Oleh “Syekh Najmu al Din Thabasi”
Ahmad bin Hanbal
adalah salah satu dari empat imam madzhab Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama‘ah. Lebih
dari satu abad setengah ia merupakan ulama paling besar dan tanpa tanding di
dunia Sunni, terkhusus Ahlu al-Hadits [1]. Kala itu, yang menjadi ukuran
sunnah atau bid’ahnya sesuatu adalah pendapat Ahmad bin Hanbal. Dasar pijakan
yang dibuat oleh Ahmad bin Hanbal untuk orang-orang Ahlu al-Hadits adalah
“pembendaan” (jismiyyah) dan “penyerupaan” (tasybih) terhadap Zat
Tuhan, dan bahwasannya Tuhan berada di sebuah tempat tertentu, dan/atau berada
di atas ‘Arsy-Nya. Keyakinan-keyakinan seperti ini, pada waktu itu, adalah
bagian dari keyakinan kaum muslimin, terkhusus (baca: tanpa ragu) golongan Ahlu
al-Hadits ini dimana mereka meyakini bahwa mengingkarinya sama dengan murtad
atau keluar dari agama Islam. Pikiran-pikiran seperti ini terus menaungi
pengikut Ahmad bin Hanbal sampai pada waktu Abu al-Hasan al-Asy’ari, setelah
taubat dari empat puluh tahun pengasingan dirinya, kembali ke madzhab Ahmad bin
Hanbal.
Abu al-Hasan
al-Asy’ari, pada tahun 305 H naik mimbar di Bashrah dan mengumumkan bahwa ia
telah kembali dari pengasingan dirinya. Dengan kembalinya Abu al-Hasan
al-Asy’ari ke dalam lingkaran pengikut Hanbali, telah memberikan
perubahan-perubahan pada madzhab ini. Seorang yang selama empat puluh tahun
selalu berkecimpung dalam argumentasi-argumentasi akal dan logika, tidak bisa
menerima begitu saja pandangan-pandangan Ahmad bin Hanbal. Dia, dalam bukunya al-Ibanatu
fi al-diyanati menerima semua pandangan Ahmad bin Hanbal, akan tetapi di
dalam bukunya yang lain al-Luma’ ia menerakan pandangannya dan ia telah
kembali kepada pandangan-pandangan akliahnya sendiri.
Dari sejak permulaan
abad kelima, kecemerlangan Ahmad bin Hanbal mulai surut, sementara
kecemerlangan Abu al-Hasan Asy’ari mulai memancar. Maqrizi berkata [2], “Dengan perantaraan kelompok
yang terdiri dari beberapa tokoh [3], dari sejak tahun 1380, akidah
mazhab Abu al-Hasan Asy’ari, telah menyebar di daerah Iraq, Suriah, dan Mesir[4].” Walaupun metode Abu al-Hasan
Asy’ari telah membuat Ahmad bin Hanbal tergilas dari pengikut Ahlu al-Sunnah,
akan tetapi pada abad kedelapan, melalui beberapa orang dari pengikut Hanbali,
dasar-dasar akidah Ahmad bin Hanbal, seperti yang sudah diterangkan sebelumnya,
kembali dimunculkan. Yang menghidupkan kembali keyakinan-keyakinan Ahmad bin
Hanbal adalah Abu ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdu al-Halim yang dikenal dengan Ibnu
Taimiyyah. Ia dilahirkan pada tahun 661 H di kota Haran –salah satu bagian
Suriah. Ayahnya, ‘Abdu al-Halim, karena takut terhadap penyerangan Mongol ke
Suriah, maka ia dengan membawa semua keluarganya, pindah ke kota Damaskus.
Ibnu Taimiyyah
menjelaskan kembali hadits-hadits tentang “penyerupaan” dan “pembendaan” serta
“kebertempatan” Tuhan –yang merupakan dasar-dasar pandangan akidah Hanbali.
Ketika masyarakat Hamah menanyakan kepadanya tentang ayat: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (Maha Pengasih, Yang bersemayam di atas ‘Arsy), ia menjawab bahwa Tuhan
bertempat di ‘Arsy. Dari kekhususan yang mencolok Ibnu Taimiyyah adalah
berfatwa dengan fatwa yang berbeda dengan pandangan umum di kalangan kaum
muslimin. Karena alirannya terbiasa dengan kata-kata kasar dan permusuhan
–sebagaimana ciri Wahhabiah- maka tidak laku di masyarakat, dan banyak ulama
yang mengkritik serta menolak pandangan-pandangannya. Seperti kitab-kitab Syafaa-u
al-Saqaam fi Ziyaarati Khairi al-Anaam (Obat Penyembuh dalam Ziarah ke Paling
Mulianya Manusia), al-Durratu al-Mudhiiah Fi Raddi ‘Alaa ibni Taimiyyati
(Mutiara Berkilau dalam Menolak Ibnu Taimiyyah), karya Taqiyyu al-Din Sabuki,
dan kitab al-Tuhfatu al-Mukhtaarrah Fi al-Raddi ‘Alaa Mungkiri al-Ziyaarati
(Pilihan Berharga dalam Menolak Anti Ziarah), karya Taaju al-Diin.
Tokoh-tokoh lain yang
juga menulis kitab dalam rangka menolak pikiran-pikiran Ibnu Taimiyyah. Seperti
bnu Hajar ‘Asqalaaniy (w. 852 H); Ibnu Syakir Kutbiy (w. 764 H); Ibnu Hajar
Haitsamiy (w. 973 H); Mulla ‘Aliy Qaariy Hanafiy (w. 1016 H); Syaikh Mahmuud
Kautsariy Mishriy (w. 1371 H); Yusuf bin Ismail bin Yusuf Nabhani (w. 1265 H);
Abu Bakar Hashniy Damesyqiy (w. 829 H); Dan lain-lainnya dari para mufti jaman
itu yang telah memberi fatwa bahwa ia –Ibnu Taimiyyah- adalah fasik dan kafir.
Pengarang kitab al-Fataawa al-Haditsiyyah telah berkata tentang Ibnu
Taimiyyah sebagai berikut: “Perkataan Ibnu Taimiyyah tidak memiliki nilai
ilmiah dan ia adalah orang sesat dan menyesatkan serta tidak masuk akal. Allah,
dengan keadilan-Nya, pasti akan mengadilinya, dan semoga Tuhan melindungi kita
dari keburukan akidah, jalan dan pandangannya”. Dari apa-apa yang dilakukan
Ibnu Taimiyyah –yang ruh Hanbali sendiri tidak mengetahuinya (baca:
mencengangkannya)- adalah dua hal:
[1] Membid’ahkan dan
mengharamkan perjalanan ziarah ke kubur Rasul saww, dan karenanya apapun bentuk
tawassul (berperantara) dengan para penghulu Islam dan wali Tuhan, seperti
tabarruk (mengambil berkah) dengan mereka dan bekas-bekas mereka, juga
diharamkan; dan [2] Menganggap tidak benar dan mengingkari semua
riwayat-riwayat tentang keutamaan Ahlulbait dimana Ahmad bin Hanbal
sendiri dan murid-muridnya telah meriwayatkannya.”[5] Ibnu Bathuthah, seorang yang
dikenal dengan suka melancong, dalam catatan pelancongannya (Rihlatu Ibni
Bathuthah) menulis tentang Ibnu Taimiyyah sebagai berikut: وكان في عقله شيء(Akalnya tidak
normal) [6] Ibnu Hajar Haitsami menganggap
Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang telah direndahkan, disesatkan dan dibutakan
Tuhan. Bahkan Syamsu al-Din Dzahabi –yang sangat fanatik- mengatakan tentang
Ibnu Taimiyyah, “Kamu terlalu berlebihan dalam keberanian hingga hadits-hadits
Bukhari dan Muslim pun, tidak luput dari kritikanmu.”[7]
Pada akhirnya Ibnu
Taimiyyah Harrani pada tahun 705 H diadili di pengadilan dan kemudian dihukum
(penjara). Pada tahun 707 H ia dibebaskan dari penjara, dan dengan kebebasannya
itu ia menyebarkan keyakinan-keyakinanya. Pada tahun 721 H ia kembali diadili
dan dihukum penjara hingga meninggalnya pada tahun 728 H. Dengan meninggalnya
Ibnu Taimiyyah, maka murid-muridnya[8], seperti Ibnu Qayyim Jauziy
(691-751), menyebarkan pandangan-pandangan gurunya. Akan tetapi tidak terlalu
berhasil dan orang-orang Ahlussunnah menjadikan pandangan-pandangan Asy’ari
sebagai dasar akidahnya. Setelah meninggalnya, hingga lima abad kemudian, tidak
ada orang yang membicarakan (memasarkan) akidah-akidahnya (Ibnu Taimiyyah).
Semua keyakinannya, ditentang oleh ulama-ulama pada jamannya sampai abad
kedua-belas, dimana pada tahun ini keyakinannya yang dangkal dan kering itu
menjadi laku lagi.
Yang mengepalai
penyebaran pikiran-pikiran sesat Ibnu Taimiyyah adalah Muhammad bin ‘Abdu
al-Wahhab al-Najdi. Ia dilahirkan di ‘Uyainah, bagian dari Najd (bagian timur
Saudi) pada tahun 1115 H, ayahnya ‘Abdu al-Wahhab bin Sulaiman adalah Qadhi
(hakim agama) di kota ‘Uyainah. Almarhum Sayyid Muhsin Amin menukil dari Mahmud
Syukri al-Alusiy, “Ibnu ‘Abdu al-Wahhab dilahirkan di kota ‘Uyainah, bagian
dari Najd (bagian timur Saudi). Ia belajar fikih Ahmad bin Hanbal kepada
ayahnya. Di masa mudanya ia mulai angkat bicara, tapi tidak dikenal oleh kaum
muslimin.[9] Ketika ia tidak berhasil di
‘Uyainah, maka ia pergi ke Mekkah dan kemudian ke Madinah. Beberapa waktu ia
belajar pada Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif. Di sana (Madinah) ia
melihat orang-orang menangis dan merintih di kubur Nabi saww. Ia melihat hal
seperti itu adalah sesuatu yang jelek. Kemudian ia pergi ke Najd dan dari sana
ia pergi ke Bashrah [10] sampai kemudian ke Syam
(Suriah). Ketika sampai di Bashrah, ia bermukim di sana dan belajar kepada
Syaikh Muhammad al-Majmu’iy. Akan tetapi ia tidak bisa bertahan lama di sana
tanpa mengkritik amalan-amalan penduduk Bashrah. Pada akhirnya penduduk Bashrah
pun mengusirnya. Kemudian ia –untuk beberapa waktu, pergi ke kediaman orang
tuanya yang ada di Huraimilah (bagian Najd). Di kota ini, ia juga
menjelek-jelekkan amalan kaum muslimin hingga ayahnya mengkritik perbuatannya
itu. Akan tetapi ia tetap saja memaksakan pendapatnya hingga timbul
pertengkaran antara dia dan ayahnya.
Pada masa ayahnya
masih hidup, ia mengurangi pengulasan pendapatnya. Ibnu ‘Abdu al-Wahhab sangat
sedikit memiliki ilmu agama dan sangat dangkal. Fatwa-fatwanya menjadi bukti
atas ketidakmengertiannya terhadap hukum-hukum syariat. Ayahnya yang terhitung
orang shaleh, meninggal pada tahun 1153 H. Zaini Dahlan seorang mufti Syafi’i
berkata, ayah Abdul Wahab adalah orang shaleh dan alim.[11] Alusi menulis bahwa setelah
ayahnya meninggal, ia mengulas pandangan-pandangannya dan menjelekkan apa-apa
yang telah menjadi kesepakatan kaum muslimin. Akibatnya, masyarakat ingin
membunuhnya, akan tetapi ia lari dari Huraimilah menuju ‘Uyainah. Yang
memerintah ‘Uyainah kala itu adalah ‘Utsman bin Ahmad bin Mu’ammar. Muhammad
bin ‘Abdu al-Wahhab memberikan janji harapan kepadanya bahwa masyarakat Najd
(bagian timur Saudi) akan dibuat tunduk kepadanya, dengan syarat ia harus
membantunya dalam menyebarkan pandangan-pandangannya.
Dengan bantuan
pemerintah setempat itu, ia menyebarkan keyakinan-keyakinannya secara
terang-terangan dan sebagian masyarakat ‘Uyainah pun mengikutinya. Mereka
menghancurkan kubah kuburan Zaid bin Khaththab. Dan aktivitas mereka
mendapatkan kelancaran. Berita –tentang semua itu- sampai pada Sulaiman bin
Muhammad bin ‘Azizu al-Hamidi, orang yang memegang pemerintahan di Ihsa’
(bagian Saudi). Ia menulis surat kepada ‘Utsman dan memerintahkan untuk
membunuh Muhammad bin Abdu al-Wahhab. Akhirnya, ‘Utsman mengusirnya dari kota
–‘Uyainah.
Muhammad bin ‘Abdu
al-Wahhab pada tahun 1160 pergi ke kota Dir’iyyah (bagian Saudi). Kota ini,
adalah kotanya Musailamah al-Kadzdzab (pemalsu hadits ynag sangat terkenal) dan
yang memegang pemerintahan setempat saat itu adalah Muhammad bin Su’ud dari
suku ‘Unaizah. Ibnu ‘Abdu al-Wahhab menawarkan tawaran yang pernah ia sampaikan
kepada pemimpin pemerintahan ‘Uyainah kepada Muhammad bin Su’ud. Akhirnya,
terbuatlah kesepakatan keji antara dua orang ini. Setelah kesepakatan itulah,
aliran Wahhabi ini mulai membuat pembantaian keji dimana ijin dari perbuatan
mereka itu adalah fatwa memalukan dari Ibnu ‘Abdu al-Wahhab ini; hal mana
membuat keluarga Su’ud bisa mendapatkan pemerintahan dengan syiar agama dan
dakwah Ibnu ‘Abdu al-Wahhab bisa diraih dengan pedang. Akhirnya, Su’ud sebagai
pemimpin pemerintahan, sementara Ibu ‘Abdu al-Wahhab sebagai pemimpin agama.
Slogan syi’ar Ibnu ‘Abdu al-Wahhab adalah “Sesungguhnya aku hanya mengajak
kalian kepada tauhid dan meninggalkan syirik kepada Allah.” Tauhid yang dibawa
oleh Ibnu Abdu al-Wahhab adalah tauhid yang memalukan dan tidak jauh beda
dengan penyembah berhala. Sayyid Muhsin Amin ra [12] dengan menukil dari seorang
ahli Geografi, menuliskan, orang-orang Yaman punya cerita, yaitu tentang
seorang pengembala kambing yang miskin bernama Sulaiman [13]. Ia bermimpi melihat bahwa
dirinya mengeluarkan api yang menyala-nyala sampai memenuhi bumi dan melahap apa
saja yang dihadapinya. Kemudian ia menceritakan mimpinya kepada ahli ta’bir
mimpi. Sang penta’bir mengatakan: “Kamu akan memiliki keturunan yang akan
membuat pemerintahan.” Ta’bir mimpinya itu menjadi kenyataan pada cucunya.
Benar, memanglah api yang melahap dunia Islam dan percikan api itu terpancar
melalui para penjajah dari Ingris. Para pemimpin Saudi pada dua abad setengah
terakhir ini, secara terus menerus, menjadi penyebar paham Wahhabi. Secara
global, sebelum perang dunia pertama, mereka telah menjadi tersisih dan tidak
memiliki kekuasaan melebihi Najd (bagian timur Saudi).
Akan tetapi, dengan
jatuhnya pemerintahan Utsmani, para penjajah (Ingris) memperalat daerah-daerah
bekas kekuasaannya. Begitu pula terhadap keluarga Su’ud yang berada di Najd
(bagian timur Saudi), Hijaz (bagian barat Saudi), yang dikarenakan
pengabdiannya yang baik (pada Inggris). Kembalinya gerakan Salafisme di
Haramain Syarifain (Mekkah dan Madinah) telah menimbulkan kerugian yang sangat
besar dimana ketajaman propagandanya telah diarahkan kepada tempat-tempat
peninggalan sejarah Islam. Para Wahhabi, dengan keji, telah menghancurkan
semuanya. Akan tetapi di lain pihak, mereka telah menghidupkan nama-nama orang
kafir dan telah menamai jalan-jalan dan pasar-pasar dengan nama-nama kafir itu.
Yang paling aneh, mereka telah merenovasi benteng Khaibar dan benteng Ka’ab bin
Asyraf yang punya Yahudi di Madinah, dan kemudian melindunginya. Para Wahhabi
Salafi, dengan tanpa berfikir, telah menghancurkan bekas-bekas peninggalan
sejarah Islam, dan kalau mereka lebih berani dari itu –semoga Tuhan melindungi-
maka mereka bisa menghancurkan kubur Nabi saww dan sisa-sisa peninggalannya
yang ada di masjid.
Ketika ide-ide Ibnu
‘Abdu al-Wahhab sampai ke telinga Muhammad bin Ismail, penguasa Yaman, dia
memuji dengan membuat syair: S’lamat
atas Najd dan penghuni Najd [14] Walau ucapku yang jauh
tiadalah berguna. Akan tetapi setelah ia mendengar fatwa-fatwa keji Ibnu
‘Abdu al-Wahhab tentang pengkafiran muslimin yang hanya dengan tuduhan syirik
maka darah, harta dan kehormatannya dihalalkan, ia pun meralat perkataannya itu
dan membuat puisi baru: Aku tarik kataku tentang orang Najd. T’lah
jelas bagiku, tiada sama dari kiraku. Kalau seseorang tidak menerima
keyakinannya, maka ia memperlakukannya sebagai kafir harbi (kafir yang
diperangi). Laskar Wahhabi, kalau sudah menang atas penyerangannya atas
kota-kota muslimin, maka meraka menghalalkan apa saja yang mereka ingin
lakukan. Ketika mereka menyerang kota Karbala, dengan keji telah menumpahkan
banyak darah dan tidak menghormati cucu Nabi saww. Mereka telah menyerang dan
merampok semua isi yang ada di Makam cucu Nabi saww (Imam Husain as). Dengan
penyerangan mereka itu, telah mengingatkan kita kepada petaka Hurrah (Suatu
tempat di Madinah. Maksudnya adalah penyerbuan, pembantaian, perampasan dan
pemerkosaan terhadap masyarakat Madinah) oleh Bani Umayyah dan pembanjiran air
terhadap daerah pekuburan Imam Husain as oleh Mutawakkil khalifah Bani Abbas.
Pengarang kitab Mu’jamu
Ma Allafahu ‘Ulama-u al-Ummati al-Islaamiyyati Dhiddi al-Wahhabiyyati
(Ensiklopedi tentang Kitab-kitab yang Dikarang Para Uama Islam dalam Menentang
Wahhabiyyah), telah meringkas kekejaman para Wahhabiah dengan menulis: “Pada
tahun 1208 H para Wahhabi telah menyerang dan menguasai Bashrah (kota di Iraq),
kemudian setelah itu menyerbu dan merampok kota al-Zubair. Pada tahun 1216 H
telah merampok Karbala dan menumpahkan darah penduduknya, dan telah pula
merampok apa saja yang ada di Makam Imam Husain as. Pada tahun 1220 H mereka
menyerang Najran, dan pada tahun 1222 H menyerang dan menguasai Madinatun Nabi
saww dimana telah merampok apa saja yang ada di Makam Nabi saww. Pada tahun
1225 H menyerang Syam (Suriah) dan telah membantai penduduk Huran. Pada tahun
1305 H menyerang Syarif Ghalid (pemimpin Mekkah) dan menguasai banyak
daerahnya. Pada tahun 1317 H telah merubah kota Thaif menjadi tempat penjagalan
manusia. Pada tahun-tahun 1332 H sampai tahun 1317 H, penjajah Ingris telah
membantu mereka menentang pemerintahan Tukri Utsmani dan berkat pengabdiannya
yang baik (pada Ingris) maka mereka telah dibuat berkuasa di seluruh Hijaz
(Arab Saudi sekarang). Pekuburan suci Baqi’-pun dihancurkan dan merampok lagi
apa saja yang ada di Makam Nabi saww. Dan akhirnya, pada tahun 1407 H mereka
menjadikan kota Mekkah sebagai tempat penyembelihan manusia dimana di siang
hari bolong mereka telah menggorok 500 jema’ah haji. Dan pada tahun-tahun 1216,
1218, 1225 H, dan seterusnya, mereka telah menyerang Karbala secara keji dan
membantai ratusan muslimin, serta merusak dan menghina Makam suci Imam Husain
as. Begitu pula telah mengepung kota suci Najaf dalam beberapa waktu yang,
karena adanya perlawanan dari masyarakat dibawah naungan fatwa-fatwa para
marja’ agung, maka serangan mereka dapat dipatahkan dan akhirnya mereka lari
tunggang langgang secara terhina. [15]
Memang, pada akhirnya
Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhab mati pada tahun 1206 H, namun demikian, proposal
dia tetap mencari peluang. Kejahatan apapun yang dilakukan pengikutnya, maka
akan tercatat dalam proposalnya itu. Pandangan-pandangan orang ini, tidak
mendapat dukungan dari sukunya, dan bahkan penentang pertamanya adalah
saudaranya sendiri yang bernama Sulaiman bin ‘Abdu al-Wahhab dengan bukunya
yang berjudul al-Shawa’iqu al-Ilahiyyah Fi al-Raddi ‘Ala al-Wahhabiyyah
(Petir-petir Ilahiah dalam Menolak Wahhabiah). Dengan semua ini, bagaimana
mungkin akidah kering dan tidak logis ini bisa diterima oleh umumnya kaum
muslimin? Kecuali dengan pemaksaan, ancaman dan pembunuhan? Sudah tentu, penerimaan
semacam ini ibarat fatamorgana yang tidak akan berkelanjutan.
Pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah
Dunia Islam, khususnya
daerah Syam (Suriah), pada tahun 698 H telah diserang dengan tanpa ampun oleh
orang yang mengaku pendukung Islam. Orang ini telah menyebar
pandangan-pandangannya yang batil dan menyimpang. Akhirnya, para alim ulama dan
fuqaha dari berbagai madzhab bangkit menentangnya dengan keras dan telah
memenjarakannya sampai ia mati di dalam penjara. Sudah banyak yang telah
menasihatinya dan menyuruhnya untuk berhati-hati terhadap
pandangan-pandangannya. Akan tetapi ia tidak membenahi kesesatannya.
Syamsu al-Din
al-Dzahabi, pengarang kitab Mizaanu al-I’tidaal, menuliskan nasihat
kepadanya dengan berbunyinya, saudara, demi Tuhan kami harus meredam
pemikiran-pemikiranmu. Kamu adalah pembahas yang mengandalkan bahasa, tidak
tenang dan tidak tawadhu. Jauhkanlah dirimu dari goncangan-goncangan agamamu
yang Nabimu sendiri tidak menyukai dan menjelekkan materi-materi bahasanmu
serta melarang kita banyak bertanya. Banyak bicara –itu pun tanpa goncangan-
dalam masalah-masalah halal dan haram bisa membuat hati kita menjadi keras.
Apalagi kalau perkataannya itu mengandung kekufuran, maka akan membuat hati
menjadi mati, dan tidak akan membuahkan apapun kecuali kejelekan. Wahai kamu
yang telah dijadikan fondasi pengikutmu, kalau agama dan ilmu mereka hanya
sedikit, maka mereka terancam dalam bahaya pengingkaran terhadap wujud Tuhan
dan kehancuran agamanya. Tidak ada yang mengikutimu kecuali orang-orang yang
tak berdaya dan tak pandai, atau buta huruf dan pendusta serta bodoh, atau
gelandangan yang banyak tipuannya, atau orang saleh tapi kering dan tak pandai.
Hai muslim, sejauh mana hawa nafsumu itu terus memuji dan menghebatkanmu serta
merendahkan orang-orang saleh?! Sampai kapan kamu akan terus membesarkan dirimu
sendiri dan mengecilkan para ‘abid (ahli ibadah/taat)?! Sampai kapan kamu akan
terus mengagumi dirimu sendiri dan menganggap buruk perkerjaan para zahid?!
Sampai kapan kamu akan terus menyanjung kata-katamu sendiri sementara –demi
Tuhan- kamu tidak menyanjung sekalipun dengan sanjungan yang sama,
hadits-hadits Bukhari dan Muslim?! Duhai andaikata kamu tidak mengotak-atik
Bukhari-Muslim. Tapi bahkan, kamu tempelkan kepada hadits-hadits keduanya apa
saja sesukamu. Kadang kamu sifati dengan dhaif (lemah), kadang dengan khayalan,
atau kadang kamu rubah dengan takwilan dan pengingkaran. [16]
Pandangan-pandangan
batil orang ini, tidak hilang walaupun dianya sendiri sudah meninggalkan dunia
ini. Murid-muridnya telah meneruskan ajaran sang guru dan menyebarkannya.
Sekalipun perjuangan mereka gagal dan tidak membuahkan hasil yang banyak di
antara kaum muslimin, sampai datangnya Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhab –sang
penerus ajaran Ibnu Taimiyyah- yang dibantu dengan kekuatan militer Ibn Su’ud,
dengan memproklamirkan dakwahnya sembari menuduh dunia Islam dengan kafir. Ia
mengingkari hal-hal yang biasa berlaku di antara kaum muslimin dan menyerang
keimanan-keimanan mereka. Sementara hal-hal yang diharamkan, tidak
diperdulikannya sambil membantai ribuan kaum muslim tanpa kesalahan.
Dunia Islam, secara
serius, merasa sangat terancam dan dalam dirinya telah mengalami
perubahan-perubahan baru. Orang pertama yang telah membunyikan genderang
penentangan kepadanya adalah ayahnya dan saudaranya sendiri yang bernama Syaikh
Sulaiman. Syaikh Sulaiman di dalam kitabnya, menyalahkan keyakinan saudaranya
dan meminta muslimin untuk waspada terhadapnya. Ia juga meminta umat
Islam untuk menentang gerakan pemikiran saudaranya itu. Setelah mendapat
penentangan dari dua orang ini, maka para ulama dari berbagai madzhab pun
bangkit menentangnya dan menolak dengan dalil kekhurafatannya tersebut. Dalam
setiap jaman –selalu saja kaum muslimin- menghadapi penyimpangan-penyimpangan
yang, selalu pula mereka dapat membuktikan kebatilannya, dan kejauhan akidahnya
dari Islam. Saya (–penulis-) sebagai salah satu pelajar agama di Hauzah (pesantren),
dan juga sebagai salah satu dari umat Islam ini, sesuai dengan kemampuan yang
ada, merasa wajib secara syar’i, di sela-sela kesibukan belajar, untuk
menentang penyimpangan-penyimpangan yang menghancurkan ini, dan membuat
generasi mendatang sadar dan tahu atas penyimpangan yang ada serta menjelaskan
kepada mereka atas kewajibannya untuk menentang adanya setiap penyimpangan.
Buku ini, merupakan
rangkuman dari pengajaran dan ceramah-ceramah penulis yang ditulis dalam rangka
tujuan di atas. Dan ia mencakupi bahasan-bahasan sebagai berikut: [1]
Mengkritisi hadits-hadits yang menjadi pegangan dan dasar pemikiran
sesat Wahhabi, serta membuktikan kebatilan mereka; [2] Banyaknya bukti dan
catatan-catatan sejarah yang menentang dakwaan Wahhabisme. Tentu saja, sebelum
ini, almarhum Amin pengarang kitab Kasyfu al-Irtiyaab dan Allamah Amini
pengarang kitab al-Ghadir, telah menggunakan kehebatan dan usaha gigih
mereka untuk membuktikan kebatilan Wahhabiah ini; [3] Membedah topik-topik yang
dianggap peka oleh Wahhabi. Seperti: ziarah kubur Nabi saww, melakukan
perjalanan ziarah (Syaddu al-Rihaal), ziarah kubur, tabarruk, mengusap kuburan,
bertabarruk pada peninggalan sejarah Islam, shalat dan do’a di samping kuburan
dan makam-makam, menyalakan lampu di kuburan, hajatan dan syafaat, sumpah
dengan selain Allah, mengadakan perayaan maulid dan semacamnya.
Yang selalu kita
dengar dari tim Amr Ma’ruf –yang spesialis mereka adalah berdebat dengan para
jemaah hadi- hanyalah dalam masalah-masalah di atas. Mereka sama sekali tidak
pernah menyinggung masalah-masalah yang berkenaan dengan agresor Zionits dan
ide-ide jahat mereka. Begitu pula, tidak pernah menyinggung masalah-masalah
yang berkenaan dengan permusuhan Amerika terhadap kaum muslimin. Tidak juga
pernah membahas masalah-masalah yang ada di Aljazair, Sudan, Afganistan, muslim
di Albania dan Balkan.
Catatan:
[1] Ahlu al-hadits adalah
orang-orang yang melarang pembahasan agama (akidah) dengan akal (Pent.)
[2] Lihat al-Khuthath, jld.
2, hlm. 58.
[3] Abu Bakr al-Baqilani (w. 403),
Abu Bakr Baihaqi (w. 458), Ibnu Furak (w. 406).
[4] Al-Khuthath, jld. 2,
hlm. 58.
[5] Lihat Ibnu Taimiyyah dan
Imam Ali as, karya Sayyid Ali Milani.
[6] Hlm. 95-96, cetakan Daru
Shadr.
[7] Benar, dalam penyerangan Wahhabi
ke Thaif, al-Quran, Shahih Bukhari dan Muslim berantakan di jalan-jalan dan di
pasar-pasar (al-Fajru al-Shadiq, hlm. 22), dalam pengantarnya, semua
perkataan Dzahabi telah dinukilkan.
[8] Dan begitu pula Ibnu Katsir.
[9] Kasyfu al-Irtiyab, hlm.
8-9.
[10] Dikatakan bahwa dia pernah
tinggal di Bashrah 4 tahun, di Baghdad 5 tahun, di Kurdistan 1 tahun, di
Hamadan 2 tahun. Dan konon pernah juga mampir di Isfahan dan Qom.
[11] Al-Futuhatu al-Islamiyyah,
jld. 1, hlm. 364.
[12] Kasyfu al-Irtiyab.
[13] Muhammad bin Abdu al-Wahhab
bin Sulaiman bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhid
bin Buraid bin Musyrif bin Hamr bin Ba’dhad bin Zakhir bin Muhammad bin ‘Ali
bin Wahab al-Tamimi.
[14] Maksudnya adalah Ibnu ‘Abdu
al-Wahhab (Muhammad bin Abdulwahhab).
[15] Mausu’atu al-‘Atabaati
al-Muqaddasati, jld. 6, hlm. 228; dan jld. 8, hlm. 272.
[16] Pernyataan Dzahabi di atas
dibawakan oleh Muhammad Kautsariy Mishri (orang Mesir, wafat tahun 1371 H). Ia
mengambilnya dari tulisan Qadhi Burhanu al-Din bin Jama’ah. Dan Ibnu Jama’ah
mengambil dari Haafizh Abu Said bin al-‘Ala-iy , kemudian dialah yang mengambil
dari tulisan Dzahabi. ‘Uzzami dalam kitab Furqan-nya hlm. 129 memuat
sebagiannya, begitu pula dalam kitab al-Ghadir –karya Amini- jld. 5,
hlm. 89. Dan sebagian orang, dengan ngotot dan memaksakan, berusaha menolak
penghubungan tulisan itu kepada Dzahabi. Memperpanjang masalah ini, tidak ada
gunanya.