomeini diasingkan (1964-1979).

PESAN POLITIK SHAH IRAN DI RUANG BANQUET DI BAWAH TENDA PERSEPOLIS
Perang Arab-Israel 1967 melonjakkan harga minyak, Shah Iran malah optimis, Iran jadi salah satu dari lima negara terkuat. Persenjataan Iran merek Chieftan, Inggris, malah melampaui milik produsen.

INGGRIS “BIDAN” ZIONIST-ISRAEL DAN PESTA PERSEPOLIS
Indonesia kala itu masih sibuk masalah proklamasi 1945, PRRI/Permesta 1957, G-30-S/PKI 1965, Pemilu 1972. Maka Revolusi Islam Iran 1979, kejutan bagi kita.

SHAH IRAN, FARAH DIBA DAN ANAK-ANAK
Menutupi pemerintahan otokrasi represif, sebuah skenario disiapkan. Kuasa pers Barat tanpa saingan. Pernikahan politik Shah Iran – Putri Fawzia (’39-’48) putri Raja Mesir Fuad I, berhasil.

Kurun tahun 1950-an wanita sedunia terbuai oleh kisah cinta seribu satu malam. Untuk memperoleh putra, Shah Iran menikahi Soraya, putri Duta Besar Iran di Jerman, Khalil Esfandiary Bakhtiari dan Eva Furstin Karl, asal Rusia, warga Jerman.

Sebagaimana peran Shah Iran, nasib Soraya juga dikendalikan. Tujuh tahun menikah, ternyata Soraya mandul, lalu memilih bercerai (1958), karena tidak mau dimadu. Masuklah Farah Diba, si Cinderella. Terbawa-bawa isu poligami, karena Soraya Kristen, padahal syarat harus putra kandung yang jadi pewaris tahta, bukan ajaran Islam.

Imam Khomeini di kubu oposisi, justru sangat menentang sistem monarki yang selalu gagal dalam sejarah Islam. Teladan kepemimpinan Rasulullah saw tidak cocok untuk raja diraja turun-temurun (untuk monarkhi –bahwa monarkhi bukan ajaran Islam, semisal bahwa monarkhi Kerajaan Arab Saudi sudah pasti bukan ajaran Islam).

Farah Diba melahirkan empat putra-putri, dinobatkan gelar Shahbanu (istri kaisar), menambah kesedihan Soraya. Menikah di usia 17 tahun, bercerai di usia 24 tahun, sungguh tragis bagi si cantik ini. Maka pencitraannya mencukupi sebagai korban penguasa Muslim yang sengaja selalu disebut-sebut “Shah Mohammed”.

Soraya dijadikan model stereotip The Princess with Sad Eyes, The Princess wth Three Faces, ada filmnya, ada lagunya, ada biografi Palace of Solitude. Seorang penulis kondang Francoise Mallet Jorris merangkai puisi Je veux pleurer comme Soraya, yang digubahkan lagu oleh Marie Paul Belle “I want to cry like Soraya”.

Dengan Bijan Esfandiary, adik tunggal yang meninggal seminggu setelah Soraya (2001), Soraya terperangkap shopping, travelling Eropa-Amerika, mengoleksi mode, perhiasan, barang antik, tampil di pesta-pesta ningrat dan jetset di istana, hotel mewah, kapal pesiar dengan dana berlimpah. Ia tidak menikah lagi untuk mempertahankan status kompensasi perlindungan “cinta” Shah Iran itu, pergi kemana-mana dengan passport bermerek “Princess”.

Tetapi ia main film juga, malah tujuh tahun hidup serumah dengan sutradara Franco Indovina, yang tewas dalam kecelakaan pesawat (1972). Dibuai kisah cinta, informasi terputus dengan persoalan Iran yang tertumpuk dalam kesumat rakyat. Soraya meninggal dunia selagi sendiri di Paris (2001), dikuburkan di Munich oleh 2 orang Pahlevi dan 6 orang bangsawan Eropa. Di makamnya sempat tercoret: A miserable parasite. Didn’t work from the ages of 25 to 60″.

30 tahun Shah Iran mendominasi isi majalah wanita. Mamak, ibu teman-temanku, jutaan wanita di dunia, gemar mengkliping foto-foto kesedihan Soraya sambil menikmati fashion mewahnya. Yang plin-plan, ada. Mamak diam-diam mengkliping juga foto-foto biang tragedi hidup Soraya, yaitu sang pangeran cilik yang bermata besar dan beralis tebal, mirip adikku. Jadi tidak jelas, Mamak ini sebenarnya penggemar siapa.

“Tidak ada lagi cerita Soraya dan Farah Diba di Iran itu, Mak”, sindirku menggoda. Mamak sempat kursus British English di Kalsa, ditambah Bahasa Belanda sekolahannya, cukup modal untuk melahap gosip selebriti di jaman Pra Televisi. Papa “membajak” majalah kadaluarsa dari kantor: Saturday Evening POST, Life, Time, Newsweek, Libelle, Margriet dll.

Adikku sempat memahirkan gaya lukis Norman Rockwell dari setiap sampul majalah POST. Bila terpergok, aku pasti tahu mana Soraya, mana Farah Diba. Sayangnya, bahkan wanita tua-tua yang berbahasa Inggris tidak mau tahu : “Itu tak perlu dipergunjingkan”.

Dari demo-demo yang kuikuti (masih perang dengan Irak), tak terdengar yel-yel anti Saddam atau anti Shah Iran. Dulu, kami anak-anak SMP Medan, digiring meneriakkan yel-yel: “Ganyang Tengku, ganyang Tengku!” untuk T. Abdul Rahman, Perdana Menteri yang mendirikan Malaysia, “Ganyang Subandrio, Ganyang Aidit”, pada peristiwa G-30/S- PKI. “Makbar Amrika! Makbar Israel!” menggelegar dimana-mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar