Label

Muslim Syiah Menghidupkan Kembali Filsafat Islam




Russell menulis: “Bangsa Persia sejak dulu sangat religius dan menyukai pemikiran spekulatif. Sesudah mereka memeluk Islam dan menjatuhkan pilihan pada Syi’ah (dan bukan pada Sunni), mereka menjadikan ajaran Islam lebih menarik dan lebih filosofis”

“Dengan nalar filsafat-lah, umat Islam dituntut untuk tidak melakukan sikap-sikap apologetik dengan kepura-puraan ganda, yakni kebanggaan menyebutkan Islam sebagai agama yang rasional dan menghargai ilmu pengetahuan, namun di sisi lain sangat takut atau bahkan marah saat keyakinan agamanya yang doktriner bertentangan dengan hasil-hasil sains yang faktual. Dan sebagaimana dikemukakan Bertrand Russell (1999: 297) dalam ulasan sejarah filsafat yang ditulisnya, menyatakan bahwa penyumbang terbesar nalar filsafat dan saintis kaum muslim ini adalah Bangsa Persia.

Dan memang, telah menjadi Ittifaq para ahli bahwa filsafat dengan nalar burhani-nya merupakan salah satu warisan berharga nalar Islami, selain bayani (fiqih), dan irfani (tasauf).[1] Bagi Hasan Hanafi, contohnya, ini merupakan turats (peradaban) berharga yang sangat sukses mempertahankan eksistensi ajaran Islam, disamping Ilmu Kalam, Ushul Fiqh, dan Tasauf.[2] Lebih lanjut, menurut Hasan Hanafi, meskipun Ilmu Kalam mirip dengan filsafat dan merupakan tradisi berpikir warisan Islam yang agung, namun filsafat memiliki kelebihan sendiri, yang diantara kelebihan tersebut –dengan bahasa yang dipersingkat—adalah:

[1] Merubah teologi menjadi ontologi. Di sini filsafat tidak hanya berbicara tentang Tuhan semata, tetapi juga tentang wujud secara umum (kosmologis).

[2] Tidak membutuhkan metode nash yang dominan dalam  Ilmu kalam. Filsafat telah menancapkan rasionalisme Islam yang independen alias mandiri disamping Kalam yang menujudkan kebenarannya dari formulasi makna-makna wahyu. 

[3] Filsafat telah mengungkapkan dimensi misteri dalam nash agama, style-style imajiner dan bentuk-bentuk seni –yang kemudian melompat menuju meta-imajinasi yang membebaskan dirinya dari bentuk-bentuk seni dan menghancurkan keharfiahan makna. Melepaskan diri dari bahasa teologi yang tertutup dan tunduk pada rumus keagamaan, menuju jalan rasional, terbuka, dan humanis.

[4] Filsafat mampu menggabungkan teori-teori yang berserakan yang ditinggalkan Ilmu Kalam.

[5] Filsafat telah menghapuskan keterpecah-belahan firqah-firqah menjadi semangat yang tunggal dominan.

[6] Filsafat mencerminkan ufuk (cakrawala atau lanskap) yang lebih luas, lebih sempurna dan universal ketimbang Ilmu Kalam.

[7] Secara prinsipil, filsafat berlandaskan pada pembuktian dan membahas kepastian internal, rasional, dan natural, sementara Ilmu Kalam selalu bertumpu pada polemik dan jadaliyah (debat) yang lebih bertujuan membungkam lawan daripada mencari kebenaran.[3]

Dengan nalar filsafat inilah, umat Islam dituntut untuk tidak melakukan sikap-sikap apologetik dengan kepura-puraan ganda, yakni kebanggaan menyebutkan Islam sebagai agama yang rasional dan menghargai ilmu pengetahuan, namun di sisi lain sangat takut atau bahkan marah saat keyakinan agamanya yang doktriner bertentangan dengan hasil-hasil sains yang faktual.

Meskipun demikian, filsafat bukanlah alat untuk menjustifikasi kebenaran atau kesalahan agama, tetapi lebih sebagai alat bantu yang dipertimbangkan untuk dapat menafsirkan agama dengan benar, aktual, dan fungsional. Ini bukanlah usaha apologetis tetapi ijtihadis. Dengan cara ini, filsafat akan memberikan ketelitian manusia dalam berpikir, sehingga berimplikasi memperkuat keyakinan agama dan kebenaran ajaran yang dianutnya.

Salah satu yang menyebabkan tertancapnya akar keyakinan beragama secara kuat adalah paradigma dan ideologi yang dianut. Ideologi pada dasarnya merupakan tumpuan agama yang diperoleh dari pandangan dunia (al-ru’yah al-kauniyah alias world view) sebagai poros manusia dalam menafsirkan secara universal keberadaan hirarki wujud semesta. Al-ru’yah al-kauniyah ini sebagai hasil kajian dan penalaran yang memberikan kesimpulan tentang alam jagat-raya (makrokosmos), tentang manusia (mikrokosmos), masyarakat dan sejarahnya, yang diperoleh dari analisis filosofis yang matang dan berasaskan pada Epistemologi Islami.[4] Ciri-ciri Pandangan Dunia yang baik, sebagaimana yang dipaparkan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, adalah:

[1] Pandangan dunia yang berlandaskan pada berbagai argumentasi akal (logis dan rasional).

[2] Pandangan atau proses penafsirannya harus sesuai dengan fitrah penciptaan alam.

[3] Selain memiliki nilai, pandangan dunia tersebut juga mengobarkan semangat, harapan, serta rasa bertanggungjawab.[5]

Dengan demikian, jelaslah bahwa nalar filsafat membantu manusia membangun paradigma dan ideologinya. Paradigma adalah asumsi-asumsi filosofis yang mendasari suatu bidang peradaban seperti misalnya sains dan teknologi. Dalam sains, paradigma berarti asumsi-asumsi filosofis yang diyakini ilmuwan secara umum dalam usaha mengkaji sesuatu. Dan karena dikatakan sebagai asumsi-asumsi filosofis, maka ia mengandung asumsi metafisis, ontologis, epistemologis, aksiologis, visi, bahkan sistem nilai.

Dan sebagaimana kita tahu, paradigm ini menjadi populer ketika didengungkan oleh Thomas S. Kuhn pada tahun 1970 melalui karyanya yang cemerlang, The Structure of Scientific Revolutions. Dalam karyanya ini Kuhn telah mendeskripsikan berbagai makna paradigma. Yang menarik adalah temuannya yang mengemukakan bahwa analisis sains mendasarkan diri pada paradigma yang dianut seorang saintis, sehingga dapat terjadi perbedaan para saintis dalam kajian risetnya dikarenakan perbedaan paradigma yang dianut tersebut.[6]

Sementara itu, di jurusan lain, jika kita menelusuri ayat-ayat al-Quran suci yang tersurat, yang tersirat, maka, walaupun al-Quran bukanlah kitab filsafat yang diilhami melalui refleksi filosofis, namun tak mungkin pula kita pungkiri bahwa al-Quran memuat unsur-unsur yang filosofis, rasional, dan memancing nalar untuk melakukan fikr yang argumentative dan rasional.

Muslim Syiah 12 Imam dan Filsafat Islam

Adapun Syi’ah Isna ‘Asyariyah atau Muslim Syi’ah Imamiyah meyakini bahwa imam ada dua belas orang dan silsilah Imam tersebut berlanjut dari keturunan Imam Husain. Secara berurutan, Imam-Imam Syiah yang dua belas orang adalah, Ali bin Abi Thalib (23 SH-40 H/579-661 M), Hasan bin Ali (3-50 H/624-670 M), Husein bin Ali (4-61 H/625-680 M), Ali Zain al-Abidin bin Husein (38-95 H/658-713 M), Muhammad al-Baqir (57-114 H/676-732 M), Ja‘far as-Sadiq (83-148 H/702-765 M), Musa al-Kazim (128-183 H/745-799 M), Ali al-Rida (148-203 H/765-818 M), Muhammad al-Jawwad (195-220 H/811-835 M), Ali al-Hadi (212-254 H/828-868 M), Hasan al-Askari (232-260 H/846-873 M), dan Muhammad al-Mahdi al-Muntazar (lahir 255 H/869 M).

Dalam ibadah, Muslim Syi’ah meyakini kewajiban salat lima waktu, zakat, puasa ramadhan, dan naik haji ke Baitullah di Mekkah. Hanya saja ada kewajiban mengeluarkan khumus (seperlima bagian) bagi kelebihan harta kekayaan yang dimiliki oleh penganut Syi’ah. Jika terjadi perbedaan dalam cabang-cabangnya (furuiyyah), hal itu adalah keniscayaan yang berlaku dalam tradisi Islam itu sendiri. Dalam bidang hadis, pada dasarnya pandangan Syi’ah sama dengan Sunni, yaitu diambil dari kata-kata Rasulullah yang diucapkan untuk pengembangan dan penjelas dalam masalah agama dalam Islam. Hanya saja, bedanya, Syi’ah menganggap bahwa ajaran yang diterima dari Imam ma’shum (12 Imam pewaris dan penerus Imamah secara berkelajnutan) dianggap sunnah (12 Imam) pewaris Imamah.

Perhatikanlah ayat-ayat berikut ini: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergiliran malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berpikir. (Yaitu) orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya mereka berkata) : Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka. (Q.S. Ali Imran: 190-191)

“Seandainya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Q.S. al-Anbiya: 22); “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) kamu akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu” (Q.S. Fathir: 43); “Tuhan kami adalah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (Q.S. Thaha: 50)

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika filsafat dikatakan sebagai salah satu model al-Qur’an berdalil. Bahkan hal ini diperkuat, jika kita merujuk pada pembagian filsafat secara umum, yang dibagi pada dua yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat Teoritis adalah mengkaji sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan Filsafat Praktis berarti membahas bagaimana mestinya manusia bertindak, baik dalam poisisi individual maupun sosial.

Dengan makna ini, meskipun pada dasarnya filsafat ingin mendapatkan informasi seakurat mungkin tentang wujud, baik itu wajib al-wujud (Tuhan) sebagai sumber keberadaan, maupun mumkin al-wujud (wujud makhluk) sebagai efek keberadaan wajib al-wujud, akan tetapi titik terang pencarian informasi yang benar melalui refleksi filosofis dan bertindak yang benar sejauh amal praktis merupakan ciri khas filsafat dan filosof.

Internalisasi Filsafat Ke Dunia Islam

Meskipun di atas telah dijelaskan bahwa filsafat memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam itu sendiri, namun tidaklah dinafikan bahwa nalar filsafat lainnya (baca: Yunani) memberikan kontribusi besar pada bangunan filsafat Islam.[7] Merujuk pada sejarah umum perkembangan filsafat, maka Yunani pada abad-abad Sebelum Masehi, telah memiliki peradaban yang bagus dari wilayah-wilayah lainnya. Ia telah memiliki tradisi keilmuan yang matang, yang lebih dikenal dengan philoshopia (artinya: cinta kearifan), yang menjadi akar kata filsafat dalam tradisi Islam.

Masuknya filsafat Yunani ke dalam tradisi Islam diawali oleh penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh kaum muslimin ke wilayah-wilayah yang pernah menjadi bagian dari kekuasaan besar Yunani. Wilayah-wilayah tersebut telah memiliki peradaban dengan warisan keilmuan Yunani yang maju, sehingga pada saat ekspansi, kaum muslimin bersinggungan dengan tradisi keilmuan tersebut. Persinggungan ini menjadikan tantangan baru bagi kaum muslimin untuk menunjukkan citra agamanya yang positif dan menghargai secara mulia ilmu pengetahuan. Bahkan, tidak jarang doktrin-doktrin Islam yang sakral mendapatkan gugatan serius melalui nalar filsafat yang ada saat itu.

Karenanya, untuk kepentingan praktis dan pembelaan suci ini, umat Islam melakukan revolusi Tradisi Arab menuju Tradisi Islam.[8] Berkembang dan majunya filsafat dalam pangkuan Islam melalui beberapa cara, yaitu: [1] Mengumpulkan dan menerjemahkan berbagai literatur ilmu, [2] Mengomentari karya-karya filosof sebelumnya, dan [3] Menulis buku-buku filsafat. Dengan ketiga usaha ini, filsafat Islam membentuk jati dirinya sedemikian rupa dengan ciri khas yang independen, bahkan menjadi mercusuar yang menerangi peradaban dunia.

Sebagian orang menganggap bahwa filsafat Islam merupakan duplikat filsafat Yunani dan hanya menjadi jembatan transfer bagi dunia modern. Untuk itu, analisis Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari pantas diperhatikan sebagai tanggapan serius terhadap anggapan ini. Bagi Muthahhari, filsafat Islam secara tematik dapat dikategorikan pada empat kategori, yaitu:

Isu-isu yang tetap mempertahankan bentuk dan karakter aslinya serta belum pernah mengalami perubahan atau perkembangan. Contohnya, tema-tema logika (mantiq), tentang sepuluh kategori, empat sebab, klassifikasi ilmu, dan pembagian serta jumlah fakultas jiwa. Isu-isu yang dikembangkan lebih jauh oleh para filosof Islam. Proses pengembangan ini dilakukan dengan memberikan fondasi yang lebih kukuh, basis lebih mendalam dan baik, bentuk argumen berubah atau bertambah. Contohnya: tentang kemustahilan ihwal kemunduran tak terbatas, non-materialitas jiwa, bukti bagi eksistensi Wujud Mutlak, kesatuan Wujud Mutlak, satu hanya menimbulkan satu (al-wahid la yasduru minhu illa wahid), kesatuan subjek dan objek ilmu (ittihad al-aqil wa al-ma’qul), dan hakikat substansial bentuk-bentuk spesifik (al-shuwar al-nau’iyyah). Problem-problem yang masih memiliki nama dan deskripsinya saja, tetapi isinya telah mengalami perubahan menyeluruh. Contohnya: ide-ide platonik (mutsul aflathuni). Problem-problem baru yang tidak mempunyai preseden dalam era pra-Islam dan hanya dilontarkan oleh para filosof Muslim dan ada dalam filsafat Islam. Contohnya: kehakikian eksistensi (ashalat al-wujud); eksistensi mental (al-wujud al-dzihni); hukum-hukum non eksistensi; kemustahilan kembali dari apa yang sudah tidak ada; problem ‘menjadikan’ (ja’l); kriteria kebutuhan sesuatu akan sebab; konsepsi-konsepsi yang berbeda (I’tibarat) ihwal kuiditas; konsep sekunder (al-ma’qulat al-tsanawiyah) dalam filsafat; jenis-jenis baharu dan kekal (huduts dan qadim); berbagai jenis kemestian, kemustahilan dan kemungkinan; gerak substansial (al-harakah al-jauhariyah); immaterialitas jiwa binatang; immaterialitas barzakhi jiwa manusia disamping immaterialitas intelektualnya (tajarrud al-aqli); prinsip realitas sederhana; kebangkitan jasmani di alam barzakh; waktu sebagai dimensi keempat; dan sifat sederhananya ilmu Ilahi meski karakternya terperinci.[9]

Aliran-Aliran Dalam Filsafat Islam

Secara umum dapat dikatakan bahwa aliran-aliran filsafat Islam mengambil empat bentuk formula yaitu : [1] Hikmah Masyya’iyyah (Parepatetisme); [2] Hikmah Israqiyyah (Illuminisme); [3] Hikmah Irfani (Gnosis); [4] Hikmah Muta’aliyah (Teosofi transenden). Di bawah ini akan diuraikan secara sederhana pandangan-pandangan berbagai aliran tersebut.[10]

Hikmah Masyya’iyyah (Parepatetik)

Filsafat Parepatetik (masyya’iyyah) ditahbiskan sebagai aliran pertama dalam filsafat Islam. Aliran ini berporos pada argumentasi rasionalisme (burhani) dalam mengukuhkan pandangan-pandangannya. Parepatetik, dalam tarikh filsafat Islam, di mulai oleh al-Kindi, kemudian di kerjakan oleh al-Farabi (257-339 H/870-950 M), yang akhirnya mendapatkan kematangan di tangan cerdas Ibnu Sina (337-429 H/980-1037 M) yang mendapat gelar Syaikh al-Rais (pemimpin para syaikh). Pandangan-pandangan aliran ini yang menonjol diantaranya adalah:

[1] Realitas yang hakiki dan sejati adalah wujud (ashalat al-wujud). [2] Gerak terjadi pada empat aksiden (kuantitas, kualitas, tempat, posisi) dan tidak terjadi gerak pada substansi. [3] Dalam pengetahuan setiap subjek juga merupakan objek (kullu aqil fa huwa ma’qul). [4] Pembagian akal menjadi akal hayulani, akal bi al-malakat, akal bi al-fi’li, dan akal al-mustafad. [5] Pembagian wujud kepada wajib dan mungkin (wajib al-wujud dan mumkin al-wujud).

Hikmah Israqiyyah (Iluminasi)

Syihabuddin Yahya Ibn Habasyi Ibn Amirak al-Suhrawardi (549-587 H/1154-1191 M) merupakan pendiri dari aliran israqiyyah. Beliau di panggil dengan sebutan Syeikh al-Isyraq dan juga al-Maqtul.[11] Aliran ini cenderung bersifat intuitif (mistisisme) sebagai bandingan bagi aliran parepatetik yang memiliki kecenderungan rasionalisme. Diantara pendapat-pendapatnya yang terkenal adalah:  [1] Realitas yang hakiki dan sejati adalah esensi (ashalat al-mahiyyah). [2] Cahaya adalah bertingkat dan perbedaan tingkat cahaya maujud-maujud abstrak adalah tingkat kesempurnaan dan kekurangannya (kamal wa naqsh). [3] Gerak hanya terjadi pada aksiden tidak pada substansi. [4] Pembagian ilmu menjadi ilmu hudhuri dan ilmu hushuli. [5] Ilmu adalah cahaya sedangkan kebodohan adalah maujud dhulmani (kegelapan).[12]

Hikmah Irfani (Gnosis)

Satu lagi aliran yang memiliki kecenderungan mistisisme adalah irfani (gnosis) yang digaungkan oleh Ibn Arabi (1165-1240 M) dari Andalus yang mendapat gelar Syeikh al-Akbar. Pandangan-pandangannya yang mengguncang dunia diantaranya adalah: Kesatuan wujud yang menegaskan bahwa realitas yang ada sebenarnya adalah Allah, sedangkan yang lainnya adalah semu atau metaforis (wahdat al-wujud wa al-maujud).

Ada tiga jenis kategori keberadaan (ontologis) yaitu: [1] Sesuatu yang ada dan mewujud dengan sendirinya (Allah). [2] Sesuatu yang mewujud dengan Tuhan disebut al-wujud al-muqayyad (wujud terbatas). [3] Sesuatu yang tidak bersifat wujud dan juga tidak bersifat ‘adam (tidak ada) tidak bersifat huduts dan tidak pula qidam. Secara ontologis ia adalah Tuhan dan alam, namun pada saat yang sama dia bukan Tuhan dan alam. Ibnu Arabi menyebutnya haqiqah al-haqaiq (realitas dari semua realitas) atau al-maddah al-ula (materi pertama). Dari pandangan ontologis tersebut di atas dikembangkanlah teori tentang entitas-entitas tetap (a’yan al-tsabitah). Proses eksistensiasi (ijad) kosmos dengan Wujud Abadi (wujud al-qidam) terjadi melalui properti (ahkam), relasi (nisab), dan atribusi (idhafah), bukan melalui eksistensi entitas (wujud al-‘ayn).[13]

Hikmah Muta’aliyah (Teosofi Transenden)

Aliran terakhir ini dianggap sebagai aliran yang murni dan puncaknya filsafat Islam. Hal ini dikarenakan elaborasi dan sintesa yang akurat dan cermat dari sang pendirinya, Mulla Shadra, terhadap berbagai aliran pemikiran mulai dari parepatetik, illuminatif, gnosis, bahkan kalam. Menariknya, hasil elaborasi itu menghasilkan karya orisinilitas Islam karena dipadukan juga dengan teks-teks wahyu melalui al-Quran dan hadits serta perkataan Imam-imam Syi’ah sebagai mazhab yang dianutnya. Aliran ini memiliki pandangan-pandangan inti yang diantaranya adalah:

Kehakikian eksistensi dan kerelatifan esensi (ashalah al-wujud wa I’tibariat al-mahiyyah) yaitu bahwa realitas yang sebenarnya ada adalah wujud, sedangkan esensi (mahiyah) merupakan penampakan (I’tibari). Kesatuan wujud dalam penampakan yang beragam (wahdat al-wujud fi ‘ain al-katsrah). Gradasi eksistensi (tasykik al-wujud) yaitu pandangan bahwa wujud adalah satu yang bertingkat, dimana perbedaan dan persamaan antara wujud yang satu dengan wujud yang lainnya adalah wujud itu sendiri. Gerakan terjadi pada aksiden dan juga pada substansi (al-harakah al-jauhariyah). Ittihad al-aqil wa al-ma’qul yaitu satunya subjek dan objek ilmu pada saat terjadinya pengetahuan.

Stagnasi Filsafat Di Dunia Islam

Meskipun tidak pernah putus, namun setidaknya pengkajian filsafat pernah mengalami masa suram dan stagnan di beberapa wilayah Islam termasuk Indonesia. Hal ini, dikarenakan:

Masih adanya kesan negatif pada filsafat yang dilontarkan oleh para ulama sehingga menjadi salah paham, dicurigai, dan dibenci. Filsafat menjadi momok dan terkesan elit untuk mempelajarinya. Wajah filosof lebih digambarkan sebagai orang yang berkepala botak dengan kening berkerut dan wajah yang masam cemberut. Pengajaran filsafat dilakukan dengan pendekatan dan metode yang kaku, tidak menarik dan rumit. Tidak ada dukungan penuh dari lembaga atau tokoh yang berkompeten. Berkembangnya ilmu empiris yang membawa dampak pada perkembangan tekhnologi dan sikap pragmatis.

Lemahnya perkembangan filsafat di dunia Islam, berakibat kebekuan dan stagnasi pemikiran Islam serta gersangnya interpretasi doktrin agama dalam usaha mengukuhkan keyakinan agama. Oleh karenanya, ‘mati suri intelektual’ ini mesti diobati dengan sungguh-sungguh dalam agenda yang disebut sebagai proyek “Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Filsafat (Ihya ulum al-falasifah).”[14]

Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Filsafat

Meskipun dilanda kemunduran dan kini mulai bergerak mengejar ketertinggalannya, namun sepanjang sejarahnya, Islam telah menjadi bagian terbesar peyumbang kontribusi peradaban dunia. Tak mungkin terlupakan bahwa Islam pernah menjadi mercusuar bahtera manusia dalam mengarungi kehidupan di semesta raya ini dengan warisan ilmu pengetahuan yang sangat berharga. Mata air pengetahuan ini hingga kini masih terus diwarisi oleh generasi ke generasi berikutnya. Diantara sekian pengetahuan itu, patut pula dibanggakan filsafat sebagai satu fondasi intelektual Islam yang memberikan kedalaman makna dibalik pesan-pesan ketuhanan yang tekstual.

Dalam tarikh Islam, filsafat menjadi jembatan emas bagi aql (rasio) dan naql (wahyu). Banyak filosof menghabiskan lembaran-lembaran kitabnya untuk menunjukkan keselarasan antara pesan-pesan langit (wahyu) dengan perolehan-perolehan dari bumi (pikiran manusia). Meskipun api filsafat Islam itu tak pernah padam, namun terpaan badai terkadang meredupkan cahayanya.[15]

Dengan harapan yang besar itu, penulis melakukan usaha kecil untuk menyumbang secuil pemikiran dalam usaha mengembalikan mahkota filsafat pada singgasananya semula. Berikut ini beberapa tawaran penulis yang bisa dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang secara bertahap untuk menciptakan sebuah “Laboratorium Filsafat”, yaitu:

Memperkaya khazanah literatur filsafat. Untuk ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan: Mengumpulkan literatur-literatur filsafat dari berbagai bahasa yang bisa diperoleh dan diakses baik literature tersebut milik sebuah lembaga maupun koleksi pribadi. Literatur tersebut merupakan karya klasik maupun modern. Membentuk tim penerjemah karya-karya filsafat ke dalam bahasa Indonesia dengan akurat. Memberikan komentar yang memadai atas karya-karaya filsafat tersebut untuk mudah dipahami bagi peminat-peminatnya.

Menulis buku-buku daras filsafat yang bersifat sederhana untuk pemula. Menggalakkan pengkajian filsafat. Hal ini dapat dilakukan dengan beragam cara, diantaranya: Mengadakan paket-paket training filsafat. Membuat jurnal filsafat. Mengundang para pakar filsafat untuk memberikan masukan-masukan dan analisis filosofis. Kerjasama dengan lembaga-lembaga yang konsen terhadap kajian filsafat. Menyusun kurikulum filsafat yang komprehensif dalam setiap jenjangnya.

Penutup

Sebuah keharusan yang menjadi kerja keras kita adalah mengembalikan filsafat sebagai nalar Islami yang mengalirkan ruh kehidupan diseluruh unsur pengetahuan dan tafsiran ajaran Islam, yang mulai gersang dari percikan mata air kudus rasionalitas. Semoga!

Catatan:

[1] Tentang trilogi nalar islami ini lihat pembahasan komprehensifnya pada karya Muhammad Abid al-Jabiri. Bunyah al-Aql al- Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al- Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah. (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990).
[2] Lihat, Hasan Hanafi. Turas dan Tajdid. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001), h. 225-234.
[3] Hasan Hanafi. Turas, h. 229-231.
[4] Lihat Murtadha Muthahhari. Mengenal Epistemologi. (Jakarta: Lentera, 2001), h. 18.
[5] Muhsin Qiraati. Membangun Agama. (Bogor: Cahaya, 2004), h. 4.
[6] Thomas Khun. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. (Bandung: Rosda, 1989), h. 108-109.
[7] Penamaan filsafat Islam merujuk pada makna kerangka perkembangan filsafat di dalam sejarah Islam. Artinya, hal ini bukan saja alasan geografis atau tokoh tetapi juga alasan substansial bahwa filsafat memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam itu sendiri.
[8] Secara historis, Jazirah Arab dengan penduduk aslinya dapat dikatakan nyaris tidak memiliki warisan peradaban yang bisa dibanggakan. Namun, setelah Islam datang dengan risalah yang di bawa Nabi Muhammad saww (salallahu ‘alaihi wa alihi wasallam) telah menjadi inspirasi besar yang dapat bersaing bahkan mengungguli peradaban-peradaban yang pernah muncul sebelumnya dalam pentas dunia.
[9] Lihat Murtadha Mutahhari. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra. (Bandung: Mizan, 2002), h. 63-72.
[10] Untuk memahami lebih jauh sejarah tumbuh dan berkembangnya filsafat Islam serta pandangan-pandangan umum aliran-aliran ini dapat dirujuk secara umum dalam M.M. Syarif (ed), A History of Muslim Philosophy vol. II (Delhi India: Low Price Publications, 1961); Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 1983); T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam (New York: Islamic Philosophy Online). Dalam bahasa Indonesia sendiri telah diterjemahkan Karya Oliever Leaman dengan Syed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam dalam tiga jilid (Bandung: Mizan, 2003)
[11] Al-maqtul berarti terbunuh, karena ia setelah dipenjara di Aleppo atas perintah Malik (putra Salahuddin al-Ayyubi) akhirnya dihukum mati pada tahun 1191 dalam usia 38 tahun.
[12] Lihat Suhrawardi, Hikmah al-Isyraq. (Yogyakarta: Islamika, 2003); Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan. (Bandung: Mizan, 2003)
[13] Untuk lebih mengenal Ibnu Arabi lihat Kausar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan. (Jakarta: Paramadina: 1995); A.E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi. (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1995).
[14] Sudah popular diantara kita, salah satu cendekiawan dunia Islam yang gigih melakukan rekonstruksi ilmu-ilmu keislaman adalah Hasan Hanafi. Setidaknya ia telah menulis tujuh agenda rekonstruksi ilmu yang salah satunya adalah filsafat dengan judul Min al-Naql ila al-Ibda : Muhawala li I’ada Bina’ Ulum al-Hikma (Dari Terjemahan Menuju Kreasi: Upaya Rekonstruksi Ilmu-Ilmu Hikmah). Kemudian di Iran salah seorang filosof kontemporer yang banyak menulis dan melakukan rekonstruksi filsafat Islam adalah Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi dengan salah satu karya pentingnya Al-Manhaj al-Jadid fi Ta’lim al-Falsafah yang berisi 70 kuliah filsafat di Qum.
[15] Telah menjadi anggapan umum bahwa filsafat pernah mengalami masa suram di beberapa wilayah Islam karena adanya kemenangan kelompok tertentu yang didukung kekuasaan melanggengkan pelarangan terhadap kajian-kajian filosofis. Namun, disadari pula, nalar filsafat itu tidak pernah padam dari sejak al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, hingga puncaknya Mulla Shadra, bahkan Allamah Thabathabai dan Murtadha Muthahhari di abad ini menjadi bagian dari ikon filsafat Islam kontemporer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar