Oleh Sulaiman Djaya (Penyair)
Berdasarkan
riwayat keluarga, aku lahir menjelang fajar. Suatu ketika, saat aku sendirian
menjelang siang, aku merangkak sampai di tengah jalan di depan rumah. Padahal
di tepi jalan itu ada saluran irigasi yang cukup lebar dan dalam, yang
barangkali saja aku dapat saja tercebur jika tak diketahui oleh orang kampung
yang lewat dan segera mengangkatku dan menggendongku –demikian menurut cerita
beberapa orang di kampung kepadaku ketika aku telah dewasa.
Aku
terlahir dari keluarga miskin dan rumahku berada sendirian di tepi jalan dan
sungai, tidak seperti orang-orang kampung lainnya. Mayoritas keluarga dari
pihak ibuku tidak merestui pernikahan orang tua kami, dan karenanya aku selalu
dikucilkan oleh mereka dalam hal-hal urusan keluarga kakekku dari pihak ibuku.
Meskipun
demikian, orang-orang di kampungku, terutama kaum perempuan dan ibu-ibu, sangat
menghormati ibuku dan aku. Kakek dari pihak ibuku mirip orang Arab dan
berhidung mancung, dan tipikal fisik kakek dari pihak ibuku itu menurun (diwariskan)
kepada anak-anak pamanku (adik ibuku) yang semuanya berhidung mancung –hingga
sepupu-sepupuku (anak-anak paman, adik ibuku) mirip orang-orang Iran dan Arab.
Dan
memang, semua orang di kampungku mengatakan bahwa pamanku (adik ibuku) adalah
lelaki paling ganteng di kampungku, hingga banyak perempuan yang suka
kepadanya. Hanya saja, Tuhan menjodohkannya dengan perempuan Betawi.
Nama
kakekku dari pihak ibuku adalah Haji Ali, orang yang pendiam dan sangat tekun
bekerja sebagai petani dan perajin perabot rumah-tangga dari bambu dan
pohon-pohon pandan. Seringkali, bila ibuku menyuruhku untuk meminjam beras
kepadanya, ia sedang menganyam bakul dan tampah dari bilah-bilah pohon-pohon
bambu, dan hanya berhenti bekerja bila waktu sholat saja. Sesekali aku harus
menunggunya pulang dari sawah, dan pada saat itu aku diajak ngobrol oleh nenek
tiriku (yang kurang kusukai). Maklum, nenekku sudah meninggal ketika aku lahir.
Berkat
kekayaan kakekku dari pihak ibuku itulah, pamanku (adik ibuku) bisa menempuh
pendidikan di perguruan tinggi swasta di Jakarta hingga menjadi sarjana strata
satu, hingga ia menjadi satu-satunya orang di kampungku yang kuliah, dan
kakekku tentu saja satu-satunya orang di kampungku yang bisa meng-kuliahkan
anaknya di perguruan tinggi.
Namun
demikian, meski kakekku orang kaya, keluargaku hidup dalam kemiskinan dan
keterbatasan karena keluargaku tidak mau mengandalkan kekayaan kakekku.
Menurutku hal itu terjadi karena keluarga kami “disisihkan” oleh keluarga besar
kami karena mereka tidak menyetujui pernikahan orang tua kami. Dan karena itu
ibuku harus bekerja keras menjadi petani dan menanam apa saja yang dapat dijual
dan menghasilkan uang, seperti menanam sayur-sayuran, kacang dan rosella. (Bersambung)