oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam acara NU dan
beberapa pesantren di Kalimantan Selatan, serta orasi budaya dalam Konferensi
Besar Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Samarinda, penulis melihat
sebuah phenomenon yang sangat menarik. Di tiap tempat, penulis selalu
disuguhi pagelaran qasidah shalawat badr, bahkan di daerah lain terjadi
orang-orang non-muslim membawakannya. Ini berarti, bahwa sajak Arab ciptaan KH.
Ali Mansyur dari Tuban, di Banyuwangi tahun 1962 itu, telah menjadi hasanah
budaya, minimal budaya NU. Terlepas dari penyerahan bintang NU kepada keluarga
almarhum pencipta sajak tersebut di Muktamar Krapyak, Yogyakarta, tahun 1989
itu, fakta penyebaran sajak yang ditembangkan dalam birama (bahr)
tradisional tersebut, tampak jelas ia telah dianggap sebagai phenomenon budaya
tersendiri tanpa disadari.
Hal ini menunjukkan
eratnya hubungan antara budaya dan agama. Sama eratnya dengan penyampaian
lagu-puja dalam qasidah dziba’iyah yang dibawakan jutaan orang anak-anak muda
NU, setiap minggu, jelas menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam di negeri ini
antara lain dilakukan dengan penyampaian budaya. Artinya, penyebaran Islam
itu dilakukan secara damai, tidak melalui jalan peperangan. Memang harus
diakui, kekuatan yang dimiliki kaum muslimin, melalui kekuasaan atau tidak,
telah turut mendukung penyebaran agama secara damai itu.
Namun, tidak selamanya
penyebaran agama secara damai itu terkait dengan kekuasaan, seperti terlihat
pada berbagai aktifitas yang dulu menyertai aliran Syi’ah di negeri kita,
beberapa abad yang lalu. Secara budaya, apa yang tadinya dianggap sebagai
tindakan penyebaran agama, sekarang diterima sebagai adat di berbagai
daerah. Perayaan Tabot, umpamanya, dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh,
di Bengkulu. Adat yang satu ini, menampilkan diusungnya Tabot/peti mati/
keranda cucu Nabi Saw, Sayyidina Hasan dan Husein, yang justru menjadi
tanda bagi kesetiaan orang pada ajaran ahl-al bait (keluarga beliau) yang
menjadi titik sentral ajaran Syi’ah itu. Bahwa ia telah menjadi manifestasi
budaya, menunjukkan arti kesejarahan yang sangat penting.
Hal yang sama juga kita temui dalam penggunaan nama-nama di lingkungan
DPR/MPR-RI kita. gedung yang megah itu diharuskan menggunakan nama-nama dalam
bahasa Sangsekerta, seperti Graha Nusantara dan sebagainya. Sedangkan
DPR/MPR-RI sendiri, sebagai produk Undang-Undang Dasar (UUD), lebih
mencerminkan dialog antara para pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, yang
menggunakan pengaruh bahasa Arab. Lihatlah kata-kata yang dipakai, seperti
Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga-tiganya, sebelum mengalami konjugasi dalam
bahasa kita, adalah kata-kata dalam bahasa Arab; baik kata dewan, wakil maupun
rakyat, berasal dari Timur Tengah. Begitu juga kata pemilihan umum, dengan kata
“umum” digunakan untuk hal-hal yang menyangkut publik, jelas berasal dari “sono”.
Namun, perkembangan bahasa
yang semula diambil dari kata-kata Arab dan kemudian dilanjutkan dengan
kata-kata Sangsekerta, merupakan adaptasi yang dimiliki oleh bangsa kita. Kalau
itu kita kaitkan dengan perkembangan di bidang-biidang lain, akan lebih besar
kemelut pengertian yang diakibatkan oleh pemakaian sehari-hari. Ambil saja
kata hukum, yang berasal dari kata al-hukm dalam bahasa Arab. Kata ini
semula digunakan untuk menunjuk hukum agama Islam (fiqh), namun karena
perluasan pemakaiannya yang meliputi penggunaan produk-produk yang
digunakannya, akhirnya kata yang berasal-usul Arab itu meliputi makna
baru, yang memiliki arti lain seperti disebutkan di atas. Al-Hukm yang
semula berarti aturan dan undang-undang agama (canonical law), berkembang menjadi
hukum –yang berarti undang-undang negara.
Perubahan pengertian ini,
disebabkan sebagian oleh perubahan arti kata law/recht, yang diambilkan dari
bahasa-bahasa Eropa modern. Belum lagi kalau diingat adanya bahasa-semu (meta
language) dalam bahasa nasional kita, seperti disinyalir oleh Dr.
Toety Herati Nurhadi: diamankan berarti ditangkap, harga disesuaikan
berarti dinaikkan dan sebagainya. Akibat dari penggunaan bahasa semu ini, masyarakat
sempat terkotak-kotak dan timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat
dari isolasi tersebut adalah munculnya jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture
of violence) yang terjadi --terutama dalam bentuk munculnya penggunaan preman
dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
Jelaslah dengan demikian, hal pertama yang harus dilakukan adalah pembakuan
arti yang kita gunakan sehari-hari. Tanpa pembakuan ini, kita akan tetap rancu
dalam pemikiran dan kacau dalam pengertian. Akibatnya, kita sebagai bangsa
tidak tahu kemana orientasi kehidupan harus diarahkan. Hal ini tampak antara
lain, dalam pernyataan seorang anggota fraksi PDI-P DPR-RI bahwa ia
bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai. Ini berarti, kerancuan telah
menelusup dalam tubuh kita sebagai bangsa, menunjukkan cara berpikir yang carut
marut yang kita alami saat ini. Demokrasi kita, yang semula berarti pengutamaan
kepentingan rakyat banyak, diubah dengan tidak terasa kepada pemenuhan
kebutuhan golongan dan ambisi pribadi.
Dengan demikian, kebutuhan
menyamakan pandangan tentang demokrasi yang ingin kita ciptakan dalam kehidupan
bangsa, haruslah tetap dilanjutkan. Walaupun sudah lebih dari 150 tahun, Alexis
de Tocqueville menerbitkan bukunya tentang demokrasi di Amerika
Serikat, sampai hari inipun pembicaraan tentang jenis-jenis dan
jangkauan proses tersebut dalam kehidupan bangsa Amerika tetap berlangsung.
Dengan demikian, perkembangan proses demokratisasi itu sendiri senantiasa
dijaga oleh para pemikir, agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Ini adalah
sebuah hal yang sangat mendasar (fundamental), karenanya ia tidak dapat
diabaikan begitu saja.
Karena itu, keinginan
berbagai kalangan gerakan Islam, agar Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam
pasal 29 UUD kita, haruslah terus dibicarakan. Ia menunjukkan kurang adanya
pengertian di kalangan gerakan-gerakan Islam tersebut. Bukankah pencantuman
Piagam Jakarta itu dalam salah satu pasal UUD akan berarti memasukkan idiologi
agama tersebut ke dalam kehidupan negara, dan dengan demikian memberikan
kepadanya kedudukan resmi sebagai idiologi negara? Bukankah dengan
demikian, para warga negara lain yang non-muslim dimasukkan ke dalam lingkungan
warga negara kelas dua? Dan bukankah orang yang berpaham idiologisme non-agama,
seperti kaum nasionalis dan sosialis, juga tidak memperoleh kedudukan terhormat
di negeri ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dijawab, bila
kita menginginkan kehidupan bangsa yang benar-benar demokratis di masa depan?
Tokyo, 3/4/2002. Sumber: Kedaulatan
Rakyat